Anandhita adalah gadis yatim berusia 19 tahun, yang baru saja menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasnya. Berharap menemukan kesuksesan untuk menggapai cita-citanya di ibukota, nyatanya Anandhita si kembang desa justru terjerat cinta seorang pengusaha sukses yang tak lain adalah bigboss di tempatnya bekerja. Xavier Rhys, pria tampan nan arogan dengan sejuta pesona dan kekuasaan.Suatu hari Xavier mengalami kecelakaan hingga membutuhkan transfusi darah, dan secara kebetulan Ananditha adalah orang dengan golongan darah yang Xavier butuhkan. Meski sebelumnya Ananditha telah di usir dari rumah utama milik keluarga Rhys, karena fitnah Bella, wanita yang diam-diam menyukai Xavier sejak dulu. Anan tetap dengan ketulusan hatinya bersedia menjadi donatur untuk sang bigboss yang di cintainya tersebutAkankan mereka mampu bersatu dalam kisah cinta yang indah?Mungkinkah seorang Xavier, jatuh hati pada seorang pelayan?Simak terus kelanjutan kisahnya exclusive hanya di GoodNovel Indonesia By: Kinantitha (ig:kinantitha)
View MoreHamparan sawah hijau membentang luas dengan begitu indah, kicauan burung pengganggu serupa musik penenang jiwa yang tengah di rundung gelisah. Seorang gadis berkulit kuning langsat dengan rambut ekor kuda yang masing-masing di jalin menyerupai kepang. Khas gaya anak desa.
Wajahnya menekuk, padahal hari begitu cerah ... udara juga terasa begitu menyenangkan, tak begitu terik, namun tak juga hujan ... seperti mendung dengan angin sejuk yang bertiup sepoi-sepoi memanjakan kulit.Ananditha, gadis desa berusia sembilan belas tahun, yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah menengah atas beberapa hari lalu. Lulus dengan predikat sebagai siswi terbaik, tak lantas membuat jalan menuju kesuksesannya mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Ayahnya telah tiada sejak usianya masih duduk di bangku taman kanak-kanak ... sebuah kecelakaan kerja merenggut paksa nyawa pria yang menjadi tulang punggung keluarganya kala itu. Tanpa ada pesangon atau sumbangan duka cita, sang ayah tak meninggalkan warisan apapun, selain hutang yang harus menjadi beban sang ibu di kemudian hari setelah kepergiannya yang mendadak dan tanpa pertanda apapun jua.Ananditha, si gadis manis bermata coklat ... adalah gadis baik hati nan penurut. Tutur katanya yang lembut, dan keramahan yang dimilikinya, membuat seorang Ananditha si gadis yatim ... cukup menjadi salah satu gadis yang di idolakan oleh para perjaka, dan calon menantu idaman bagi para orang tua di kampungnya.
"Itu kenapa wajah kamu kusut banget?" seru Atika, salah seorang teman dekat Ananditha."Sebenarnya aku ingin pergi kerja, tapi ibu tidak mengizinkan ...." keluh Ananditha.
"Kemana?"
"Kota, ingin mencari pengalaman ... mencari kehidupan baru," Ananditha menerangkan harapannya. "Mau kerja apa?" "Apa saja, asal halal ....""Sepupuku bilang, kota itu jahat ... dia dulu pernah kerja di kota, bukannya pulang bawa harta, malah bawa anak," papar Atika.
"Anak kan juga harta ...." balas Ananditha polos. "Tssk, bukan harta yang begitu juga yang dia inginkan An ... tapi uang yang banyak," jelas Atika, seolah Ananditha benar-benar tak memahami maksudnya. Ananditha mengangguk, baginya setiap orang punya takdirnya masing-masing. Apa yang di dapatkan Atika belum tentu juga ia dapatkan, sebaliknya pun begitu apa yang Ananditha miliki, belum tentu Atika memilikinya."Aku beneran ingin coba merubah nasib di kota," cicitnya lirih. Sebagian keyakinannya kembali pupus melihat pertentangan sang ibu yang begitu keras, tak mengizinkannya keluar dari desa tempat tinggal mereka.
"Kalau kamu pergi, lantas simbok sama siapa?" tanya Atika menyadarkan keegoisan Anandita. "Bi Rasmi, Kang Hasto ... mereka kan ada, tinggal tidak jauh dari rumahku," "Tapi kan mereka punya kehidupannya sendiri, punya keluarga ...," protes Atika mengingatkan "Simbok kan tetehnya," Ananditha masih terus bersikeras. "Terserah lah, ada-ada saja ...," pasrah Atika. Bagi Atika kehidupan di desa adalah kehidupan paling ideal dan nyaman, namun tidak dengan pikiran bebas Anandita yang ingin mencicipi dunia luar, selain zona aman di sisi sang ibu.*****
Ketika malam telah bergayut mesra di atas awan, berteman pendar cahaya bulan dan kerlip bintang-bintang. Ananditha tengah berpikir keras merangkai kata rayu, untuk di utarakan pada sang ibu. Sekali lagi dengan tekad kuat, Ananditha ingin pergi meninggalkan desa, menemukan kesuksesan di kota, tempat yang di bayangkan begitu menggoda, begitu indah di televisi yang selalu ia lihat dalam sinetron-sinetron yang di tontonnya.
"Bu ...," panggil Anan pelan. Masih ada ragu, takut dan bingung ... dirinya harus mulai dari mana?
"Hmm ...,"
"Anan ... Anan ... hmmm." "Kalau kamu mau minta pergi ke kota, ibu melarang Nan," ucap sang ibu menyela ucapan Ananditha. "Kota itu kejam, kamu anak perempuan ibu satu-satunya." Ananditha hening, kembali mencoba berpikir cara apa yang dapat membuat sang ibu luluh hati, hingga memberikan izin untuk pergi. Belum usai pikirannya melanglang buana, sebuah deru suara motor menghampiri halaman pekarangan rumahnya. Membuat rencana Ananditha buyar seketika."Siapa itu? Coba kamu lihat," perintah sang ibu yang masih sibuk dengan kedelai di nampannya.
Ananditha beranjak dari duduknya, melaksanakan perintah sang ibu, guna mengetahui siapa gerangan tamu yang datang di malam hari seperti ini.
Dari balik tirai jendela, Ananditha memindai pria bertubuh tambun dengan jaket hitam yang tak asing baginya, "Kang Hasto," gumam Ananditha.
"Assalamu'alaikum ... punten," seru Kang Hasto yang tak menyadari kehadirannya telah di ketahui oleh pemilik rumah.
"Waalaikum salam," balas Ananditha seraya membukakan pintu untuk sepupunya itu. "Kang Hasto ternyata ... ada apa malam-malam begini?" tanya Ananditha langsung, tak mampu menahan rasa penasarannya.
"Aku ya di suruh masuk dulu, duduk, di buatin teh anget dong Nan," protes Hasto dengan mimik wajahanya yang di buat se nelangsa mungkin."Hehe ... penasaran aku Kang," kikuk Ananditha. "Sebentar ya, duduk Kang,"
Ananditha berbalik, berjalan ke dapur kembali menemui sang ibu ... memberitahu kehadiran Hasto sekaligus menyiapkan teh dan kudapan yang kebetulan masih ada, sisa jualan hari sore tadi. "Siapa?" tanya sang ibu, tanpa memalingkan pandangannya ke Anan, yang mulai sibuk memasak air panas, untuk menyeduh tehnya."Kang Hasto."
Sontak sang ibu menghentikan pekerjaannya menyortir kedelai untuk dibuatnya menjadi tempe atau tepung dan di jual kembali esok atau lusa.
"Ada apa katanya?" tanya ibu cemas. Ada gurat ketakutan di sana. Ananditha mengedikkan bahunya, sembari memindai ekspresi wajah ibu yang semakin bingung, "Anan gak tahu bu." Ibu beranjak dari duduknya, berjalan dengan sedikit tergesa untuk dapat segera tiba dan mendapar informasi apa yang Harso bawa, menuntaskan rasa penasarannya segera."Has ...," panggil ibu.
"Bi ...," balas Kang Hasto, sembari menggamit tangan ibu lalu menciumnya. "Abdi di suruh ambu ke sini," "Ada apa?" Jawab ibu lagi. Belum melepaskan wajah penasarannya. "Ambu jatuh di kamar mandi karena darah rendahnya kambuh ....""Dimana?" Kecemasan semakin terpancar di wajah tuanya.
"Di rumah majikannya, di kota." Terang Hasto tertunduk. Wajahnya seketika muram. "Lalu, mengapa dia tidak pulang saja?" kembali dengan kebingungan ibu terus bertanya, mencecar jawaban atas kabar berita yang di bawa Hasto. "Belum ada yang menggantikan tugas ibu di sana ...." "Lalu?""Abdi ke sini, berniat menanyakan apakah Ananditha bersedia menggantikan ibu di sana?" ungkap Hasto ragu, melihat mimik wajah sang bibi yang mendadak berubah tak suka.
Ibu tak bergeming, tatapan mata tuanya memindai Hasto dengan rasa campur aduk, ia khawatir pada adiknya di sana, namun juga tak mungkin merelakan Ananditha pergi meninggalkannya. "Anan, tidak akan kemana-mana. Sawahku cukup untuk makan kami, dan bertahan hidup di sini, tak perlu bekerja jauh ke kota," terang ibu tegas.Hasto mengangguk, dirinya tahu ini tidak akan mudah ... dia mengenal betul watak keras Bi Ranty, adik dari ambunya ini.
"Apa majikan Teh Ratna tak mengizinkannya kembali, tanpa pengganti? tanya ibu tak suka. Hasto menggeleng, "Ambu bilang majikannya begitu baik, sehingga ia tak tega meninggalkannya tanpa pengganti yang di rasa pantas dan mampu menggantikannya," tutur Hasto menerangkan seperti apa yang ibunya jelaskan. Ananditha datang menghidangkan teh dan kudapan berupa kue-kue basah yang biasa ia jual dan titipkan di beberapa warung sekitar dusunnya, sebagai mata pencaharian tambahan, selain hasil sawah milik ibunya."Bu, izinkan aku pergi ya ...."
Flashblack on Aurora Bella adalah putri tunggal dari Tommy Hans, seorang pengusaha tambang, yang berasal dari Inggris. Kenyataan yang selalu membuat Bella menjadi seorang antagonis, adalah ia terlahir dari seorang wanita Tionghoa, asli Pontianak, yang sempat menjadi sekretaris pribadi ayahnya tiga puluh tahun lalu. Hubungan percintaan keduanya berjalan begitu serius, masa-masa percintaan muda Tommy, dan Eunly, ibu kandung Bella, terbilang sangat romantis. Kisah cinta indah, khas remaja pada umumnya. Hingga suatu hari, sebuah berita yang tiba-tiba datang dari keluarga Tommy, di benua biru. Mengharuskan Tommy, kembali ke Negaranya dalam waktu singkat. Saat itu Eulyn, sedang mengandung anak, dari buah cintanya dan Tommy. Meski mereka secara agama, dan negara belum terikat dalam ikatan pernikahan. Tommy kembali ke Inggris, seorang diri ... memenuhi panggilan keluarga besarnya, yangvterny
Rossa sang pemilik butik, yang juga merupakan anggota sosialita dalam grup kumpulan wanita-wanita kaya raya ibukota itu datang menghampiri Ellena. "Long time no see," seru Rossa, seraya memeluk Ellena. "So miss you," balas Ellena, dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka saling melepas kerinduan, dan bertukar kabar. Hingga beberapa saat setelahnya, suara Bella kembali menginterupsinya. "Tante Rossa," sapa Bella ramah, dan anggun. "Hallo, Cantik ... senang bertemu kembali," balas Rossa tidak kalah hangat. "Sepertinya, kau membawa pasukan hari ini Ellen," ucap Rossa berseloroh. Di sambut tawa-tawa kecil Ellena dan Bella. Xavier sedang memindai seluruh sudut ruangan butik tersebut, mencari model yang pas dengan tubuh kecil Anan, saat pandangan Rossa tertuju padanya. "Xavier, aku rasa tadi malam, aku tidak bermimpi kejatuhan bintang, lantas apa yang membu
"Bruuk! oops ... Maaf ...," seru Anan panik. Rasa kagumnya ternyata membawanya pada masalah baru kini. "Aaasssh ...," desah suara geram sesorang yang Anan tabrak. Anan masih belum berani mengangkat wajahnya, berulang kali kepalanya menunduk, memohon maaf, atas kecerobohannya. Baju Anan juga sebagian menjadi basah, karena tumpahan soda milik korban yang ditabraknya. "Hai! ... kalau jalan pake mata dong," bentak wanita yang Anan tabrak. Anan gugup, ketakutan ... hingga sesaat kemudian suara Xavier datang, "Bella?" tegur Xavier. Bella tertegun, tidak menyangka Xavier ada di pusat perbelanjaan terbuka seperti ini. "Vier?" Bella kembali menyapa Xavier, ragu. "Sedang apa di sini?" tanya Bella, menuntaskan rasa penasarannya. "Menurutmu?" bukannya menjawab, Xavier justru balik bertanya pada Bella. Bella mengedikkan bahunya, selama mengenal Xavier 22 t
Ellena terus saja memperhatikan cara Anan melayani setiap permintaan Xavier, mulai dari mengeringkan rambut, memilih pakaian santai yang akan digunakan hari ini, hingga meminta membuatkannya nasi goreng kambing spesial khas buatan Anan. "Apa Mommy tidak punya kerjaan lain, selain menungguiku di sini?" tanya Xavier, sinis. "Aku hanya merindukan anakku," balas Ellena, tak kalah datar. "Hugh ... terima kasih," Xavier mendengus. "Anan, pergilah mandi sebelum kau menyiapkan sarapan untuk anakku," perintah Ellena yang kembali mematung, di samping putranya. Anan seketika melemparkan pandangannya bergantian ke arah Ellena dan Xavier. Pasalnya Xavier mengatakan padanya berulang kali bahwa hanya perintah Xavier saja yang harus didengar, bukan yang lain. "Pergilah An ..., segera bersihkan tubuhmu, dan siapkan sarapan yang ku minta, aku akan menunggu di ruang makan," kali ini suara Xavier yang mem
Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y
Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..
Seperti yang Xavier katakan tadi malam, Nyonya Ellena akan tiba di rumah hari ini. Dan tepat saja, pagi ini ... ya pagi! Matahari belum terlalu tinggi dan terik ketika wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat begitu cantik itu, datang dengan derap langkahnya yang berbunyi indah bak melodi pada tuts piano yang dihasilkan dari tumburan antara steleto dan lantai marmer rumah mewah ini, membuat semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari para pelayan memberi salam ramah kepadanya. Jam besar di sudut rumah kembali berdentang sebanyak sepuluh kali dengan gema yang begitu padu. Anan berdiri di depan kamar Xavier, sebelum beeangkat ke kantornya pagi ini, pria diktator itu telah berpesan kepadanya dan juga Bi Surti agar Ananditha tidak turun ke lantai satu. Penyambutan Anan kepada sang ibu hanya boleh dilakukan dari lantai dua, tepat di depan pintu kamar Xavier yang berhadapan lurus dengan pintu masuk di lantai dasar rumahnya, sehinhga meski dari sana, Anan tetap
Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua
"Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments