Kunci Cadangan“Buka!” teriak Mahes sambil menendang permukaan pintu. Kamar Putra terkunci rapat.Ada hal yang menjadi benalu di dalam pikiran Mahes. Ia paham betul gelagat teman yang sudah seperti saudara kembar tersebut. Ya … memang mereka renggang akhir-akhir itu, tetapi percayalah sesungguhnya ada keterikatan yang sudah erat karena dulu sering melakukan apa pun bersama-sama. Sekali lagi, Putra menjadi lebih menjaga jarak pasca kecelakaan tragis yang membuat kakinya lumpuh.Gus Farhan menyeret Kang Zaki ke luar rumah. Dia merasa malu dengan tutur tidak sopan Kang Zaki. Memilih pergi setelah merasa cukup mendapatkan informasi keberadaan Shofi dan kondisinya yang dalam keadaan baik. Sesungguhnya dia pun agak kecewa karena Shofi menolak diajak pulang, tetapi mau bagaimana lagi, dia tidak bisa memaksa kehendak orang yang masih asing di dalam hidupnya.“Buka!” Mahes tidak berhenti menggedor pintu.Ada pertanyaan rumpang yang tidak dijawab oleh embusan angin pagi itu. Rumah sebesar itu t
Setelah dua jam melakukan perjalanan, Shofi tiba di depan gapura pondok pesantren. Ia begitu terharu, aroma pindang Yumna tercium kembali, tote bag yang dicucikan oleh Gus Farhan kembali terkenang. Wajah yang begitu teduh itu melambai-lambai di ambang kenangan. Suara khas penuh kedamaian. Jiwanya penuh getaran, ada riak haru yang meletup-letup. Sejujurnya selain rumah, ia juga amat merindukan lingkungan hidupnya zaman dulu—pabrik roti, teman-teman bekerja yang ketakutan jika Koh Akong melakukan observasi, rutinitas mengantar kiriman untuk Yumna dan berantem dengan Agam di rumah karena persoalan sepele. Bisa tiba di pondok, maka sebentar lagi dia pasti akan kembali ke rumah menemui Bunda, sosok hawa yang ingin segera dia peluk erat-erat.Rasanya baru kemarin terjebak di gudang diskotik, diancam oleh Bos Bagong dan Bawon jika berani berbuat salah, disuruh bekerja sampai larut menuangkan bir dan melayani para pemabuk yang suka jahil bahkan bicara sembarangan. Telinganya gaduh dengan mus
Ada meja yang permukaannya dilambari menggunakan telapak usang. Noda angus menjadi karak di lantai. Tempat sampah dikerubungi lalat, juga bekas bubur yang belum sempat dibersihkan. Rumah masa kecil Shofi dipenuhi kenangan kabur yang menjadi lebur sebagaimana cat dinding yang kian luntur. Tanaman di pot-pot tidak terawat, daunnya dibiarkan kering dan mengeriput sementara gulma menjadi subur amat liar. Halaman rumah itu diserbu angin yang menerbangkan sampah-sampah robekan koran. Bunda belum sempat menyapu, begitu gumam Shofi di dalam pikiran. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun disekap oleh Bos Bagong, ia kembali menginjakkan kaki di halaman kelahirannya. Ada air mata haru tidak tanggung-tanggung. Tidak bisa diterjemahkan menggunakan kata-kata. Kebahagiaan melambung tinggi menembus awan kelabu di langit bersama rindu tidak berkesudahan. Dia ingin bersegera memeluk Bunda. Meski banyak pertanyaan, perihal akivitas apa yang selama itu dilakukan oleh Bunda, berjualan bubur, itu duga
Agam telah berkeliling ke gang-gang kampung, dia mengunjungi setiap warung kelontong yang masih buka. Wajahnya pias dan pucat ketika tidak seorang pun mengetahui keberadaan Bunda. Dia melangkah menuju pinggiran kampung, di sana terdapat toko sembako lengkap yang cukup terkenal, biasanya dijadikan warga untuk kulakan dagangan. Agam hanya berharap bisa menemukan Bunda di tempat itu. Tetap saja hasilnya percuma. Agam melanjutkan menuju ke arah kota, memastikan tempat-tempat yang sering dikunjungi Bunda, tidak terlewatkan pabrik roti Koh Akong dan pondok pesantren Asmaul Khusna, acuh pada keberadaan Shofi yang dahulu pernah dia cari susah payah. Kakaknya menjadi tak bernilai. Akan tetapi, sampai petang datang Agam tetap tidak menemukan keberadaan Bunda—Ibunya itu seperti ditelan bumi. Hatinya mulai dongkol dengan kepulangan Shofi. Dia bahkan mampir ke tempat tinggal Anggi, rumah bernuansa muram yang dicat keremangan cahaya bulan. Dindingnya serapuh tubuh Anggi, lantai retak sebagaimana h
Agam telah tiba di depan toserba ketika jalanan melengang dan suasana malam semakin jauh dari keramaian. Untuk hari itu juga, diskotik tutup rapat, barangkali sedang ambil cuti persiapan menjelang Bulan Ramadhan. Akan banyak tempat gemerlap yang diliburkan menyambut bulan suci tersebut. Agam abai dengan hal itu, ia fokus pada seorang gadis yang menyandarkan kepala di atas meja. Tubuhnya terduduk di atas kursi. Dinding kaca yang menampilkan aneka ragam makanan ringan menjadi bigron. Ia menendang kaki kursi sehingga tubuh Shofi terjengkang, jatuh, mukanya menyentuh lantai. Dia terbangun karena kaget. "Agam?" desis Shofi sambil mengamati sekitar. Sikap pemuda dengan kaos pendek selegam arang itu menarik perhatian Zea, juga karyawan yang jaga shift malam. Zea meninggalkan kasir, dia menuju pintu kaca, mendorong tergesa. "Kurang ajar! Seharusnya kau tidak pernah menampakkan wajahmu, Shof! Lenyap saja dari kehidupan ini! Keberadaanmu hanya membuat Bunda celaka!" sentak Agam. Dua tangan
Akan tetapi Bunda pantang menyerah, setelah tiba di pemukiman padat penduduk, Bunda menyetop langkah sepeda motor Agam. Angin membuat jilbabnya berkinar-kibar, ada hawa dingin yang mencekam, tetapi semua itu tidak membuatnya gentar, ia terus bertekad gencar bermaksud melindungi putri yang ari-arinya pernah singgah di rahimnya. Bunda sangat bersyukur dan banyak ucap terima kasih kepada Pencipta sebab sudah mempertemukannya dengan Shofi, dia senang sekalipun pertemuannya menyedihkan. Setidaknya Shofi masih hidup, ada harapan untuk memberi pertolongan dan membawa pulang. Bunda menuruti permintaan Agam untuk meninggalkan rumah mangkrak itu karena ingin mencari bala bantuan dari warga terdekat. "Buat apa berhenti, Bunda. Kita harus pulang sebelum preman itu mengejar kita," sentak Agam juga terus memacu langkah roda motor. "Kamu tidak ingin menyelamatkan kakakmu?" "Kenapa harus diselamatkan Bunda? Dia terjerumus ke dunia gelap karena kemauannya, buat apa dipedulikan? Karena ulahnya hidup
Aroma karbol menguasai penciuman Putra. Ia terus memandang langit-langit kamar, banyak diam sekalipun Bu Ika memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. "Ada apa, Putra? Ceritakan semuanya kepada Ibu, jangan dipendam sendiri!" Putra tidak memberi balasan. Mustahil penjelasan perihal Bos Bagong ke luar dari bibirnya. Ia khawatir raut wajah ibunya akan bertambah gelap ketika mengetahui kebenarannya. "Kamu memang belum bisa berjalan lagi, Putra. Tetapi kalau kamu rutin terapi dan mau mendengar saran dokter, kakimu pasti bisa pulih seperti sedia kala, jangan membuat takut orang tuamu, Putra. Mendengarmu kecelakaan sudah membuat ibu nyaris gila apalagi jika ...." Bu Ika terisak, ia menutup sebagian wajah dengan telapak tangan. "Ampuni khilaf ibu jika belum bisa merawatmu sungguh-sungguh, ibu hanya bingung ... ibu tidak tahu apa yang harus dilakukan," kisah Bu Ika lagi. Tangan dengan cincin berlian itu kemudian digerakkan turun mengarah pada pergelangan tangan Putra yang dilingkari den
Bu Ika terus melangkah, menjauhi rumah. Ia pulang diantar mobil online, sudah tidak sempat memesan ulang. Amukan masa bertambah dahsyat, wajahnya bahkan dilempari menggunakan telur busuk, entah dari mana mereka membawa—lebih tepatnya entah sejak kapan mereka menyiapkan semua rencana mengerikan tersebut. Tatapan garang, suara lantang penuh luapan amarah, kebaikan-kebaikannya terkubur dalam hitungan detik. Langkahnya bergerak mundur. Rumah mewah pemberian Hendra tidak lagi gagah, kesan kepedulian perihal cinta apalagi kasih sayang bubar semua. Dia mengutuk suaminya sendiri, benci setengah butuh bantuan di dalam keadaan genting. Bu Ika melaju tunggang-langgang terisak-isak, riasan wajahnya rusak, aroma tubuh yang biasa wangi mendadak menguarkan keringat. Matahari bertengger di atas ubun anak-anak manusia. Kendaraan berserak sebagaimana semestinya, menuju kesibukan masing-masing, mengantar keperluan atau meninggalkan jejak kepulangan. Toko-toko mulai buka, menampilkan dagangan sebersih m