"Apa? ... ti-tidur di sini?" beo Anan tidak menyangka Xavier akan memberikan perintah seperti itu.
Xavier mengangguk dan tidak mengulang perintahnya, seraya berbalik arah kembali pada tujuan awalnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat peluh. Sementara itu Anan yang di tinggalkan Xavier begitu saja, merasa kikuk, bingung ... "Perintah macam apa ini?" batin Anan Butuh waktu sekian menit untuk Anan kembali pada kesadarannya. Melangkah keluar kamar, menuju dapur menyampaikan pesan Tuan muda-nya. Setelahnya Anan tidak langsung kembali ke kamar Xavier seperti yang diperintahkansang majikn tersebut. Anan justru kembali ke kamarnya, berdiam di atas kasurnya. Memganggap perintah bos-nya kali ini hanyalah gurauan. Hingga tak selang beberapa menit kemudian ponsel Anan berdering, sebuah nama yang tidak asing muncul di layar bemda pipih tersebut dan memacu detak jantungngya hingga berdebar lebih kencang. Dialah Xavier ... yang memanggil. "Kesini!" Perintahnya singkat dan langsung mematikan sambungan teleponnya, sebelum Anan bersuara sepatah katapun. Tangan Anan sedikit beegetar ... Anan, belum pernah tidur bersama satu kamar dengan pria siapapun itu. Apalagi dirinya dan Xavier baru saja saling mengenal. Dengan gontai langkahnya Anan mulai beranjak, menuju kama pria tamoan yang menjadi majikannya itu. Membawa bantal dan guling miliknya, dengan wajah yang di tekuk ... Anan memaksakan kaki-kakinya untuk segera menghampiri Xavier. Tok ... tok ... tok "Permisi," pamit Anan saat membuka daun pintu yang tidak dikunci. "Masuk, dan tidurlah di sofa itu ..." perintah Xavier tanpa basa-basi. "Jangan lupa, kunci pintu! perintahnya lagi. Xavier tengah bersandar santai di atas kasurnya sembari memperhatikan ipad di tanganny. Sekaligus memperhatikan kebingungan Anan yang terlihat menggemaskan di mata Xavier, untuk sekedar memutuskan arah tidurnya di atas sofa empuk, di kamarnya. "Apa yang sedang kau cari Ananditha?" tegur Xavier. "Hmm ... akh, ti-dak ada Tuan," jawab Anan gugup "Tidurlah, esok kau bisa saja kesiangan lagi. Dan aku akan menghukummu bila itu terjadi!" ancam Xavier. Anan bergeming ... mendengar kata hukuman, dirinya sudah ketakutan ... apa yang akan di lakukan bosnya ini? batin Anan ngeri. Dengan sekuat hati dan pikiran Anan merebahkan tubuhnya di sofa berwarna abu yang terasa begitu hangat. Mencoba memejamkan mata, hingga akhirnya Anan mampu benar-benar meyakinkan dirinya bahwa Xavier adalah orang berpendidikan yang tidak akan melakukan hal tercela padanya. Xavier yang masih terus memindai Anan, hingga kasak kusuk yang di lakukannya tak terdengar lagi, memutuskan melangkah mendekati sofa yang menjadi tempat Anan merebahkan tubuh indahnya. Dengan seksama, Xavier memindai wajah cantik gadis desa di hadapannya itu. Memgambil posisi duduk di atas meja yang terdapat di depan sofa tersebut.Perlahan tangannya terangsur membenahi anak rambut yang menutup sebagian wajah cantik Anan yang tengah menjadi perhatian Xavier saat ini.
Kulit mulus, bibir kecil merah delima membuat Xavier begitu tertarik untuk terus memandangnya lekat. Dan untuk pertama kali, pria angkuh ini merasa tertarik dengan wanita yang bahkan belum genap sepekan ia kenal. Entah mengapa detak jantung Xavier berbeda saat dekat dan melihat tingkah konyol gadis desa yang usianya belum juga genap dua puluh tahun ini, yang justru seringkali membuatnya kesal. "Ckck ... bagaimana kau tidak kesiangan, ternyata tidurmu sebegini pulas bila bertemu bantal," gumam Xavier pelan. Xavier kembali mengangsurkan tanggannya, membelai lembut dari mulai dahi menjalar kepipi hingga dagunya. Tidak cukup sampai di situ, gerakan tubuh Anan yang merasa terusik dengan sentuhan Xavier tidak serta merta membuat Xavier menjauh, kini tubuh athletis itu semakin mendekat, dengan wajah yang di condongkan ke arah wajah Anan, hingga kini ... keduanya dapat saling merasakan hembusan nafas hangat yang saling bertukar. Perlahan dan penuh kelembutan, Xavier mulai menempelkan bibir merahnya dengan bibir kecil milik Anan ... untuk sedikit demi sedikit Xavier cecap dan hisap dengan penuh penghayatan ... tidak peduli apakah nanti Anan akan terganggu hingga akhirnya bangun dan menamparnya. Saat ini, Xavier hanya ingin menuntaskan rasa penasaran yang muncul karena tergoda dengan apa yang ada di hadapannya kini. Anan menggeliat, membuat Xavier refleks melepaskan ciumannya, memastikan apakah Anan benar terbangun? Benar saja, perlahan kelopak mata Anan terbuka, dan dengan spontan Anan terlonjak dari sofa menjauh ... dari Xavier yang sudah duduk manis kembali di atas meja. "Aku hanya memastikan kau sudah tidur? Mana selimutmu? Karena aku akan membuat suhu ruangan ini lebih dingin sebelum tidur," tutur Xavier dengan santai berdalih seolah tidak pernah terjadi apapun diantara keduanya. Anan masih dengan rasa ketakutannya, Anan menggigit bibir bawahnya ... rasanya baru saja dia bermimpi aneh, seperti sedang di cium seseorang dengan wangi khas seperti aroma tubuh tuan muda yang ada di hadapannya kini. "Anan ...," panggil Xavier lagi yang melihat Anan seperti seorang korban pemerkosaan. "Haah ... akh, iya ... tu-an," jawab Anan gugup. "Aku tanya mana selimutmu?" "Maaf Tuan, saya lupa dan meninggalkannya di kamar." Xavier mengangguk, "Ambil selimut di lemariku, dan pakailah, aku tidak ingin kau kedingingan dan sakit karenanya," Anan beranjak cepat tanpa jeda. Rasanya berdekatan dengan Xavier membuat jantungnya ingin lepas dari sarangnya. Langkahnya yang terburu membuat Anan nyaris jatuh karena terjegal oleh kaki sebelahnya sendiri. Membuat senyum Xavier kembali merekah melihat tingkah pelayan kecilnya itu. "Berhati-hatilah Anan, kau bisa saja jatuh dan terluka saat terburu-buru seperti itu," pekik Xavier pada Anan yang sudah memasuki ruang wadrobe milik Xavier. Anan tak menghiraukan ucapan Xavier, langkahnya terus saja di pecepat, bayanga Xavier yang mencium bibirnya dalam mimpi tadi masih terus mengganggu pikiran dan akal sehatnya malam ini. "Aku tidak gila kan? Mendambakan seorang Xavier Rhys ... hingga terbawa mimpi dengan adegan seperti tadi?" gumam Anan lirih. "Mimpi apa?" Tiba-tiba suara Xavier menyapa Anan kembali. "Mengapa diam saja, saat aku memperingatkanmu untuk berhati-hati, hanya tidak ingin kau terjatuh membentur dinding lalu mati ... aku tidak ingin kau membuat kamarku berhantu," cicit Xavier lagi, menyebalkan. Samar Anan mendengus, menarik nafas dalam mendengar cicitan Xavier. "Hmm ... tidak Tuan, tidak bermimpi apapun." Xavier mengedikkan bahunya, sembari melanjutkan langkah menuju toilet untuk menyelesaikan tegaknya sesuatu dalam dirinya, namun bukan keadilan tentunya. Sebuah senyum yang tidak dapat diartikan juga kembali tersungging dari bibir merah Xavier.Meninggalkan Anan yang masih dengan pikiran tentang apa yang baru terjadi dialam bawah sadarnya. "Bibirku basah, apa aku ... akh, memalukan!" rutuk Anan lagi, seraya memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Sepertinya, aku memang sedang berhalusinasi."
Anan masih saja terus mengumpat sambil.memcari selimut untuk menutup tubuh kecilnnya, seperti apa yang Xavier perintahkan ... sejak awal Anan masuk ke kamar Xavier, memang udaranya terasa lebih dingin dibandingkan saat siang hari dirinya masuk untuk membersihkan ruangan ini.
"Anan, apa kau sudah tidur?" tanya Xavier yang telah keluar dari toilet. "Belum Tuan," jawab Anan yang masih berusaha menghitung domba untuk kembali terlelap. "Aku mendadak ingin makan mie instan," ujar Xavier santai. "Haiss ...sudah jam berapa ini?" batin Anan kesal. "Apa kau keberatan untuk menolongku membuatkannya?" tanya Xavier lagi dengan tatapan memelas. Anan beranjak malas dari posisi tidurnya, "Tidak Tuan, baiklah ... akan aku buatkan." Anan hendak melangkah keluar dari kamar Xavier, ketika tanpa dinduga Xavier juga ikut bangkit dari kasurnya ... berjalan mengikuti langkah kecil Anan di depannya. "Tuan, Anda mau kemana?" tanya Anan bingung. "Ingin melihatmu memasak mie instan." "Tuan, aku bisa melakukannya ... percayalah." Xavier tidak menghiraukan perkataan Anan, langkahnya tetap menyamai langkah Anan, hingga
"Kau berat sekali," keluh Xavier menyadarkan Anan dari posisinya yang sungguh memalukan. Anan terlonjak beberapa langkah ke belakang, "Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud kurang ajar," ujar Anan takut sekaligus malu. Bahkan bila saja lampu ruangan itu terang benderang pastilah dapat melihat wajah Anan yang kini telah merona dengan semburat merah muda yang menggoda. Xavier tidak menghiraukan permohonan maaf Anan. "Jam berapa sekarang?" tanya Xavier datar, seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. "Sudah pukul lima lebih empat puluh dua menit, Tuan." Tanpa basa-basi lagi, Xavier langsung beranjak dari tempat tidurnya, meninggalkan Anan yang masih diam mematung di sisi tempat tidur tersebut. "Turunlah, dan siapkan sarapanku," perintah Xavier dengan suara bariton yang mampu membuat kembali menarik kesadarannya, untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Anan dengan tergesa mengangguk, dan pergi
"Aku melihat Bella semakin memperlihatkan kebodohannya akhir-akhir ini," ujar Xavier mengundang senyum miris Derryl. "Mengapa dia tidak berpikir lebih cerdik, padahal sudah mengenalku sejak taman kanak-kanak." "Mungkin Nona Bella sudah kehabisan akal," balas Derryl. Xavier mengedikkan bahunya, "Sepertinya kita tidak dapat berbicara masalah ini di kantor ... batalkan saja pertemuan kita dengan Greatfull, bila bukan Tommy yang menghampiriku," tegas Xavier memberikan keputusan. Derryl mengangguk, "Baik, Tuan." "Bisakah kita makan siang di rumah, dan melanjutkan pekerjaanku dari dalam kamar saja" tanya Xavier memelas. "Maaf Tuan, sepertinya itu tidak mungkin, sebab pukul empat sore nanti, Anda harus bertemu dengan klien kita dari Spectra Hotel and Resort," terang Derryl dengan wajah penuh penyesalan. Xavier memijat pangkal hidungnya. "Apa tidak bisa dipercepat saja
Rachel, datang dengan tergesa setelah mendapat panggilan dari Derryl. "Siapa yang sakit?" tanya Rachel tidak kalah panik, napasnya tersengal seperti orang yang baru saja usai mengikuti lomba lari marathon. "Nona Anan," jawab Derryl datar. "Anan? Siapa?" langkah Rachel terhenti, sesaat memandang Derryl dengan tatapan serius. "Pelayan pribadi tuan muda yanga baru." "Bi Ratna?" "Pensiun, dan Anan adalah keponakannya," terang Derryl. Rachel mengangguk dan kembali melangkahkan kaki menuju kamar Xavier. Tanpa mengetuk pintu, Rache yang merupakan kakak kandung Daniel sahabat sekaligus dokter pribadi Xavier, tanpa sungkan masuk ke dalam kamar tuan muda tersebut, tanpa mengetuk pintu. Bola mata Rachel membulat dengan tangan kanan menutup mulutnya yang tanpa sengaja bersuara melihat adegan yang sungguh di luar dugaannya. Ya, Rachel melihat Xavier dan Ananditha yang tanpa sengaja menempelkan bibir keduanya. "Ooh God, apa dosaku?" pekik Rachel spontan. Ananditha yang
Dokter Hartono telah selesai memeriksa Anan dan berpamitan. Anan juga telah meminum obat pereda nyeri yang di resepkan untuknya. "Lihatlah, karena kecerobohanmu ... kau sungguh banyak merugikanku," omel Xavier. Anan tertegun, ada rasa takut sekaligus terharu dengan apa yang Xavier lakukan padanya hari ini. "Baru saja aku menyuruhmu memasak, belum lagi menyuruhmu yang lain ... kau sudah cidera." "Ma-maafkan aku, Tuan." lirih Anan meminta maaf. Rasanya sungguh tidak nyaman, baru beberapa hari saja dirinya bekerja, sudah begitu banyak drama yang Anan ciptakan untuk membuat Xavier kesal. "Tuan ...." panggil Anan ragu. Xavier kembali menatap Anan, "Hmm ... apa?" "Apa tidak sebaiknya aku kembali ke kampung saja, karena selalu membuat Tuan dalam kesulitan, sepertinya aku selalu saja membuat Tuan berada dalam kesusahan," terang Anan dengan wajah tertunduk. &nbs
"Tentu saja karena kau kekenyangan ... kau makan begitu banyak," sanggah Bella memotong ucapan Xavier yang terdengar sinis dan mencurigainya. "Anggap saja seperti itu," balas Xavier dingin. "Vier, aku bertemu dengan Rachel di kafe tempat aku membeli kopi untukmu tadi ... dia bilang, ada seorang wanita yang tidur di kamarmu?" tanya Rachel penuh selidik. "Akh ... kalian para wanita memang senang sekali bergosip." Bella tersenyum miris, "Apakah pelayan itu?" "Bukan urusanmu!" pungkas Xavier sembari beranjak dari kursinya. "Apakah Nona Bella yang cantik jelita ini masih ada urusan lain denganku?" tanya Xavier penuh penekanan. "Kau mau kemana?" "Aku pemilik perusahaan besar, jelas saja aku memiliki banyak urusan," balas Xavier angkuh, tanpa memperdulikan wajah kesal Bella yang merasa di abaikan. "Baiklah, aku akan pergi ...." lirih Bella putus asa meninggalkan ru
"Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit
Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua
Flashblack on Aurora Bella adalah putri tunggal dari Tommy Hans, seorang pengusaha tambang, yang berasal dari Inggris. Kenyataan yang selalu membuat Bella menjadi seorang antagonis, adalah ia terlahir dari seorang wanita Tionghoa, asli Pontianak, yang sempat menjadi sekretaris pribadi ayahnya tiga puluh tahun lalu. Hubungan percintaan keduanya berjalan begitu serius, masa-masa percintaan muda Tommy, dan Eunly, ibu kandung Bella, terbilang sangat romantis. Kisah cinta indah, khas remaja pada umumnya. Hingga suatu hari, sebuah berita yang tiba-tiba datang dari keluarga Tommy, di benua biru. Mengharuskan Tommy, kembali ke Negaranya dalam waktu singkat. Saat itu Eulyn, sedang mengandung anak, dari buah cintanya dan Tommy. Meski mereka secara agama, dan negara belum terikat dalam ikatan pernikahan. Tommy kembali ke Inggris, seorang diri ... memenuhi panggilan keluarga besarnya, yangvterny
Rossa sang pemilik butik, yang juga merupakan anggota sosialita dalam grup kumpulan wanita-wanita kaya raya ibukota itu datang menghampiri Ellena. "Long time no see," seru Rossa, seraya memeluk Ellena. "So miss you," balas Ellena, dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka saling melepas kerinduan, dan bertukar kabar. Hingga beberapa saat setelahnya, suara Bella kembali menginterupsinya. "Tante Rossa," sapa Bella ramah, dan anggun. "Hallo, Cantik ... senang bertemu kembali," balas Rossa tidak kalah hangat. "Sepertinya, kau membawa pasukan hari ini Ellen," ucap Rossa berseloroh. Di sambut tawa-tawa kecil Ellena dan Bella. Xavier sedang memindai seluruh sudut ruangan butik tersebut, mencari model yang pas dengan tubuh kecil Anan, saat pandangan Rossa tertuju padanya. "Xavier, aku rasa tadi malam, aku tidak bermimpi kejatuhan bintang, lantas apa yang membu
"Bruuk! oops ... Maaf ...," seru Anan panik. Rasa kagumnya ternyata membawanya pada masalah baru kini. "Aaasssh ...," desah suara geram sesorang yang Anan tabrak. Anan masih belum berani mengangkat wajahnya, berulang kali kepalanya menunduk, memohon maaf, atas kecerobohannya. Baju Anan juga sebagian menjadi basah, karena tumpahan soda milik korban yang ditabraknya. "Hai! ... kalau jalan pake mata dong," bentak wanita yang Anan tabrak. Anan gugup, ketakutan ... hingga sesaat kemudian suara Xavier datang, "Bella?" tegur Xavier. Bella tertegun, tidak menyangka Xavier ada di pusat perbelanjaan terbuka seperti ini. "Vier?" Bella kembali menyapa Xavier, ragu. "Sedang apa di sini?" tanya Bella, menuntaskan rasa penasarannya. "Menurutmu?" bukannya menjawab, Xavier justru balik bertanya pada Bella. Bella mengedikkan bahunya, selama mengenal Xavier 22 t
Ellena terus saja memperhatikan cara Anan melayani setiap permintaan Xavier, mulai dari mengeringkan rambut, memilih pakaian santai yang akan digunakan hari ini, hingga meminta membuatkannya nasi goreng kambing spesial khas buatan Anan. "Apa Mommy tidak punya kerjaan lain, selain menungguiku di sini?" tanya Xavier, sinis. "Aku hanya merindukan anakku," balas Ellena, tak kalah datar. "Hugh ... terima kasih," Xavier mendengus. "Anan, pergilah mandi sebelum kau menyiapkan sarapan untuk anakku," perintah Ellena yang kembali mematung, di samping putranya. Anan seketika melemparkan pandangannya bergantian ke arah Ellena dan Xavier. Pasalnya Xavier mengatakan padanya berulang kali bahwa hanya perintah Xavier saja yang harus didengar, bukan yang lain. "Pergilah An ..., segera bersihkan tubuhmu, dan siapkan sarapan yang ku minta, aku akan menunggu di ruang makan," kali ini suara Xavier yang mem
Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y
Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..
Seperti yang Xavier katakan tadi malam, Nyonya Ellena akan tiba di rumah hari ini. Dan tepat saja, pagi ini ... ya pagi! Matahari belum terlalu tinggi dan terik ketika wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat begitu cantik itu, datang dengan derap langkahnya yang berbunyi indah bak melodi pada tuts piano yang dihasilkan dari tumburan antara steleto dan lantai marmer rumah mewah ini, membuat semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari para pelayan memberi salam ramah kepadanya. Jam besar di sudut rumah kembali berdentang sebanyak sepuluh kali dengan gema yang begitu padu. Anan berdiri di depan kamar Xavier, sebelum beeangkat ke kantornya pagi ini, pria diktator itu telah berpesan kepadanya dan juga Bi Surti agar Ananditha tidak turun ke lantai satu. Penyambutan Anan kepada sang ibu hanya boleh dilakukan dari lantai dua, tepat di depan pintu kamar Xavier yang berhadapan lurus dengan pintu masuk di lantai dasar rumahnya, sehinhga meski dari sana, Anan tetap
Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua
"Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit