"Aku suka kopi buatanmu malam ini, aku harap kau stabil meraciknya," pesan Xavier saat langkah Anan tersisa beberapa langkah lagi saja untuk segera keluar dari kamarnya.
Anan kembali membalikkan tubuhnya, mengangguk, seraya memegangi jantungnya yang nyaris terlepas dari tempatnya, sebab keterkejutan yang di dapati dari suara bariton yang tanoa aba-aba tersebut. "Baik Tuan, saya pamit." balas Anan sopan. Sesampainya di dalam kamar Ananditha tak dapat tidur, padahal kasur di sini lebih bagus dan empuk di bandingkan dengan tempat tidur yang biasa ia tempati sebagai peraduan mimpi di rumahnya. Kata-kata "besok aku akan aku akan berkenalan lebuh lanjut" yang Xavier ucapkan tadi, menjadi momok tersendiri baginya. Dalam bayangannya entah apa yang akan dilakukan oleh Tuan muda itu esok padanya. Kembali Anan merindukan sang ibu, malam ini meruoakan malam oertama baginya terpisah ribuan kilometer dari wanita yang telah membersamainya selama sembilan belas tahun lamanya, tak oernah meninggalkannya dengan alasan apapun. Kini, dimalam sunyi yang terus beranjak, di dalam ruangan berukuran tiga kali tiga dengan pendingin udara berupa sebuah air conditioner, harusnya Ananditha dapat beristirahat dengan nyaman dan tenang, mengingat seharian ini tubuhnya telah bekerja ekstra. Perjalanan selama empat jam, dan mempelajari tugas-tugasnya secara kilat yang di pandu oleh bi Ratna, harusnya cukup untuk membuatnya tubuhnya kini minta di pulihkan dalam tidur lelap. Namun sayangnya tidak, Ananditha masih terus terjaga dengan dengan tangis diam-diamnya. Gadis berparas ayu ini justru merindukan sang ibu dan kasur yang biasa ia tinggali. Hingga lelah itu benar-benar telah berada di ujung batasnya, Anan terlelap dalam tangisnya.***** Matahari sudah beranjak tinggi, menyinari alam ... menebarkan kehangatan pada makhluk Tuhan yang tengah berjuang mendapati kebahagiannya hari ini. Anan masih bergelung dalam selimut putih tebal yang menghangatkan, udara yang dihasilkan oleh air conditioner nyatanya sangat mempengaruhi kenyamanan tidur seorang Ananditha. Sebuah ketukan pintu menjadi alarm pengingat untuk Anan, agar segera tersadar dan bangkit dari tidur tanpa mimpinya saat ini. Tok ... tok ... tok "Anan ... Ananditha ... Anan ...." sebuah suara yang masih asing untuk Anan kenali menjamah indera pendengarannya. Anan mulai menggeliat, tubuhnya ia renggangkan ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya matanya mengerjap beberapa kali. Netranya perlahan memindai ruangan yang menjadi tempat istirahatnya tadi malam. Hingga netranya sempurna mengenali bahwa ini bukan rumahnya. Tubuh Anan spontan terlonjak, dengan tergesa bangkit hingga terjungkal menabrak sudut ranjang. Melihat jam dinding yangvterletak tepat di atas pintu kamar telah menunjukkan pukul sembilan waktu Indonesia bagian barat. "Astaga! Tamatlah sudah riwayatku, bahkan belum genap dua puluh empat jam," gumam Ananditha, seraya menggapai kenop, dan membuka daun pintu tersebut, dengan nafas yang tersengal seperti pelari marathon yang baru tiba di garis finish. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Miana ... salah satu rekan kerja di rumah keluarga Rhys ini. "Aakh ... hmm-oh, ma-af ... aku terlambat bangun," Ananditha menmbalas dengan suara bergetar yang sangat kentara. Gugup dan rasa takut yang sangat menjadi alasan dibaliknya. Miana tersenyum lembut, memukul pelan lengan Ananditha. "Tidak apa-apa, kami tahu kamu pasti terlalu lelah, setelah kemarin seharian melalui perjalanan jauh, dan belum beristirahat dengan benar," terang Miana penuh pengertian. Anan mengangguk, rasa tidak nyaman itu kembali menghampiri hatinya. Pasalnya ini adalah hari pertama dirinya bertugas, naas kebiasaannya bangun siang, justru menjadi kesan pertama yang buruk. "Tu-an Xavier?" Anan memberanikan diri menanyakan sang pemilik rumah. "Kenapa?" Miana balik bertanya. "Hmm ... maksudku, apa di bertanya tentangku? Marah padaku?" Jelas Anan lagi. Miana menggeleng, "Aku tidak tahu pasti ... bi Surti tadi yang menghampiri Tuan muda di kamarnya," jawab Miana lancar. "Bi Surti berpesan untuk tidak membangunkanmu hingga pukul sembilan, karena kau harus sarapan." Anan mengangguk paham. "Syukurlah," gumamnya dalam hati. "Tuan muda akan pulang pada jam makan siang, bersiaplah ... dirinya pasti akan merepotkanmu," ujar Miana lagi terkikik, seraya berlalu ... menyisakan Ananditha dan kebingungannya. Ananditha masih terus memandang langkah Miana, yang meninggalkannya dengan rasa bingung yang menggunung.***** Xavier kembali kerumah tepat di waktu makan siang, seperti yang Miana katakan. Berbagai jenis hidangan western telah tersedia rapi. Soerang koki handal di rumah ini selalu di hadirkan di rumah ini untuk memenuhi kebutuhan selera tuan muda, dan bi Surti hanyalah pelengkap saja. "Pukul berapa dia bangun?" tanya Xavier pada bi Surti yang tengah menuangkan air putih kedalam gelas kristal miliknya. "Pukul sembilan Tuan, seperti yang anda perintahkan," jawab bi surti penuh hormat. "Setelah makan siang, perintahkan dia untuk masuk ke ruang kerjaku," "Baik, Tuan." Bi Surti mengangguk seraya meninggalkan Xavier yang mulai menikmati santap siangnya. Dengan langkah yang di buat sehati-hati mungkin, hingga tanpa suara ... bi Surti kembali ke posnya di dapur bersih, yang terletak di sudut sayap kiri rumah besar tersebut. Ananditha tengah bersenda gurau dengan para pelayan yang lainnya tatkala Bi Surti datang menghampiri. "An, nanti setelah tuan makan siang, kamu di perintahkan untuk datangvke ruang kerjanya," ucap Bi Surti menyampaikan pesan tuannya. Ananditha mengerutkan dahinya, pikirannya mulai bercabang kemana-mana, tidak ada lagi senyuman yang mampu tersungging di wajahnya yang terlihat pias. "Apa mungkin ini adalah hari terakhirnya di rumah ini? Bahkan sebelum dirinya melakukan tugas-tugasnya dengan baik." batin Anan lirih.*****
Xavier telah menyelesaikan makan siangnya. Bersama Derryl kini dirinya kini telah berada di ruang kerja bergaya American classic dengan ornamen-ornamen kayu yang dominan, sungguh terlihat begitu mewah dan elegan. "Beritahu dia segala hal secara terperinci, aku tidak ingin kejadian tadi pagi terulang kembali," ujar Xavier pada Derryl mengingatkan. "Baik Tuan." "Sejak awal, aku sduah meragukan komitmennya dalam bekerja, usia dan porsi tubuhnya yang terlihat masih terlalu muda itu, ditambah sepertinya di anak gadis manja ... aaarrgh, sungguh bi Ratna membuatku harus menambah pekerja mentraining bocah ingusan seperti An." kesal Xavier. Kehilangan bi Ratna membuatnya seperti bebek kehilangan induknya. Sedari tadi pagi terus saja berkotek tak henti mengeluhkan Ananditha yang bangun kesiangan, hingga dirinya ikut terlambat menghadiri rapat dewan direksi pagi ini. "Aku sudah memperingatkannya, sejak malam ... bahwa dia harus menyiapkan segala keperluanku sejak jam empat pagi, dan kau tahu Der, hari ini dia bangun pukul sembilan!" "Mungkin saja Anan, masih terlalu lelah sehabis perjalanan kemarin Tuan," "Hmm ... kita lihat saja besok, apa masih berulang atau memang alasan saja perjalanan itu." Tok ... tok ... tok ... Suara pintu di ketuk menginterupsi perbincangan Xavier dan Derryl. Derryl beranjak melangkah mendekati daun pintu dan menekan kenop pintu yang terkunci agar dapat terbuka. "Permisi, ma-af mengganggu ... apa Tuan Xavier ada di dalam?" tanya Ananditha gugup. Sejurus pandang, Derryl tertegun ... terpesona dengan kecantikan Anan yang alami. Menggunankan seragam maid, dan ikat kepala serupa mahkota, beserta dengan cepolan rambut khas maid, membuat seorang Ananditha lebih cocok menjadi nyonya dari pada pelayan pribadi seorang Xavier. "Ma-af Tuan ...." tegur Ananditha tak nyaman di perhatikan dengan tatapan kagum Derryl seperti itu. "Anan ... Ananditha," kali ini giliran Derryl yang di buat salah tingkah karena kedapatan memperhatikan Anan dengan sedemikian rupa. "Oh ... iya, silahkan masuk. Tuan Xavier telah menantikan kehadiranmu," balas Derryl mulai kembali menguasai keadaan. "Terima kasih." Langkah Anan melambat, ragu dan sekali lagi ketakutan bertemu Xavier, agaknya menjadi sebuah masalah kepercayaan diri baru baginya. "Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan."Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan. Ananditha patuh, dengan penuh kehati-hatian dirinya duduk di sebuah sofa berwarna maroon berbahan bludru yang begitu lembut, empuk dan sangat nyaman. Dengan penuh perhatian Xavier memindai pelayan pribadinya ini. Sangat berbeda dengan sang bibi ya yang telah berusia lanjut, Xavier justru merasa kedepannya, bukan Anan yang akan melayaninya, melainkan Xavierlah yang akan melayani Anan. "Cantik!" batin Xavier dalam hati. Sebuah senyum smirk tercetak sempurna di bibir Xavier, melihat betapa kikuknya Anan yang seperti di penjara berada dalam ruangan kerja mewah tersebut. "Salam kenal, nona Ananditha," sapa Derryl ramah, penuh senyum. "Saya Derryl Antoni, sekretaris pribadi, Tuan muda Xavier," terang Derryl masih dengan senyum menawan. Ananditha menyambut uluran t
Hari ini tidak ada agenda Xavier makan siang di rumah seperti kemarin, bahkan menurut jadwal yang sekretaris Derryl sampaikan, Xavier akan kembali setelah makan malam. Sekitar pukul sepuluh malam. Dengan santai, Ananditha melakukan aktivitas membersihkan kamar Xavier, tanpa merubah tata letak barang-barang yang ada di sana. Hanya sekedar menjauhkan debu dan merapikan. Tanpa membuang selembarpun kertas yang ada di sana. Begitu pesannya. Sambil sesekali mengambil foto dengan beraneka gaya di beberapa sudut kamar Xavier. Ananditha begitu polos, tanpa menyadari CCTV yang terpasang di dalam kamar tersebut. Ananditha bersenandung dan menari gembira, gadis belia yang pada dasarnya memiliki sifat periang, ceria dan manja ini, begitu menikmati tugasnya hari ini, tanpa merasa terintimidasi oleh tatapan sang bos yang seringkali membuat bulu halus di tengkuknya meremang, ngeri. Di lain tempat, Xavier dengan senyu
"Apa? ... ti-tidur di sini?" beo Anan tidak menyangka Xavier akan memberikan perintah seperti itu. Xavier mengangguk dan tidak mengulang perintahnya, seraya berbalik arah kembali pada tujuan awalnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat peluh. Sementara itu Anan yang di tinggalkan Xavier begitu saja, merasa kikuk, bingung ... "Perintah macam apa ini?" batin Anan Butuh waktu sekian menit untuk Anan kembali pada kesadarannya. Melangkah keluar kamar, menuju dapur menyampaikan pesan Tuan muda-nya. Setelahnya Anan tidak langsung kembali ke kamar Xavier seperti yang diperintahkansang majikn tersebut. Anan justru kembali ke kamarnya, berdiam di atas kasurnya. Memganggap perintah bos-nya kali ini hanyalah gurauan. Hingga tak selang beberapa menit kemudian ponsel Anan berdering, sebuah nama yang tidak asing muncul di layar bemda pipih tersebut dan memacu detak jantungngya hingga berdebar
"Anan, apa kau sudah tidur?" tanya Xavier yang telah keluar dari toilet. "Belum Tuan," jawab Anan yang masih berusaha menghitung domba untuk kembali terlelap. "Aku mendadak ingin makan mie instan," ujar Xavier santai. "Haiss ...sudah jam berapa ini?" batin Anan kesal. "Apa kau keberatan untuk menolongku membuatkannya?" tanya Xavier lagi dengan tatapan memelas. Anan beranjak malas dari posisi tidurnya, "Tidak Tuan, baiklah ... akan aku buatkan." Anan hendak melangkah keluar dari kamar Xavier, ketika tanpa dinduga Xavier juga ikut bangkit dari kasurnya ... berjalan mengikuti langkah kecil Anan di depannya. "Tuan, Anda mau kemana?" tanya Anan bingung. "Ingin melihatmu memasak mie instan." "Tuan, aku bisa melakukannya ... percayalah." Xavier tidak menghiraukan perkataan Anan, langkahnya tetap menyamai langkah Anan, hingga
"Kau berat sekali," keluh Xavier menyadarkan Anan dari posisinya yang sungguh memalukan. Anan terlonjak beberapa langkah ke belakang, "Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud kurang ajar," ujar Anan takut sekaligus malu. Bahkan bila saja lampu ruangan itu terang benderang pastilah dapat melihat wajah Anan yang kini telah merona dengan semburat merah muda yang menggoda. Xavier tidak menghiraukan permohonan maaf Anan. "Jam berapa sekarang?" tanya Xavier datar, seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. "Sudah pukul lima lebih empat puluh dua menit, Tuan." Tanpa basa-basi lagi, Xavier langsung beranjak dari tempat tidurnya, meninggalkan Anan yang masih diam mematung di sisi tempat tidur tersebut. "Turunlah, dan siapkan sarapanku," perintah Xavier dengan suara bariton yang mampu membuat kembali menarik kesadarannya, untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Anan dengan tergesa mengangguk, dan pergi
"Aku melihat Bella semakin memperlihatkan kebodohannya akhir-akhir ini," ujar Xavier mengundang senyum miris Derryl. "Mengapa dia tidak berpikir lebih cerdik, padahal sudah mengenalku sejak taman kanak-kanak." "Mungkin Nona Bella sudah kehabisan akal," balas Derryl. Xavier mengedikkan bahunya, "Sepertinya kita tidak dapat berbicara masalah ini di kantor ... batalkan saja pertemuan kita dengan Greatfull, bila bukan Tommy yang menghampiriku," tegas Xavier memberikan keputusan. Derryl mengangguk, "Baik, Tuan." "Bisakah kita makan siang di rumah, dan melanjutkan pekerjaanku dari dalam kamar saja" tanya Xavier memelas. "Maaf Tuan, sepertinya itu tidak mungkin, sebab pukul empat sore nanti, Anda harus bertemu dengan klien kita dari Spectra Hotel and Resort," terang Derryl dengan wajah penuh penyesalan. Xavier memijat pangkal hidungnya. "Apa tidak bisa dipercepat saja
Rachel, datang dengan tergesa setelah mendapat panggilan dari Derryl. "Siapa yang sakit?" tanya Rachel tidak kalah panik, napasnya tersengal seperti orang yang baru saja usai mengikuti lomba lari marathon. "Nona Anan," jawab Derryl datar. "Anan? Siapa?" langkah Rachel terhenti, sesaat memandang Derryl dengan tatapan serius. "Pelayan pribadi tuan muda yanga baru." "Bi Ratna?" "Pensiun, dan Anan adalah keponakannya," terang Derryl. Rachel mengangguk dan kembali melangkahkan kaki menuju kamar Xavier. Tanpa mengetuk pintu, Rache yang merupakan kakak kandung Daniel sahabat sekaligus dokter pribadi Xavier, tanpa sungkan masuk ke dalam kamar tuan muda tersebut, tanpa mengetuk pintu. Bola mata Rachel membulat dengan tangan kanan menutup mulutnya yang tanpa sengaja bersuara melihat adegan yang sungguh di luar dugaannya. Ya, Rachel melihat Xavier dan Ananditha yang tanpa sengaja menempelkan bibir keduanya. "Ooh God, apa dosaku?" pekik Rachel spontan. Ananditha yang
Dokter Hartono telah selesai memeriksa Anan dan berpamitan. Anan juga telah meminum obat pereda nyeri yang di resepkan untuknya. "Lihatlah, karena kecerobohanmu ... kau sungguh banyak merugikanku," omel Xavier. Anan tertegun, ada rasa takut sekaligus terharu dengan apa yang Xavier lakukan padanya hari ini. "Baru saja aku menyuruhmu memasak, belum lagi menyuruhmu yang lain ... kau sudah cidera." "Ma-maafkan aku, Tuan." lirih Anan meminta maaf. Rasanya sungguh tidak nyaman, baru beberapa hari saja dirinya bekerja, sudah begitu banyak drama yang Anan ciptakan untuk membuat Xavier kesal. "Tuan ...." panggil Anan ragu. Xavier kembali menatap Anan, "Hmm ... apa?" "Apa tidak sebaiknya aku kembali ke kampung saja, karena selalu membuat Tuan dalam kesulitan, sepertinya aku selalu saja membuat Tuan berada dalam kesusahan," terang Anan dengan wajah tertunduk. &nbs
Flashblack on Aurora Bella adalah putri tunggal dari Tommy Hans, seorang pengusaha tambang, yang berasal dari Inggris. Kenyataan yang selalu membuat Bella menjadi seorang antagonis, adalah ia terlahir dari seorang wanita Tionghoa, asli Pontianak, yang sempat menjadi sekretaris pribadi ayahnya tiga puluh tahun lalu. Hubungan percintaan keduanya berjalan begitu serius, masa-masa percintaan muda Tommy, dan Eunly, ibu kandung Bella, terbilang sangat romantis. Kisah cinta indah, khas remaja pada umumnya. Hingga suatu hari, sebuah berita yang tiba-tiba datang dari keluarga Tommy, di benua biru. Mengharuskan Tommy, kembali ke Negaranya dalam waktu singkat. Saat itu Eulyn, sedang mengandung anak, dari buah cintanya dan Tommy. Meski mereka secara agama, dan negara belum terikat dalam ikatan pernikahan. Tommy kembali ke Inggris, seorang diri ... memenuhi panggilan keluarga besarnya, yangvterny
Rossa sang pemilik butik, yang juga merupakan anggota sosialita dalam grup kumpulan wanita-wanita kaya raya ibukota itu datang menghampiri Ellena. "Long time no see," seru Rossa, seraya memeluk Ellena. "So miss you," balas Ellena, dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka saling melepas kerinduan, dan bertukar kabar. Hingga beberapa saat setelahnya, suara Bella kembali menginterupsinya. "Tante Rossa," sapa Bella ramah, dan anggun. "Hallo, Cantik ... senang bertemu kembali," balas Rossa tidak kalah hangat. "Sepertinya, kau membawa pasukan hari ini Ellen," ucap Rossa berseloroh. Di sambut tawa-tawa kecil Ellena dan Bella. Xavier sedang memindai seluruh sudut ruangan butik tersebut, mencari model yang pas dengan tubuh kecil Anan, saat pandangan Rossa tertuju padanya. "Xavier, aku rasa tadi malam, aku tidak bermimpi kejatuhan bintang, lantas apa yang membu
"Bruuk! oops ... Maaf ...," seru Anan panik. Rasa kagumnya ternyata membawanya pada masalah baru kini. "Aaasssh ...," desah suara geram sesorang yang Anan tabrak. Anan masih belum berani mengangkat wajahnya, berulang kali kepalanya menunduk, memohon maaf, atas kecerobohannya. Baju Anan juga sebagian menjadi basah, karena tumpahan soda milik korban yang ditabraknya. "Hai! ... kalau jalan pake mata dong," bentak wanita yang Anan tabrak. Anan gugup, ketakutan ... hingga sesaat kemudian suara Xavier datang, "Bella?" tegur Xavier. Bella tertegun, tidak menyangka Xavier ada di pusat perbelanjaan terbuka seperti ini. "Vier?" Bella kembali menyapa Xavier, ragu. "Sedang apa di sini?" tanya Bella, menuntaskan rasa penasarannya. "Menurutmu?" bukannya menjawab, Xavier justru balik bertanya pada Bella. Bella mengedikkan bahunya, selama mengenal Xavier 22 t
Ellena terus saja memperhatikan cara Anan melayani setiap permintaan Xavier, mulai dari mengeringkan rambut, memilih pakaian santai yang akan digunakan hari ini, hingga meminta membuatkannya nasi goreng kambing spesial khas buatan Anan. "Apa Mommy tidak punya kerjaan lain, selain menungguiku di sini?" tanya Xavier, sinis. "Aku hanya merindukan anakku," balas Ellena, tak kalah datar. "Hugh ... terima kasih," Xavier mendengus. "Anan, pergilah mandi sebelum kau menyiapkan sarapan untuk anakku," perintah Ellena yang kembali mematung, di samping putranya. Anan seketika melemparkan pandangannya bergantian ke arah Ellena dan Xavier. Pasalnya Xavier mengatakan padanya berulang kali bahwa hanya perintah Xavier saja yang harus didengar, bukan yang lain. "Pergilah An ..., segera bersihkan tubuhmu, dan siapkan sarapan yang ku minta, aku akan menunggu di ruang makan," kali ini suara Xavier yang mem
Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y
Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..
Seperti yang Xavier katakan tadi malam, Nyonya Ellena akan tiba di rumah hari ini. Dan tepat saja, pagi ini ... ya pagi! Matahari belum terlalu tinggi dan terik ketika wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat begitu cantik itu, datang dengan derap langkahnya yang berbunyi indah bak melodi pada tuts piano yang dihasilkan dari tumburan antara steleto dan lantai marmer rumah mewah ini, membuat semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari para pelayan memberi salam ramah kepadanya. Jam besar di sudut rumah kembali berdentang sebanyak sepuluh kali dengan gema yang begitu padu. Anan berdiri di depan kamar Xavier, sebelum beeangkat ke kantornya pagi ini, pria diktator itu telah berpesan kepadanya dan juga Bi Surti agar Ananditha tidak turun ke lantai satu. Penyambutan Anan kepada sang ibu hanya boleh dilakukan dari lantai dua, tepat di depan pintu kamar Xavier yang berhadapan lurus dengan pintu masuk di lantai dasar rumahnya, sehinhga meski dari sana, Anan tetap
Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua
"Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit