"Aku melihat Bella semakin memperlihatkan kebodohannya akhir-akhir ini," ujar Xavier mengundang senyum miris Derryl. "Mengapa dia tidak berpikir lebih cerdik, padahal sudah mengenalku sejak taman kanak-kanak."
"Mungkin Nona Bella sudah kehabisan akal," balas Derryl. Xavier mengedikkan bahunya, "Sepertinya kita tidak dapat berbicara masalah ini di kantor ... batalkan saja pertemuan kita dengan Greatfull, bila bukan Tommy yang menghampiriku," tegas Xavier memberikan keputusan. Derryl mengangguk, "Baik, Tuan." "Bisakah kita makan siang di rumah, dan melanjutkan pekerjaanku dari dalam kamar saja" tanya Xavier memelas. "Maaf Tuan, sepertinya itu tidak mungkin, sebab pukul empat sore nanti, Anda harus bertemu dengan klien kita dari Spectra Hotel and Resort," terang Derryl dengan wajah penuh penyesalan. Xavier memijat pangkal hidungnya. "Apa tidak bisa dipercepat saja? Aku sungguh lelah ... semalaman tidak bisa tidur dengan nyaman, aku merindukan kamarku ("dan gadis yang sekarang ada di dalam sana,")." rengek Xavier, membuat Derryl serba salah melihat bosnya bertingkah manja. Sebuah sikap yang belum pernah di temuinya selama dirinya mengenal seorang Xavier Rhys. "Saya akan coba menghubungi pihak Spectra," ujar Derryl menyerah. Xavier tersenyum puas, melihat Derryl akan berusaha memenuhi keinginannya untuk kembali ke rumah lebih awal.***** Sementara itu di rumah besar Xavier, seorang gadis desa yang kini tengah bekerja menjadi seorang pelayan pribadi dari penerus tunggal keluarga Rhys itu tengah di sibukkan oleh kegiatan mencari menu masakan yang dilakukan demi memuaskan sang tuan muda. Setelah hampir tiga jam Anan tertidur pulas seperti orang mati, dan terbangun saat Xavier menghubunginya, menanyakan jenis makanan apa yang di hidangkan untuknya siang ini. Anan terbangun dari sofa, terlonjak kaget, apalagi melihat jam yang menempel di dinding kamar Xavier, telah menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh menit. "Matilah aku! Bila Tuan muda kembali dan belum ada masakan yang terhidang untuknya," seru Anan panik, saat mendapati dirinya terbangun saat siang telah menjelang. Dengan langkah seribu, Anan kembali ke dapur ... meninggalkan kamar yang sejatinya belum benar-benar di rapikan. Menuruni anak tangga dengan terburu-buru, membuat Anan nyaris tersungkur di empat anak tangga terakhir, beruntung tangannya masih mampu menggapai salah satu pegangan di sisi kirinya. "Aaww ...." lenguh Anan merasakan sakit di bagian pergelangan kakinya. Membuatnya tertatih melangkah, melanjutkan tujuannya. Bi Surti yang melihat Anan kesulitan berjalan datang menghampiri gadis cantik itu, "Kamu kenapa An?"Anan meringis, seraya terus melangkah dengan langkahnya yang pincang. "Keseleo kayaknya Bi, kesandung di tangga," balas Anan dengan mimik wajah kesakitan.
"Ya Gusti ... Anan, kok bisa? Hati-hati Neng ...," pekik Bi Surti panik. Anan kembali meringis seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iya Bi, Anan terburu-buru tadi," aku Anan. "Mau kemana?" tanya Bi Surti penuh selidik. "Ke dapur Bi, mau masak buat tuan muda," terang Anan lagi. "Masak makanan apa?" Bi Surti semakin heran, pasalnya sebelum berangkat ke kantor tadi, sekretaris Derryl berpesan pada Bi Surti untuk tidak memasak makan siang tuan muda. "Menu makan siang, Bi." "Memangnya tuan muda akan pulang siang ini?" "Pesannya begitu Bi." "Siapa yang bilang?" "Tadi pagi tuan muda yang bilang langsung ke aku Bi," pungkas Anan, seraya kembali melangkah kembali dengan susah payah. "Bila terus menanggapi pertanyaan bi Surti dan berdiam di sini, kapan aku bisa mulai memasak?" pikir Anan. "Bibi bantu ya," ujar Bi Surti sembari menyamakan langkahnya dengan Anan***** Sore hari menjelang, rintik hujan gerimis menemani Anan dalam penantiannya. Xavier belum juga tiba di rumah, padahal jam besar di sudut rumah itu sudah berdentang beberapa kali. Namun, yang di harap tidak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Anan mulai jengah, nyatanya menanti di bawah hujan tidak sesyahdu seperti cerita di novel online yang pernah ia baca. Hingga sebuah deru suara mesin mobil yang tidak asing lagi bagi indera pendengaran Anan samar menyapa, diiringi cahaya lampu sorot mobil mewah dengan merk Rolls Royce Ghost berwarna putih itu juga turut menyapa indera penglihatan Anan, membuatnya silau. Selang beberapa detik berikutnya, mobil itu sudah tiba di hadapan Anan, menurunkan seorang pria bertubuh atletis dengan wajah kusut kelelahan, yang tak lain adalah Xavier, sang tuan muda. "Selamat sore Tuan," sapa Anan seraya membungkukkan tubuhnya. Xavier tidak menjawab, hanya memberikan jas yang di gunakan sepajang hari yang membuat moodnya berantakan seperti saat ini. Langkah Xavier terus melaju, tanpa balasan sapa. Hanya sekretaris Derryl yang selalu memberi senyum terbaik setiap kali bertemu Anan, seperti hari ini. "Ada apa?" Anan memberanikan diri untuk bertanya kepada tangan kanan Xavier tersebut. Kembali Derryl tersenyum, "Seperti biasa, sedikit masalah di kantor ...." "Anaandithaaaa ...." pekik suara Xavier memanggil Anan, menginterupsi perbincangan Derryl dan dirinya. "Pergilah segera, sebelum tuan muda semakin marah," ujar Derryl lagi. Anan seketika melangkahkan kakinya cepat, ingin mengejar Xavier yang sudah berada jauh dari tempatnya. Anan lupa bila saat ini kakinya sedang cedera. "Aawwh ... aaakh ...." pekik Anan kesakitan. Membuat Xavier membalikkan tubuhnya kembali dan berlari ke arah Anan dengan segera. Begitu pula dengan Derryl yang masih berada di sampingnya dengan sigap menyanggah tubuh Anan yang nyaris bertumburan dengan lantai. "Anan!" panggil Xavier tidak kalah panik. "Apa yang terjadi?" tanya Xavier lagi. Semburat kekhawatiran Xavier nyatanya mampu di tangkap oleh netra Derryl yang mengenal Xavier sejak kecil, membuat Derryl melepaskan senyum yang sulit di pahami. Karena nyatanya kini, wanita yang disukai sedari awal pertemuan mereka itu, kini juga telah berhasil merobohkan hati beku sang tuan muda, meski belum sepenuhnya disadari sang pemilik hati. "Kakiku ...." lirih suara Anan bergetar, antara ketakutan dan rasa sakit yang kini menyaru menjadi satu. "Kenapa kakimu?" Xavier kembali panik, jawaban menggantung Anan, masih belum memberikan informasi akurat yang diinginkan. "Anan ... jawab aku!" hardik Anan lagi, tidak sabar. Anan tertegun, ketakutannya semakin menjadi mendengar suara Xavier yang melengking di telinga. "Tu-an ... ma-maafkan aku," Anan terbata memulai ceritanya. "Aku keseleo, siang tadi kakiku selip dan nyaris terjatuh dari tangga, karena tergesa ingin menyiapkan makan siang untuk Anda," lanjutnya menerangkan. Xavier terlihat semakin marah, tanpa aba-aba dirinya merengkuh tubuh Anan. Menggendongnya ala bridal style. Membuat Anan tercengang sekaligus berdebar. Begitu juga dengan Derryl yang kehilangan kata-katanya sembari terus memandangi adegan romantis dihadapannya. Xavier melangkahkan kaki dengan segera menuju kamar pribadinya di lantai dua. "Der, hubungi Daniel ... perintahkan dia, agar segera hadir kurang dari sepuluh menit," perintah Xavier. Derryl masih bergeming, belum mampu berpaling dari apa yang menjadi perhatiannya kini. "Sekretaris Derryl," sapa Bi Surti yang baru saja datang dari luar, sehabis membelikan Anan minyak urut. Suara sapa Bi Surti, nyatanya mampu mengembalikan kesadaran Derryl dari keterpukauannya, dan membuat Derryl segera melaksanakan perintah Xavier.Di kamar Xavier .... Xavier meletakkan Anan perlahan di atas ranjang miliknya, dengan penuh hati-hati. Namun naasnya jam tangan milik Xavier tersangkut di pengait kancing baju Anan. Membuat wajah Xavier tersentak kembali, sehingga bibir Xavier bertumburan dengan bibir merah delima Anan yang kemarin, membuatnya tidak bisa tidur sepanjang malam. "Apakah malam ini, Anan dan Xavier akan kembali terjaga?"Rachel, datang dengan tergesa setelah mendapat panggilan dari Derryl. "Siapa yang sakit?" tanya Rachel tidak kalah panik, napasnya tersengal seperti orang yang baru saja usai mengikuti lomba lari marathon. "Nona Anan," jawab Derryl datar. "Anan? Siapa?" langkah Rachel terhenti, sesaat memandang Derryl dengan tatapan serius. "Pelayan pribadi tuan muda yanga baru." "Bi Ratna?" "Pensiun, dan Anan adalah keponakannya," terang Derryl. Rachel mengangguk dan kembali melangkahkan kaki menuju kamar Xavier. Tanpa mengetuk pintu, Rache yang merupakan kakak kandung Daniel sahabat sekaligus dokter pribadi Xavier, tanpa sungkan masuk ke dalam kamar tuan muda tersebut, tanpa mengetuk pintu. Bola mata Rachel membulat dengan tangan kanan menutup mulutnya yang tanpa sengaja bersuara melihat adegan yang sungguh di luar dugaannya. Ya, Rachel melihat Xavier dan Ananditha yang tanpa sengaja menempelkan bibir keduanya. "Ooh God, apa dosaku?" pekik Rachel spontan. Ananditha yang
Dokter Hartono telah selesai memeriksa Anan dan berpamitan. Anan juga telah meminum obat pereda nyeri yang di resepkan untuknya. "Lihatlah, karena kecerobohanmu ... kau sungguh banyak merugikanku," omel Xavier. Anan tertegun, ada rasa takut sekaligus terharu dengan apa yang Xavier lakukan padanya hari ini. "Baru saja aku menyuruhmu memasak, belum lagi menyuruhmu yang lain ... kau sudah cidera." "Ma-maafkan aku, Tuan." lirih Anan meminta maaf. Rasanya sungguh tidak nyaman, baru beberapa hari saja dirinya bekerja, sudah begitu banyak drama yang Anan ciptakan untuk membuat Xavier kesal. "Tuan ...." panggil Anan ragu. Xavier kembali menatap Anan, "Hmm ... apa?" "Apa tidak sebaiknya aku kembali ke kampung saja, karena selalu membuat Tuan dalam kesulitan, sepertinya aku selalu saja membuat Tuan berada dalam kesusahan," terang Anan dengan wajah tertunduk. &nbs
"Tentu saja karena kau kekenyangan ... kau makan begitu banyak," sanggah Bella memotong ucapan Xavier yang terdengar sinis dan mencurigainya. "Anggap saja seperti itu," balas Xavier dingin. "Vier, aku bertemu dengan Rachel di kafe tempat aku membeli kopi untukmu tadi ... dia bilang, ada seorang wanita yang tidur di kamarmu?" tanya Rachel penuh selidik. "Akh ... kalian para wanita memang senang sekali bergosip." Bella tersenyum miris, "Apakah pelayan itu?" "Bukan urusanmu!" pungkas Xavier sembari beranjak dari kursinya. "Apakah Nona Bella yang cantik jelita ini masih ada urusan lain denganku?" tanya Xavier penuh penekanan. "Kau mau kemana?" "Aku pemilik perusahaan besar, jelas saja aku memiliki banyak urusan," balas Xavier angkuh, tanpa memperdulikan wajah kesal Bella yang merasa di abaikan. "Baiklah, aku akan pergi ...." lirih Bella putus asa meninggalkan ru
"Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit
Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua
Seperti yang Xavier katakan tadi malam, Nyonya Ellena akan tiba di rumah hari ini. Dan tepat saja, pagi ini ... ya pagi! Matahari belum terlalu tinggi dan terik ketika wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat begitu cantik itu, datang dengan derap langkahnya yang berbunyi indah bak melodi pada tuts piano yang dihasilkan dari tumburan antara steleto dan lantai marmer rumah mewah ini, membuat semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari para pelayan memberi salam ramah kepadanya. Jam besar di sudut rumah kembali berdentang sebanyak sepuluh kali dengan gema yang begitu padu. Anan berdiri di depan kamar Xavier, sebelum beeangkat ke kantornya pagi ini, pria diktator itu telah berpesan kepadanya dan juga Bi Surti agar Ananditha tidak turun ke lantai satu. Penyambutan Anan kepada sang ibu hanya boleh dilakukan dari lantai dua, tepat di depan pintu kamar Xavier yang berhadapan lurus dengan pintu masuk di lantai dasar rumahnya, sehinhga meski dari sana, Anan tetap
Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..
Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y
Flashblack on Aurora Bella adalah putri tunggal dari Tommy Hans, seorang pengusaha tambang, yang berasal dari Inggris. Kenyataan yang selalu membuat Bella menjadi seorang antagonis, adalah ia terlahir dari seorang wanita Tionghoa, asli Pontianak, yang sempat menjadi sekretaris pribadi ayahnya tiga puluh tahun lalu. Hubungan percintaan keduanya berjalan begitu serius, masa-masa percintaan muda Tommy, dan Eunly, ibu kandung Bella, terbilang sangat romantis. Kisah cinta indah, khas remaja pada umumnya. Hingga suatu hari, sebuah berita yang tiba-tiba datang dari keluarga Tommy, di benua biru. Mengharuskan Tommy, kembali ke Negaranya dalam waktu singkat. Saat itu Eulyn, sedang mengandung anak, dari buah cintanya dan Tommy. Meski mereka secara agama, dan negara belum terikat dalam ikatan pernikahan. Tommy kembali ke Inggris, seorang diri ... memenuhi panggilan keluarga besarnya, yangvterny
Rossa sang pemilik butik, yang juga merupakan anggota sosialita dalam grup kumpulan wanita-wanita kaya raya ibukota itu datang menghampiri Ellena. "Long time no see," seru Rossa, seraya memeluk Ellena. "So miss you," balas Ellena, dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka saling melepas kerinduan, dan bertukar kabar. Hingga beberapa saat setelahnya, suara Bella kembali menginterupsinya. "Tante Rossa," sapa Bella ramah, dan anggun. "Hallo, Cantik ... senang bertemu kembali," balas Rossa tidak kalah hangat. "Sepertinya, kau membawa pasukan hari ini Ellen," ucap Rossa berseloroh. Di sambut tawa-tawa kecil Ellena dan Bella. Xavier sedang memindai seluruh sudut ruangan butik tersebut, mencari model yang pas dengan tubuh kecil Anan, saat pandangan Rossa tertuju padanya. "Xavier, aku rasa tadi malam, aku tidak bermimpi kejatuhan bintang, lantas apa yang membu
"Bruuk! oops ... Maaf ...," seru Anan panik. Rasa kagumnya ternyata membawanya pada masalah baru kini. "Aaasssh ...," desah suara geram sesorang yang Anan tabrak. Anan masih belum berani mengangkat wajahnya, berulang kali kepalanya menunduk, memohon maaf, atas kecerobohannya. Baju Anan juga sebagian menjadi basah, karena tumpahan soda milik korban yang ditabraknya. "Hai! ... kalau jalan pake mata dong," bentak wanita yang Anan tabrak. Anan gugup, ketakutan ... hingga sesaat kemudian suara Xavier datang, "Bella?" tegur Xavier. Bella tertegun, tidak menyangka Xavier ada di pusat perbelanjaan terbuka seperti ini. "Vier?" Bella kembali menyapa Xavier, ragu. "Sedang apa di sini?" tanya Bella, menuntaskan rasa penasarannya. "Menurutmu?" bukannya menjawab, Xavier justru balik bertanya pada Bella. Bella mengedikkan bahunya, selama mengenal Xavier 22 t
Ellena terus saja memperhatikan cara Anan melayani setiap permintaan Xavier, mulai dari mengeringkan rambut, memilih pakaian santai yang akan digunakan hari ini, hingga meminta membuatkannya nasi goreng kambing spesial khas buatan Anan. "Apa Mommy tidak punya kerjaan lain, selain menungguiku di sini?" tanya Xavier, sinis. "Aku hanya merindukan anakku," balas Ellena, tak kalah datar. "Hugh ... terima kasih," Xavier mendengus. "Anan, pergilah mandi sebelum kau menyiapkan sarapan untuk anakku," perintah Ellena yang kembali mematung, di samping putranya. Anan seketika melemparkan pandangannya bergantian ke arah Ellena dan Xavier. Pasalnya Xavier mengatakan padanya berulang kali bahwa hanya perintah Xavier saja yang harus didengar, bukan yang lain. "Pergilah An ..., segera bersihkan tubuhmu, dan siapkan sarapan yang ku minta, aku akan menunggu di ruang makan," kali ini suara Xavier yang mem
Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y
Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..
Seperti yang Xavier katakan tadi malam, Nyonya Ellena akan tiba di rumah hari ini. Dan tepat saja, pagi ini ... ya pagi! Matahari belum terlalu tinggi dan terik ketika wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat begitu cantik itu, datang dengan derap langkahnya yang berbunyi indah bak melodi pada tuts piano yang dihasilkan dari tumburan antara steleto dan lantai marmer rumah mewah ini, membuat semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari para pelayan memberi salam ramah kepadanya. Jam besar di sudut rumah kembali berdentang sebanyak sepuluh kali dengan gema yang begitu padu. Anan berdiri di depan kamar Xavier, sebelum beeangkat ke kantornya pagi ini, pria diktator itu telah berpesan kepadanya dan juga Bi Surti agar Ananditha tidak turun ke lantai satu. Penyambutan Anan kepada sang ibu hanya boleh dilakukan dari lantai dua, tepat di depan pintu kamar Xavier yang berhadapan lurus dengan pintu masuk di lantai dasar rumahnya, sehinhga meski dari sana, Anan tetap
Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua
"Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit