"Bu, izinkan aku pergi ya," rengek Ananditha dengan mata berkaca-kaca.
Ranty melihat Ananditha dengan tatapan dingin menusuk, membuat nyali Ananditha ciut, tak berani melanjutkan aksinya.
"Ambu tidak mungkin memberikan pekerjaan yang buruk pada Anan, Bi." seru Hasto meyakinkan Ranty kembali.
Masih dengan wajah yang di tekuk tidak suka, Ranty kini memandang Hasto dengan tatapan tidak suka.
"Apa yang dapat menjamin keselamatan Ananditha di sana?" tanya Ranty dingin. "Siapa yang akan bertanggung jawab pada keselamatan putriku, yang hanya satu-satunya ini?" lagi dengan ketus Ranty melontarkan tanya yang masih di tanggapi hening oleh kedua lawan bicaranya itu.
Hanya suara jangkrik, dan belaian angin malam yang kini membersamai keheningan tiga anak manusia beda generasi itu. Sebelum akhirnya sesaat kemudian, Anan bersimpuh di hadapan sang ibu, memohon dengan amat sangat untuk meluluskan keinginannya bekerja di kota, menggantikan sang bibi.
"Bu ... sekali ini saja, sebentar saja ..." ujar Anan dengan penuh permohonan. "Anan ingin melanjutkan kuliah di kemudian hari, izinkan Anan mencari kerja di kota ... hingga kelak, Anan bisa kuliah, dengan biaya yang Anan kumpulkan dari bekerja." terangnya lagi.
Ranty memang tak menginginkan Ananditha melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, selain karena biayanya yang sudah pasti besar, mereka yang ingin kuliah di universitas, haruslah ke kota, meninggalkan kampung halaman dan keluarganya. Ranty juga masih memiliki pemikiran yang kolot, dimana wanita rak harus punya pendidikan tinggi untuk menjadi wanita yang baik, karena pada akhirnya mereka hanya akan menjadi ratu dalam sebuah rumah tangga. "Kamu tega ninggalin ibu ... An?" Ranty terdengar begitu lirih menanyakan keyakinan anak gadisnya.Ananditha kembali hening, pikirannya kembali goyah ... sejak ayahnya wafat empat belas tahun lalu, ibunya tak pernah sekalipun meninggalkannya, bahkan meski banyak pria di kampungnya ini, ingin mempersunting sang ibu ... tetap di tolaknya, demi dapat membesarkan Ananditha, tanpa berbagi kasih dan perhatian pada yang lain.
Padahal ayah dan ibunya menikah karena perjodohan bukan cinta yang dipilih sendiri seperti di rasakan para gadis lainnya pada masa itu.
Tak dapat menjawab pertanyaan sang ibu, Ananditha memutuskan untuk beranjak, berlari masuk ke dalam kamar, menenangkan diri. Kembali berdamai dengan angan dan ambisinya menaklukkan ibukota.*****
Langit malam nan gelap telah beganti terang benderang berteman sang surya yang dengan garang menunjukkan cerahnya cahaya. Ananditha masih bergeliat malas beranjak dari tempat tidurnya, tubuhnya terasa tak begitu baik hari ini, seperti gejala akan terserang demam. Mata sembab sebab menangis semalam, juga membuatnya semakin terlihat kacau.Dari sudut kamarnya, Anandita mampu mengetahui bahwa kini ... hari telah menunjukkan pukul sebelas siang, tak seperti biasanya, Anandita selalu bangun pagi sebelum ayam berkokok.
Tok ... tok ... tok ... Suara ketukan pintu terdengar mengusik indera pendengarannya, dengan malas Ananditha beranjak dari kasur yang terbuat dari kumpulan kapas yang di buat sendiri oleh Ranty, ibunya. "Aaann ...," panggil sang ibu dari balik pintu. Ananditha tak menjawab, hanya langkahnya yang di seret paksa untuk terus melangkah, mendekat, agar dapat segera mencapai daun pintu, dan membukanya. "Ceklek ...."Suara pintu di buka. Terlihat sosok sang ibu dengan nampan berisi beberapa makanan, dan segelas teh manis panas yang masih menyisakan kepulan asap di atasnya.
"Kamu sakit?" tanya sang ibu, nadanya terdengar khawatir, begitu juga dengan binar mata yang memperlihatkan kecemasan.Ananditha menggeleng, antara malas dan lemah, seraya mengambil nampan yang sedari tadi di pegang Ranty.
"Kenapa belum keluar kamar? Kue-kuenya sudah ibu antarkan.""Lagi malas aja Bu," jawab Anandita seraya berbalik badan, menuju meja belajarnya.
Perut kosongnya mendadak bertalu minta diisi melihat apa yang rerpampang nyata di hadapan netranya."Makanlah, setelah itu ... ibu ingin bicara," ujar Ranty sembari beranjak meninggalkan kamar anak gadisnya.
Anandita terhenyak sejenak mendengar ucapan sang ibu, tidak seperti biasanya. Ibu akan bicara kapan saja, tanpa harus Ananditha menyelesaikan makannya, atau bahkan mandinya sekalipun, biasanya ibu akan berteriak-teriak, bila memang ingin bicara.
Dua puluh menit berlalu, Ananditha telah menyelesaikan ritual sarapan sekaligus makan siangnya, namun dirinya tak mendapati sang ibu di sudut rumah manapun.
Hingga pada menit berikutnya, terdengar suara derap langkah dan deritan pintu dapur yang terbuka dan menampilkan sosok wanita berusia hampir enam puluh tahun itu dengan dua keranjang sayur di tangan kanan dan kirinya.
"Ibu dari mana saja?"
"P***r, membeli beberapa bahan makanan,"
"Mengapa tak mengajakku?" Ananditha mengernyitkan dahinya. Tidak seperti biasa, ibu kali ini ke p***r sendiri, padahal biasanya dia akan menyuruh Ananditha untuk berbelanja sendiri atau bersama.
Ranty memandang wajah manis sang putri yang akan segera dilepasnya pergi seperti apa yang dia mau dengan senyum yang sedikit menampilkan gurat kesedihan.
"Aku harus terbiasa, sebelum anak perempuanku, benar-benar pergi meninggalkan wanita tua ini sendiri," sindir Ranty tanpa memandang wajah Anan.
Ananditha bergeming, merasa bersalah dengan sikapnya tadi malam.
Perlahan Ananditha melangkah mendekat, mengangsurkan tangannya, membantu sang ibu menyusun sayur-mayur yang di belinya di p***r beserta dengan beberapa bahan pokok kebutuhan sehari-hari mereka seperti biasa.
"Nan ... pergilah," suara Ranty terdengar lirih dan bergetar. "Ibu sudah bicara dengan uwak Ratna tadi malam," terangnya lagi.
Ananditha terpaku, tangannya yang sedari tadi lincah bergerak merapikan barang-barang di dapur mendadak kaku.
Bola mata coklat nan indah itu juga menghasilkan butiran bening hangat yang mengumpul di sudut matanya, hingga tanpa sadar mengalir begitu saja tanpa aba-aba.
Ananditha memindai Ranty dengan begitu intens, kabut di matanya menambah syahdu pemandangan yang menjadi objek netranya kali ini, wajah dengan garis-garis tanda usia Ranty yang sudah tak muda lagi. Tubuh kurus dengan kulit berwarna sawo matang itu, adalah wanita cantik pada masanya yang telah melahirkan dan merawat seorang Ananditha dengan penuh perjuangan dan kasih sayang.
Di peluknya wanita yang menjadi tempatnya berkeluh selama sembilan belas tahun itu. "Bu ... ibu," lirih isak tangis Anandita memanggil sang ibu.Ranty membalas peluk Anandita hangat, di belainya surai hitam Anan yang begitu lembut. Wanita tua berhijab coklat itu meluahkan segenap gejolak di dadanya dalam peluk yang kini juga mematik tangis dalam tanpa suara.
"Pergilah ... ibu ikhlas, jaga dirimu dengan baik, jaga kepercayaan wanita tua ini ...," pesan Ranty dalam isaknya.Anandita masih belum bisa mengeluarkan suaranya, lidahnya masih kelu ... perasaan bahagia, haru, dan ragu menyaru menjadi satu dalam tangis dan peluk yang semakin erat.
"Gapailah cita-cita mu, dari sini ibu akan terus mendoakan kebaikanmu, dimana pun putriku ini berada," ucap Ranty lagi.Ananditha mengurai pelukannya, kali ini dengam mata yang masih berkabut karena airmata yang masih terus berproduksi, Ananditha menghujani sang ibu dengan ciuman sayang bertubi-tubi di seluruh bagian wajah Ranty.
"Terima kasih bu ...," ucap Anandita penuh syukur. Akhirnya sang ibu, mengizinkannya pergi sjeenak menggapai asa. Berharap kehidupannya menjadi lebih baik di kemudian hari. Membahagiakan sang ibu yang kini semakin menua. Hello city world ... i am coming, aku akan menyaksikan sendiri betapa indahnya dunia ... lewat kerlap-kerlip lampu kota dan semilir angin kota yang pasti terasa berbeda." batin Anandita penuh semangat. "Besok pagi, Kang Hasto akan menjemputmu ... hari ini, ibu akan memasak banyak makanan kesukaanmu, bantuin ya ...." ungkap Ranty lagi.Flashback on Malam itu setelah Ananditha masuk ke dalam kamarnya, Ranty meminta Hasto menelpon Ratna, adiknya. Ranty meminta Ratna menjelaskan segalanya, demi jaminan keselamatan Ananditha, putri semata wayangnya. "Aman Ty, Anan akan baik-baik saja di sini ... majikanku baik banget, dan jarang di rumah, pekerjaannya juga gak berat," terang Ratna dari sebrang sambungan telepon itu. "Kamu tahu Teh, Anan belum pernah pergi jauh dariku, siapa di sana yang akan menjaganya?" tanya Ranty masih ragu. "Anan tidak bekerja sendiri Ty, di sini ada banyak pekerja ... dan mereka semua adalah teman yang baik untuk Anan," "Majikanmu, laki-laki, atau perempuan? Sudah berkeluarga atau belum?" "Laki-laki muda Ty, dia pengusaha sukses, bisnisnya di mana-mana ... sering keluar negeri, jarang ada di rumah." "Baiklah, aku percaya ... akan aku bicarakan dangan Hasto
Empat jam perjalanan ... tidak membuat seorang Ananditha terlihat kelelahan, masih dengan penuh semangat gadis belia tersebut melangkah, memasuki pintu gerbang yang berukuran sangat besar itu, tingginya mungkin lima kali dari tinggi badannya."Ini rumahnya Kang?" tanya Anan kagum. Pasalnya, di kampung tempat Anan tinggal tidak ada satupun yang memiliki rumah sebesar ini, meskioun dia seorang juragan kebun teh. Hasto mengangguk, "Iya, ini rumah majikan Ambu.""Lebih mirip istana, daripada rumah." "Berdoa, siapa tahu kamu besok punya rumah seperti ini Nan," ucap Hasto menggoda sepupunya itu"Mimpi!" seru Ananditha, mengundang gelak tawa Hasto dan dirinya bersamaan. Seorang berseragam security terlihat bersiaga tepat di dekat pos penjagaannya. "Pak Wardi!" panggil Hasto yang sepertinya sudah mengenal pria bertubuh tinggi dan gagah dengan kumis tebal. Seseorang bernama W
Malam kian larut, di sudut rumah besar tersebut terdapat sebuah jam besar berdiri kokoh, dengan suara dentangan yang membahana di seluruh ruangan pada waktu-waktu tertentu, seperti beberapa menit yang lalu. Ananditha masih terjaga, majikan tampan tempatnya akan mengabdi sejak hari ini belum juga terlihat batang hidung bangirnya yang sempat menggoda iman Ananditha siang tadi. Sedangkan, jarum jam sudah menunjukkan pukul 23:10 waktu Indonesia bagian barat. Sebuah novel romance menjadi teman Anan, menanti kepulangan seorang Xavier malam ini. Seperti pesan bi Ratna sebelum kembali ke kampung halamannya bersama Hasto sore tadi. Anan harus berjaga hingga sang majikan masuk ke dalam kamarnya dan memastikan segala kebutuhannya telah terpenuhi, tanpa ada kurang. Sebab, ini adalah hari pertamanya bekerja di sini. Sebuah derap langkah sepatu yang bertumburan dengan lantai marmer samar-samar mulai mendekat, bersamaan dengan lampu ruang tamy
"Aku suka kopi buatanmu malam ini, aku harap kau stabil meraciknya," pesan Xavier saat langkah Anan tersisa beberapa langkah lagi saja untuk segera keluar dari kamarnya. Anan kembali membalikkan tubuhnya, mengangguk, seraya memegangi jantungnya yang nyaris terlepas dari tempatnya, sebab keterkejutan yang di dapati dari suara bariton yang tanoa aba-aba tersebut. "Baik Tuan, saya pamit." balas Anan sopan. Sesampainya di dalam kamar Ananditha tak dapat tidur, padahal kasur di sini lebih bagus dan empuk di bandingkan dengan tempat tidur yang biasa ia tempati sebagai peraduan mimpi di rumahnya. Kata-kata "besok aku akan aku akan berkenalan lebuh lanjut" yang Xavier ucapkan tadi, menjadi momok tersendiri baginya. Dalam bayangannya entah apa yang akan dilakukan oleh Tuan muda itu esok padanya. Kembali Anan merindukan sang ibu, malam ini meruoakan malam oertama baginya t
"Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan. Ananditha patuh, dengan penuh kehati-hatian dirinya duduk di sebuah sofa berwarna maroon berbahan bludru yang begitu lembut, empuk dan sangat nyaman. Dengan penuh perhatian Xavier memindai pelayan pribadinya ini. Sangat berbeda dengan sang bibi ya yang telah berusia lanjut, Xavier justru merasa kedepannya, bukan Anan yang akan melayaninya, melainkan Xavierlah yang akan melayani Anan. "Cantik!" batin Xavier dalam hati. Sebuah senyum smirk tercetak sempurna di bibir Xavier, melihat betapa kikuknya Anan yang seperti di penjara berada dalam ruangan kerja mewah tersebut. "Salam kenal, nona Ananditha," sapa Derryl ramah, penuh senyum. "Saya Derryl Antoni, sekretaris pribadi, Tuan muda Xavier," terang Derryl masih dengan senyum menawan. Ananditha menyambut uluran t
Hari ini tidak ada agenda Xavier makan siang di rumah seperti kemarin, bahkan menurut jadwal yang sekretaris Derryl sampaikan, Xavier akan kembali setelah makan malam. Sekitar pukul sepuluh malam. Dengan santai, Ananditha melakukan aktivitas membersihkan kamar Xavier, tanpa merubah tata letak barang-barang yang ada di sana. Hanya sekedar menjauhkan debu dan merapikan. Tanpa membuang selembarpun kertas yang ada di sana. Begitu pesannya. Sambil sesekali mengambil foto dengan beraneka gaya di beberapa sudut kamar Xavier. Ananditha begitu polos, tanpa menyadari CCTV yang terpasang di dalam kamar tersebut. Ananditha bersenandung dan menari gembira, gadis belia yang pada dasarnya memiliki sifat periang, ceria dan manja ini, begitu menikmati tugasnya hari ini, tanpa merasa terintimidasi oleh tatapan sang bos yang seringkali membuat bulu halus di tengkuknya meremang, ngeri. Di lain tempat, Xavier dengan senyu
"Apa? ... ti-tidur di sini?" beo Anan tidak menyangka Xavier akan memberikan perintah seperti itu. Xavier mengangguk dan tidak mengulang perintahnya, seraya berbalik arah kembali pada tujuan awalnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat peluh. Sementara itu Anan yang di tinggalkan Xavier begitu saja, merasa kikuk, bingung ... "Perintah macam apa ini?" batin Anan Butuh waktu sekian menit untuk Anan kembali pada kesadarannya. Melangkah keluar kamar, menuju dapur menyampaikan pesan Tuan muda-nya. Setelahnya Anan tidak langsung kembali ke kamar Xavier seperti yang diperintahkansang majikn tersebut. Anan justru kembali ke kamarnya, berdiam di atas kasurnya. Memganggap perintah bos-nya kali ini hanyalah gurauan. Hingga tak selang beberapa menit kemudian ponsel Anan berdering, sebuah nama yang tidak asing muncul di layar bemda pipih tersebut dan memacu detak jantungngya hingga berdebar
"Anan, apa kau sudah tidur?" tanya Xavier yang telah keluar dari toilet. "Belum Tuan," jawab Anan yang masih berusaha menghitung domba untuk kembali terlelap. "Aku mendadak ingin makan mie instan," ujar Xavier santai. "Haiss ...sudah jam berapa ini?" batin Anan kesal. "Apa kau keberatan untuk menolongku membuatkannya?" tanya Xavier lagi dengan tatapan memelas. Anan beranjak malas dari posisi tidurnya, "Tidak Tuan, baiklah ... akan aku buatkan." Anan hendak melangkah keluar dari kamar Xavier, ketika tanpa dinduga Xavier juga ikut bangkit dari kasurnya ... berjalan mengikuti langkah kecil Anan di depannya. "Tuan, Anda mau kemana?" tanya Anan bingung. "Ingin melihatmu memasak mie instan." "Tuan, aku bisa melakukannya ... percayalah." Xavier tidak menghiraukan perkataan Anan, langkahnya tetap menyamai langkah Anan, hingga
Flashblack on Aurora Bella adalah putri tunggal dari Tommy Hans, seorang pengusaha tambang, yang berasal dari Inggris. Kenyataan yang selalu membuat Bella menjadi seorang antagonis, adalah ia terlahir dari seorang wanita Tionghoa, asli Pontianak, yang sempat menjadi sekretaris pribadi ayahnya tiga puluh tahun lalu. Hubungan percintaan keduanya berjalan begitu serius, masa-masa percintaan muda Tommy, dan Eunly, ibu kandung Bella, terbilang sangat romantis. Kisah cinta indah, khas remaja pada umumnya. Hingga suatu hari, sebuah berita yang tiba-tiba datang dari keluarga Tommy, di benua biru. Mengharuskan Tommy, kembali ke Negaranya dalam waktu singkat. Saat itu Eulyn, sedang mengandung anak, dari buah cintanya dan Tommy. Meski mereka secara agama, dan negara belum terikat dalam ikatan pernikahan. Tommy kembali ke Inggris, seorang diri ... memenuhi panggilan keluarga besarnya, yangvterny
Rossa sang pemilik butik, yang juga merupakan anggota sosialita dalam grup kumpulan wanita-wanita kaya raya ibukota itu datang menghampiri Ellena. "Long time no see," seru Rossa, seraya memeluk Ellena. "So miss you," balas Ellena, dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka saling melepas kerinduan, dan bertukar kabar. Hingga beberapa saat setelahnya, suara Bella kembali menginterupsinya. "Tante Rossa," sapa Bella ramah, dan anggun. "Hallo, Cantik ... senang bertemu kembali," balas Rossa tidak kalah hangat. "Sepertinya, kau membawa pasukan hari ini Ellen," ucap Rossa berseloroh. Di sambut tawa-tawa kecil Ellena dan Bella. Xavier sedang memindai seluruh sudut ruangan butik tersebut, mencari model yang pas dengan tubuh kecil Anan, saat pandangan Rossa tertuju padanya. "Xavier, aku rasa tadi malam, aku tidak bermimpi kejatuhan bintang, lantas apa yang membu
"Bruuk! oops ... Maaf ...," seru Anan panik. Rasa kagumnya ternyata membawanya pada masalah baru kini. "Aaasssh ...," desah suara geram sesorang yang Anan tabrak. Anan masih belum berani mengangkat wajahnya, berulang kali kepalanya menunduk, memohon maaf, atas kecerobohannya. Baju Anan juga sebagian menjadi basah, karena tumpahan soda milik korban yang ditabraknya. "Hai! ... kalau jalan pake mata dong," bentak wanita yang Anan tabrak. Anan gugup, ketakutan ... hingga sesaat kemudian suara Xavier datang, "Bella?" tegur Xavier. Bella tertegun, tidak menyangka Xavier ada di pusat perbelanjaan terbuka seperti ini. "Vier?" Bella kembali menyapa Xavier, ragu. "Sedang apa di sini?" tanya Bella, menuntaskan rasa penasarannya. "Menurutmu?" bukannya menjawab, Xavier justru balik bertanya pada Bella. Bella mengedikkan bahunya, selama mengenal Xavier 22 t
Ellena terus saja memperhatikan cara Anan melayani setiap permintaan Xavier, mulai dari mengeringkan rambut, memilih pakaian santai yang akan digunakan hari ini, hingga meminta membuatkannya nasi goreng kambing spesial khas buatan Anan. "Apa Mommy tidak punya kerjaan lain, selain menungguiku di sini?" tanya Xavier, sinis. "Aku hanya merindukan anakku," balas Ellena, tak kalah datar. "Hugh ... terima kasih," Xavier mendengus. "Anan, pergilah mandi sebelum kau menyiapkan sarapan untuk anakku," perintah Ellena yang kembali mematung, di samping putranya. Anan seketika melemparkan pandangannya bergantian ke arah Ellena dan Xavier. Pasalnya Xavier mengatakan padanya berulang kali bahwa hanya perintah Xavier saja yang harus didengar, bukan yang lain. "Pergilah An ..., segera bersihkan tubuhmu, dan siapkan sarapan yang ku minta, aku akan menunggu di ruang makan," kali ini suara Xavier yang mem
Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y
Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..
Seperti yang Xavier katakan tadi malam, Nyonya Ellena akan tiba di rumah hari ini. Dan tepat saja, pagi ini ... ya pagi! Matahari belum terlalu tinggi dan terik ketika wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat begitu cantik itu, datang dengan derap langkahnya yang berbunyi indah bak melodi pada tuts piano yang dihasilkan dari tumburan antara steleto dan lantai marmer rumah mewah ini, membuat semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari para pelayan memberi salam ramah kepadanya. Jam besar di sudut rumah kembali berdentang sebanyak sepuluh kali dengan gema yang begitu padu. Anan berdiri di depan kamar Xavier, sebelum beeangkat ke kantornya pagi ini, pria diktator itu telah berpesan kepadanya dan juga Bi Surti agar Ananditha tidak turun ke lantai satu. Penyambutan Anan kepada sang ibu hanya boleh dilakukan dari lantai dua, tepat di depan pintu kamar Xavier yang berhadapan lurus dengan pintu masuk di lantai dasar rumahnya, sehinhga meski dari sana, Anan tetap
Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua
"Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit