Mata Shofi diikat menggunakan kain hitam. Ia dibawa pergi menggunakan mobil van Bawon. Pandangan Shofu sengaja dibenamkan supaya tidak dapat menyaksikan permukaan jalan. Bos Bagong tidak ingin Shofi merekam tikungan, gedung familiar maupun jumlah lampu apill menuju kediaman rumah barunya. Maka dua tangan tidak bersalah Shofi dikerangkeng tali. Mulut juga disumpal menggunakan kain yang diperoleh Bawon dari gundang—penuh debu, bau apek dan membuat rongga paru menderita. Anehnya, Bos Bagong berpesan untuk membuka mata Shofi setelah tiba di depan gerbang. Bos Bagong telah menunggu setengah jam sebelum kedatangan mereka. Ketika embun masih membening di permukaan daun trembesi dan kelopak-kelopak bugenvil, ketika itu Shofi menginjakkan kaki di bawah langit yang berembun. Musim hujan menyapa penduduk bumi Indonesia. Kabut tipis terlihat berpencar di langit, disusul segerombol awan hitam yang terlihat kokoh dan berkuasa. Rumah berlantai dua dengan pilar menjulang tinggi seolah hendak menemb
Bos Bagong telah memberinya kalimat-kalimat untuk disuarakan di depan Putra. 6Akan tetapi, setelah melihat keadaan Putra yang sesungguhnya, entah apa alasannya, seluruh kalimat itu raib dari pikiran. Tinggal satu kalimat pembuka saja. Apalagi bantingan pintu itu teramat keras dan membuat jantung Shofi berdetak tanpa aturan. Ia memastikan lagi keberadaan langkahnya, mengamati lantai marmer yang disiram cahaya pagi, gemericik air mancur, tanaman-tanaman hias dan pohon bugenvil yang kelopaknya berguguran. Indah, apalagi ada susulan kicau burung dari sebelah garasi rumah. Rumah Bunda tidak semegah itu, tidak pula sebesar itu. Rumah Shofi kecil, akan tetapi luas karena kesabaran dan kasih sayang Bunda. Rumah Shofi kerab bocor, ada genting berlubang. Agam akan naik untuk membetulkan. Kemudian mereka duduk bertiga di ruang TV untuk bertukar cerita. Ada kehangatan alamiah yang lahir dari dada Bunda, beda dengan suasana di rumah Bos Bagong. Terlihat suram dan penuh pertanyaan menyedihkan. S
Semenjak kepergian Gus Farhan dari pondok pesantren, Umi terus uring-uringan. Ia bersikap lebih sensitif dari biasanya, bahkan tidak jarang melampiaskan emosinya kepada santriwati. Umi akan menangis di kamar Gus Farhan, memeluk figura usabg yang warna fotonya telah luntur. Dan hal terparahnya, Umi mulai hilang nafsu makan. Abah Aziz mengetuk permukaan pintu, ia menggiring langkah dengan nampan berisi satu gelas beras kencur anget dengan seporsi nasi goreng. Ia lantas duduk di sisi Umi. "Makanlah, fisikmu punya hak untuk hidup, Umi. Jangan menyiksanya seperti ini,""Bagaimana Umi bisa makan jika Farhan belum juga pulang?" "Umi, dia pasti baik-baik saja di luar sana," ucap Abah Aziz meyakinkan. "Umi ini wanita, Bah. Umi punya firasat tidak enak perihal Farhan, Umi khawatir terjadi hal buruk. Apalagi dia pergi tanpa uang, dengan perasaan sakit karena amarahmu. Tidur di mana sekarang dia, Bah?" Umi berbicara panjang lebar sambil menahan riak tangis yang hendak menghujani pipi. Abah Az
Aroma masakan merasuk lubang hidung Agam. Ketika ia mendorong pintu tralis rumah, ia mencium kenangan bersama Shofi. Sepeda motor ia parkir di teras rumah, membiarkan terik matahari membasuh dengan keringat dan debu pasca kepergian esok. Agam meletakkan tas selempang juga topi pada gantungan kamar kemudian melangkah pelan menuju dapur. Ia berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Bunda mengaduk sayuran di atas wajan. "Aku tidak suka kare, Bunda." Agam membuyarkan keseriusan Bunda menatap permukaan kuah kuning yang telah mendidih. "Kalian berdua menyukai kare buatan Bunda," cetus Bunda. Ia mengingat-ingat bahwa ucapannya tidak salah. Dahulu Shofi dan Agam kecil gemar memakan nasi dengan sayur kare, piring mereka akan bersih tanpa dipaksa. Shofi juga kerap meminta dimasakkan kare jika ada teman-teman sekolah yang datang. Demikan juga Agam, kenangan itu masih tergambar jelas di kepala Bunda, ia belum pikun dan masih pandai meracik bumbu masakan. "Jangan masak sayur itu lagi mulai
"Kenapa Anda menangkap saya?" tanya Gus Farhan kepada Bawon yang sedang berdiri kokoh di depan tubuh tanpa daya itu. Tubuh yang digantung menggunakan tali, sementara kakinya ditumpukan di atas kursi reyot yang catnya telah mengelupas. Jari-jemari Gus Farhan kesemutan, seolah mati rasa, akan tetapi ia tidak bisa berkutik dalam ikatan. "Karena lo kenal Shofi, dan mungkin bocah tengik itu bagian dari kehidupan lo! Haha!" "Saya tidak mengenalnya kecuali nama dan hanya pernah bertemu beberapa kali," jawab Gus Farhan dengan suara lirih. Sekujur fisiknya terasa ngilu dan perih. Melenyapkan kebersihan nada bicara, hal itu membuat tenggorokannya terasa kering sementara dua buah bibirnya meretak. "Orang-orang yang kenal dengan bocah tengik itu akan terkena masalah, jika dia membuat masalah baru!" ujar Bawon lagi dengan seringai lebih panjang. Bawon merasa berkuasa sebelum kedatangan Bos Bagong. Meski tubuhnya ramping serupa pohon bambu muda, mentiur-tiur ketika diembus angin, tetapi kekua
Bos Bagong mengetuk pintu menggunakan punggung tangan, hal yang membuat Putra termenung beberapa detik. Tidak pernah Bapaknya bersikap sesopan itu, pulang langsung ngeloyor ke kamar, pergi bahkan jarang berpamitan. Terkadang Bu Ika sendiri tidak tahu kepergian suaminya. Alis Putra terangkat secara reflek. "Wajahmu sangat lesu, Tuan. Apakah ada masalah?" sapa Shofi dalam hati sambil menyeringai. Sungguh, ada masa ia ingin menaruh perasaan kurang nyaman sebagai pelajaran kepada lelaki paruh baya tersebut. "Hmm ... siapkan sarapan! Saya mau makan.""Tuan, kalau baru dari luar, sebaiknya Anda membersihkan tubuh terlebih dahulu, makannya sudah disiapkan oleh Nyonya di ruang makan, kata istri Anda, saya tidak perlu memasak, sebab itu akan mengurangi kesenangan hobi Nyonya," kata Shofi lagi. Ia menjadi gadis banyak omong yang tetap menjaga sopan santun, sebab kalimat yang diurai diluncurkan dengan bahasa lemah lembut, suara halus, sehalus embusan angin pagi itu. Hati Bos Bagong sedikit do
Agam mengisap nikotin demi menghilangkan setres. Ia duduk di bangku, tepat di bawah kerindangan pohon trembesi. Hari itu langit kelabu, beberapa titik kabut mendominasi, sebentar lagi hujan akan membasahi dinding-dinding kaca toserba. Sementara bangunan tua, gedung di seberang jalan yang kerap diperciki cahaya gemerlap itu tampil sepi, lebih sepi dari biasanya. Penduduknya meringkuk kedinginan di balik malam. Agam sedang tidak duduk di tempat biasanya, ia menyingkir dari hingar-bingar toserba di waktu pagi, orang-orang pencari sarapan, roti instan atau makanan sepat saji, juga menjauhi halaman diskotik, padahal hari itu gedung di seberang toserba terlihat kontras dalam basuhan gigil. Zea mengasiri, mempersibuk diri dengan tanggung jawab sebagai buruh bayaran. Esok berkabut membuat toserba ramai, pembeli memburu jas hujan sebagai persiapan menyambut milyaran titik air, ada pun pelajar yang justru duduk santai di kursi tunggu di depan parkiran. Mereka bolos---enggan melanjutkan jejak s
"Di mana Shofi? Apa yang Anda lakukan terhadapnya?" tanya Gus Farhan setelah sadar dari lelap. Lelap yang etah, ia tetiba jatuh terkulai tanpa kesadaran, kemudian bangkit dengan membuka kelopak mata, menyongsong satu cahaya di atas ubun kepala. Ruangan tempatnya bernapas masih sama, dinding berbeton yang kedap suara, tidak ada apa pun, kecuali kursi yang ia duduki. Untuk detik itu, ia telah didudukkan, tidak lagi digantung, barangkali ada nurani yang diam-diam memandangnya penuh kasihan. Satu meter darinya, Bawon berdiri sembari membawa botol mineral. Baru saja wajah Gus Farhan disiram menggunakan air di dalam botol kemasan tersebut. Alam bawah sadar Gus Farhan rupanya terpusat kepada Shofi seorang. Ketika ia bangun, nama gadis itu yang ia sebutkan. Hal itu membuat bibir Bawon melebar dalam balutan tawa penghinaan. "Apa otak lo sudah sinting? Kenapa masih memikirkan gadis tengik itu?" sentak Bawon merasa kesal. Ia kurang suka dengan mulut Gus Farhan maupun Bos Bagong yang kerap me