Beranda / Romansa / The Essence of Love / Perjalanan Pertama

Share

Perjalanan Pertama

Penulis: Kinantitha
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-03 17:44:45

     Flashback on

  Malam itu setelah Ananditha masuk ke dalam kamarnya, Ranty meminta Hasto menelpon Ratna, adiknya.

  Ranty meminta Ratna menjelaskan segalanya, demi jaminan keselamatan Ananditha, putri semata wayangnya.

  "Aman Ty, Anan akan baik-baik saja di sini ... majikanku baik banget, dan jarang di rumah, pekerjaannya juga gak berat," terang Ratna dari sebrang sambungan telepon itu.

  "Kamu tahu Teh, Anan belum pernah pergi jauh dariku, siapa di sana yang akan menjaganya?" tanya Ranty masih ragu.

  "Anan tidak bekerja sendiri Ty, di sini ada banyak pekerja ... dan mereka semua adalah teman yang baik untuk Anan,"

  "Majikanmu, laki-laki, atau perempuan? Sudah berkeluarga atau belum?"

  "Laki-laki muda Ty, dia pengusaha sukses, bisnisnya di mana-mana ... sering keluar negeri, jarang ada di rumah."

  "Baiklah, aku percaya ... akan aku bicarakan dangan Hasto lagi," pungkas Ranty memutuskan sambungan teleponnya.

   "Aku akan menjaga bibi, bila Anandita pergi," tutur Hasto, turut meyakinkan Ranty agar mengizinkan Ananditha.

  Flashback off

  *****

  Sepanjang malam, Ananditha tak dapat memejamkan matanya ... pikirannya melayang jauh pada rencana masa depan yang akan dimulai esok hari.

  Bayangan kota yang indah, seolah dekat dengan pelupuk matanya, menjanjikan keberhasilan sempurna seperti apa yang di dambanya selama ini.

  Ananditha yang polos, menganggap kota adalah surga dunia yang harus ia dapatkan, yang harus ia taklukkan. Pikiran naifnya membuat segala kemungkinan buruk yang mungkin saja menghampirinya tidak masuk dalam daftar antisipasinya ... seperti menyiapkan kantung kecewa dalam jumlah yang besar misalnya.

   Ketika malam beranjak pagi, entah baru beberapa jam saja rasanya Ananditha tertidur dengan penuh rasa bahagia yang membucah, hingga terdengar suara sang ibu yang sudah duduk di samping tempat tidurnya, memanggil namanya dengan suara yang begitu lembut.

  "Nan ... bangun Nan, udah siang ..." ujar Ranty sembari mengguncang pelan tubuh Ananditha.

   "Hooaaam ...," Ananditha menguap, badannya mulai terlihat menggeliat. Namun matanya tak kunjung terbuka.

  "Nan ... Anan ... Ananditha, ayoo bangun," sekali lagi Ranty mengguncang-guncang tubuh Anandita.

  "Lima menit lagi ya Bu ...," rengek Anandita seraya kembali menutup wajahnya dengan bantal.

  "Gimana mau kerja di kota?"

   Ananditha bergegas bangkit dari tidurnya, duduk di depan ibunya, dengan berusaha keras membuka matanya selebar mungkin, meski terlihat jelas mata itu masih menahan kantuk yang sangat, namun sepertinya kata kota membuatnya melupakan segala hal lain. Hanya kota yang ada dalam angannya kini.

   "Mandi, biar segar ... dan segeralah bersiap, sebentar lagi Kang Hasto datang," ujar Ranty mengingatkan.

   Ananditha menganggung kencang, sebagai tanda bahwa ia paham atas apa yang menjadi perintah sang ibu, sekaligus mengusir rasa kantuk, berharap dengan mengangguk kencang aliran darah di kepalanya, akan ikut berjalan sempurna mengusir kantuknya.

*****

   Tepat pukul delapan pagi waktu Indonesia bagian barat, Ananditha sudah siap dengan segala barang bawaannya, menanti kehadiran sang sepupu yang akan mengantarkannya ke kota, tempat di mana Ananditha akan bekerja menggantikan sang bibi yang sakit.

  "Mengapa Kang Hasto, lama sekali ya Bu?" tanya Anan jenuh sekaligus khawatir.

  "Bersabarlah Nan ... mungkin Hasto kesiangan bangun," Ranty mencoba menenangkan Ananditha yang mulai mengeluh tidak sabar.

   Anan masih terus bergelayut manja dangan sang ibu yang sebentar lagi akan di tinggalkannya dalam waktu yang lama ... tidak kurang dari satu tahun atau bahkan lebih. Tergantung bagaimana nanti majikannya akan membuat peraturan.

   Sebuah mobil berjenis mini bus berwarna hitam dengan kapasitas penumpang dewasa kurang lebih enam belas orang masuk ke halaman rumah Ananditha, yang sontak mengundang binar bahagia di bola mata coklat nan indah miliknya itu.

   "Bu ... Kang Hasto!" seru Ananditha bangkit dan melonjak-lonjak kegirangan.

    "Ibu pikir, kamu sudah dewasa seutuhnya ... tapi melihat tingkahmu yang masih seperti ini, ibu kembali ragu melepaskan kepergianmu ...." ujar Ranty memindai Ananditha dengan sendu.

    Mendengar ibunya bertutur seolah ingin membatalkan niatnya untuk pergi, Ananditha mendadak hening tak bergeming. Mimik wajahnya serta merta berubah pias.

   Hasto yang melihat interaksi ibu dan anak sejak tadi dari kejauhan, hanya tersenyum. Sungguh, bibinya begitu menjaga gadis cantik nan lugu seperti Ananditha itu layaknya emas.

  "Maafkan abdi, Bi." ujar Hasto menghampiri kedua wanita itu memecah keheningan diantaranya. "Tadi kesiangan supir travelnya ... bannya sempat bocor," terangnya lagi.     

   Ranty mengangguk, "Gak apa-apa Has, ini loh adikmu yang sudah takut kamu batal mengantarkannya ke kota ... merengek terus," cibir Ranty seraya melirik sang putri yang sudah menyembunyikan wajahnya di balik pilar rumah kayu mereka itu.

    Hasto kembali tersenyum, melihat Ananditha muncul kembali dari balik pilar dengan pipi bersemburat merah muda, tanda menahan malu.

   "Sudah, nanti keburu siang ... dan ibu berubah pikiran, berangkat sana." Ranty memerintahkan Anan dan Hasto untuk segera beranjak. 

   Hasto membantu membawakan tas bawaan Anan yang tak cukup besar untuk ukuran orang yang akan bekerja di kota. Sepertinya Anan hanya mempersiapkan barang-barang sekadarnya saja.

   Ananditha berpamitan menyalami, memeluk, dan mencium sang ibu dengan penuh sayang, dan kerinduan. Meski belum benar-benar pergi, Ananditha merasa hatinya sudah merindukan sang ibu.

   "Anan pergi ya Bu," pamit Anan dengan pelupuk maa yang sudah di genangi buliran hangat penuh yang sudah mendesak keluar. "Anan mohon, jaga diri Ibu baik-baik, selama Anan tidak ada, jangan bekerja terlalu keras, Anan akan mengirimkan biaya hidup Ibu nanti." Cicitnya lagi.

   Ranty mengulas senyum tipis, anak semata wayang yang selama ini ia besarkan dengan kasih utuh yang dimilikinya, kini harus ia relakan pergi, seperti kehendaknya. "Anan sudah besar, dan dia memiliki mimpinya sendiri," batin Ranty.

   "Kamu juga berhati-hatilah di sana, ibu akan selalu mendoakan kebaikan untukmu ya ...." ujar Ranty, seraya membelai sayang wajah Ananditha, serta menghapus jejak airmatanya.

   "Kami berangkat ya Bi. Assalamu'alaikum ...." pamit Hasto, mengakhiri adegan berpamitan antara ibu dan anak gadis itu.

    Ranty mengangguk, air mata yang sedari tadi coba di tahannya kini merembes membersamai langkah Anan yang semakin menjauh.

   Bohong bila dirinya tak sedih ... bohong bila ia tak kehilangan, Anan adalah buah hati satu-satunya yang suaminya tinggalkan. Itu pula yang menjadi sebab mengapa selama ini Ranty tak pernah membiarkan Anan pergi jauh dari sisinya. Rasa sayang dan memiliki yang begitu besar, membuat Ranty, tak ingin Anan meninggalkannya walau sekejap saja.

    Hamparan luas kebun teh nan hijau menyejukkan mata adalah pemandangan yang kelak akan Anan rindukan, bersama semilir angin lembut yang mengalun menyapa indera perabanya, Anan dengan hati yang penuh kebahagian menikmati perjalanannya kali ini dengan tidak sabar.

   "Berapa lama perjalanan kita Kang?" tanya Anan tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.

   "Kalau tidak macet, kurang lebih empat jam."

     "Empat jam, waktu yang tidak begitu lama ...," gumam Anan penuh harap.

   "Tidurlah, bila kamu lelah ... nanti Akang bangunkan bila sudah tiba."

   "Hehe ... aku tak mungkin bisa tidur Kang, ini perjalanan pertamaku keluar kampung," ujar Anan bersemangat.

   Hasto hanya tersenyum melihat tingkah Anan, "Hmm ... baiklah, kalau begitu ... biar akang saja yang tidur," tutur Hasto, menyandarkan kepalanya dan terpejam, meninggalkan Ananditha dan kekagumannya.

Bab terkait

  • The Essence of Love   Hi Boss

    Empat jam perjalanan ... tidak membuat seorang Ananditha terlihat kelelahan, masih dengan penuh semangat gadis belia tersebut melangkah, memasuki pintu gerbang yang berukuran sangat besar itu, tingginya mungkin lima kali dari tinggi badannya."Ini rumahnya Kang?" tanya Anan kagum. Pasalnya, di kampung tempat Anan tinggal tidak ada satupun yang memiliki rumah sebesar ini, meskioun dia seorang juragan kebun teh. Hasto mengangguk, "Iya, ini rumah majikan Ambu.""Lebih mirip istana, daripada rumah." "Berdoa, siapa tahu kamu besok punya rumah seperti ini Nan," ucap Hasto menggoda sepupunya itu"Mimpi!" seru Ananditha, mengundang gelak tawa Hasto dan dirinya bersamaan. Seorang berseragam security terlihat bersiaga tepat di dekat pos penjagaannya. "Pak Wardi!" panggil Hasto yang sepertinya sudah mengenal pria bertubuh tinggi dan gagah dengan kumis tebal. Seseorang bernama W

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-06
  • The Essence of Love   Perkenalan

    Malam kian larut, di sudut rumah besar tersebut terdapat sebuah jam besar berdiri kokoh, dengan suara dentangan yang membahana di seluruh ruangan pada waktu-waktu tertentu, seperti beberapa menit yang lalu. Ananditha masih terjaga, majikan tampan tempatnya akan mengabdi sejak hari ini belum juga terlihat batang hidung bangirnya yang sempat menggoda iman Ananditha siang tadi. Sedangkan, jarum jam sudah menunjukkan pukul 23:10 waktu Indonesia bagian barat. Sebuah novel romance menjadi teman Anan, menanti kepulangan seorang Xavier malam ini. Seperti pesan bi Ratna sebelum kembali ke kampung halamannya bersama Hasto sore tadi. Anan harus berjaga hingga sang majikan masuk ke dalam kamarnya dan memastikan segala kebutuhannya telah terpenuhi, tanpa ada kurang. Sebab, ini adalah hari pertamanya bekerja di sini. Sebuah derap langkah sepatu yang bertumburan dengan lantai marmer samar-samar mulai mendekat, bersamaan dengan lampu ruang tamy

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-06
  • The Essence of Love   Perkenalan (2)

    "Aku suka kopi buatanmu malam ini, aku harap kau stabil meraciknya," pesan Xavier saat langkah Anan tersisa beberapa langkah lagi saja untuk segera keluar dari kamarnya. Anan kembali membalikkan tubuhnya, mengangguk, seraya memegangi jantungnya yang nyaris terlepas dari tempatnya, sebab keterkejutan yang di dapati dari suara bariton yang tanoa aba-aba tersebut. "Baik Tuan, saya pamit." balas Anan sopan. Sesampainya di dalam kamar Ananditha tak dapat tidur, padahal kasur di sini lebih bagus dan empuk di bandingkan dengan tempat tidur yang biasa ia tempati sebagai peraduan mimpi di rumahnya. Kata-kata "besok aku akan aku akan berkenalan lebuh lanjut" yang Xavier ucapkan tadi, menjadi momok tersendiri baginya. Dalam bayangannya entah apa yang akan dilakukan oleh Tuan muda itu esok padanya. Kembali Anan merindukan sang ibu, malam ini meruoakan malam oertama baginya t

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-07
  • The Essence of Love   The Beautiful Housemaid

    "Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan. Ananditha patuh, dengan penuh kehati-hatian dirinya duduk di sebuah sofa berwarna maroon berbahan bludru yang begitu lembut, empuk dan sangat nyaman. Dengan penuh perhatian Xavier memindai pelayan pribadinya ini. Sangat berbeda dengan sang bibi ya yang telah berusia lanjut, Xavier justru merasa kedepannya, bukan Anan yang akan melayaninya, melainkan Xavierlah yang akan melayani Anan. "Cantik!" batin Xavier dalam hati. Sebuah senyum smirk tercetak sempurna di bibir Xavier, melihat betapa kikuknya Anan yang seperti di penjara berada dalam ruangan kerja mewah tersebut. "Salam kenal, nona Ananditha," sapa Derryl ramah, penuh senyum. "Saya Derryl Antoni, sekretaris pribadi, Tuan muda Xavier," terang Derryl masih dengan senyum menawan. Ananditha menyambut uluran t

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-08
  • The Essence of Love   Tidur di Sini

    Hari ini tidak ada agenda Xavier makan siang di rumah seperti kemarin, bahkan menurut jadwal yang sekretaris Derryl sampaikan, Xavier akan kembali setelah makan malam. Sekitar pukul sepuluh malam. Dengan santai, Ananditha melakukan aktivitas membersihkan kamar Xavier, tanpa merubah tata letak barang-barang yang ada di sana. Hanya sekedar menjauhkan debu dan merapikan. Tanpa membuang selembarpun kertas yang ada di sana. Begitu pesannya. Sambil sesekali mengambil foto dengan beraneka gaya di beberapa sudut kamar Xavier. Ananditha begitu polos, tanpa menyadari CCTV yang terpasang di dalam kamar tersebut. Ananditha bersenandung dan menari gembira, gadis belia yang pada dasarnya memiliki sifat periang, ceria dan manja ini, begitu menikmati tugasnya hari ini, tanpa merasa terintimidasi oleh tatapan sang bos yang seringkali membuat bulu halus di tengkuknya meremang, ngeri. Di lain tempat, Xavier dengan senyu

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-10
  • The Essence of Love   Dream

    "Apa? ... ti-tidur di sini?" beo Anan tidak menyangka Xavier akan memberikan perintah seperti itu. Xavier mengangguk dan tidak mengulang perintahnya, seraya berbalik arah kembali pada tujuan awalnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat peluh. Sementara itu Anan yang di tinggalkan Xavier begitu saja, merasa kikuk, bingung ... "Perintah macam apa ini?" batin Anan Butuh waktu sekian menit untuk Anan kembali pada kesadarannya. Melangkah keluar kamar, menuju dapur menyampaikan pesan Tuan muda-nya. Setelahnya Anan tidak langsung kembali ke kamar Xavier seperti yang diperintahkansang majikn tersebut. Anan justru kembali ke kamarnya, berdiam di atas kasurnya. Memganggap perintah bos-nya kali ini hanyalah gurauan. Hingga tak selang beberapa menit kemudian ponsel Anan berdering, sebuah nama yang tidak asing muncul di layar bemda pipih tersebut dan memacu detak jantungngya hingga berdebar

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-12
  • The Essence of Love   Mie Instan

    "Anan, apa kau sudah tidur?" tanya Xavier yang telah keluar dari toilet. "Belum Tuan," jawab Anan yang masih berusaha menghitung domba untuk kembali terlelap. "Aku mendadak ingin makan mie instan," ujar Xavier santai. "Haiss ...sudah jam berapa ini?" batin Anan kesal. "Apa kau keberatan untuk menolongku membuatkannya?" tanya Xavier lagi dengan tatapan memelas. Anan beranjak malas dari posisi tidurnya, "Tidak Tuan, baiklah ... akan aku buatkan." Anan hendak melangkah keluar dari kamar Xavier, ketika tanpa dinduga Xavier juga ikut bangkit dari kasurnya ... berjalan mengikuti langkah kecil Anan di depannya. "Tuan, Anda mau kemana?" tanya Anan bingung. "Ingin melihatmu memasak mie instan." "Tuan, aku bisa melakukannya ... percayalah." Xavier tidak menghiraukan perkataan Anan, langkahnya tetap menyamai langkah Anan, hingga

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14
  • The Essence of Love   Kamu Cantik

    "Kau berat sekali," keluh Xavier menyadarkan Anan dari posisinya yang sungguh memalukan. Anan terlonjak beberapa langkah ke belakang, "Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud kurang ajar," ujar Anan takut sekaligus malu. Bahkan bila saja lampu ruangan itu terang benderang pastilah dapat melihat wajah Anan yang kini telah merona dengan semburat merah muda yang menggoda. Xavier tidak menghiraukan permohonan maaf Anan. "Jam berapa sekarang?" tanya Xavier datar, seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. "Sudah pukul lima lebih empat puluh dua menit, Tuan." Tanpa basa-basi lagi, Xavier langsung beranjak dari tempat tidurnya, meninggalkan Anan yang masih diam mematung di sisi tempat tidur tersebut. "Turunlah, dan siapkan sarapanku," perintah Xavier dengan suara bariton yang mampu membuat kembali menarik kesadarannya, untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Anan dengan tergesa mengangguk, dan pergi

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14

Bab terbaru

  • The Essence of Love   Aurora Bella

    Flashblack on Aurora Bella adalah putri tunggal dari Tommy Hans, seorang pengusaha tambang, yang berasal dari Inggris. Kenyataan yang selalu membuat Bella menjadi seorang antagonis, adalah ia terlahir dari seorang wanita Tionghoa, asli Pontianak, yang sempat menjadi sekretaris pribadi ayahnya tiga puluh tahun lalu. Hubungan percintaan keduanya berjalan begitu serius, masa-masa percintaan muda Tommy, dan Eunly, ibu kandung Bella, terbilang sangat romantis. Kisah cinta indah, khas remaja pada umumnya. Hingga suatu hari, sebuah berita yang tiba-tiba datang dari keluarga Tommy, di benua biru. Mengharuskan Tommy, kembali ke Negaranya dalam waktu singkat. Saat itu Eulyn, sedang mengandung anak, dari buah cintanya dan Tommy. Meski mereka secara agama, dan negara belum terikat dalam ikatan pernikahan. Tommy kembali ke Inggris, seorang diri ... memenuhi panggilan keluarga besarnya, yangvterny

  • The Essence of Love   Terpesona

    Rossa sang pemilik butik, yang juga merupakan anggota sosialita dalam grup kumpulan wanita-wanita kaya raya ibukota itu datang menghampiri Ellena. "Long time no see," seru Rossa, seraya memeluk Ellena. "So miss you," balas Ellena, dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka saling melepas kerinduan, dan bertukar kabar. Hingga beberapa saat setelahnya, suara Bella kembali menginterupsinya. "Tante Rossa," sapa Bella ramah, dan anggun. "Hallo, Cantik ... senang bertemu kembali," balas Rossa tidak kalah hangat. "Sepertinya, kau membawa pasukan hari ini Ellen," ucap Rossa berseloroh. Di sambut tawa-tawa kecil Ellena dan Bella. Xavier sedang memindai seluruh sudut ruangan butik tersebut, mencari model yang pas dengan tubuh kecil Anan, saat pandangan Rossa tertuju padanya. "Xavier, aku rasa tadi malam, aku tidak bermimpi kejatuhan bintang, lantas apa yang membu

  • The Essence of Love   Shopping Together (2)

    "Bruuk! oops ... Maaf ...," seru Anan panik. Rasa kagumnya ternyata membawanya pada masalah baru kini. "Aaasssh ...," desah suara geram sesorang yang Anan tabrak. Anan masih belum berani mengangkat wajahnya, berulang kali kepalanya menunduk, memohon maaf, atas kecerobohannya. Baju Anan juga sebagian menjadi basah, karena tumpahan soda milik korban yang ditabraknya. "Hai! ... kalau jalan pake mata dong," bentak wanita yang Anan tabrak. Anan gugup, ketakutan ... hingga sesaat kemudian suara Xavier datang, "Bella?" tegur Xavier. Bella tertegun, tidak menyangka Xavier ada di pusat perbelanjaan terbuka seperti ini. "Vier?" Bella kembali menyapa Xavier, ragu. "Sedang apa di sini?" tanya Bella, menuntaskan rasa penasarannya. "Menurutmu?" bukannya menjawab, Xavier justru balik bertanya pada Bella. Bella mengedikkan bahunya, selama mengenal Xavier 22 t

  • The Essence of Love   Shopping Together

    Ellena terus saja memperhatikan cara Anan melayani setiap permintaan Xavier, mulai dari mengeringkan rambut, memilih pakaian santai yang akan digunakan hari ini, hingga meminta membuatkannya nasi goreng kambing spesial khas buatan Anan. "Apa Mommy tidak punya kerjaan lain, selain menungguiku di sini?" tanya Xavier, sinis. "Aku hanya merindukan anakku," balas Ellena, tak kalah datar. "Hugh ... terima kasih," Xavier mendengus. "Anan, pergilah mandi sebelum kau menyiapkan sarapan untuk anakku," perintah Ellena yang kembali mematung, di samping putranya. Anan seketika melemparkan pandangannya bergantian ke arah Ellena dan Xavier. Pasalnya Xavier mengatakan padanya berulang kali bahwa hanya perintah Xavier saja yang harus didengar, bukan yang lain. "Pergilah An ..., segera bersihkan tubuhmu, dan siapkan sarapan yang ku minta, aku akan menunggu di ruang makan," kali ini suara Xavier yang mem

  • The Essence of Love   Sidak Ellena

    Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y

  • The Essence of Love   Dinner

    Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..

  • The Essence of Love   Jangan Terlalu Dekat

    Seperti yang Xavier katakan tadi malam, Nyonya Ellena akan tiba di rumah hari ini. Dan tepat saja, pagi ini ... ya pagi! Matahari belum terlalu tinggi dan terik ketika wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat begitu cantik itu, datang dengan derap langkahnya yang berbunyi indah bak melodi pada tuts piano yang dihasilkan dari tumburan antara steleto dan lantai marmer rumah mewah ini, membuat semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari para pelayan memberi salam ramah kepadanya. Jam besar di sudut rumah kembali berdentang sebanyak sepuluh kali dengan gema yang begitu padu. Anan berdiri di depan kamar Xavier, sebelum beeangkat ke kantornya pagi ini, pria diktator itu telah berpesan kepadanya dan juga Bi Surti agar Ananditha tidak turun ke lantai satu. Penyambutan Anan kepada sang ibu hanya boleh dilakukan dari lantai dua, tepat di depan pintu kamar Xavier yang berhadapan lurus dengan pintu masuk di lantai dasar rumahnya, sehinhga meski dari sana, Anan tetap

  • The Essence of Love   Tetaplah Di Sini

    Binar mata Anan menyorot dalam atas ucapan yang baru saja Xavier sampaikan, "Apa tuan muda ini sedang menyindirku?" batin Anan penuh prasangka. Anan menggeleng kencang, rasa tak enak hati itu sungguh membuatnya gugup, canggung. "Ti-dak, terima kasih Tuan," balas Anan atas pertanyaan Xavier sesaat lalu. "Apa masih terasa begitu sakit?" kembali Xavier mengutarakan ke khawatirannya. Sekali lagi Anan menggeleng, tanpa suara dan kembali memalingkan pandangannya. "Jangan menjawabku selalu dengan gelengan kepala, urat-urat lehermu bisa saja lelah atau bahkan putus," sinis Xavier seraya beranjak dari tepi ranjang tempat Anan berbaring. Anan kembali memandang majikannya tersebut, dirinya yang terlalu perasa, semakin merasa tak nyaman dengan ucapan-ucapan Xavier. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di sana, panggil aku jika kau memerlukan bantua

  • The Essence of Love   Pelayan Pribadi

    "Kau yang harusnya keluar dari rumahku Bella! Ananditha bukan tandinganmu." Suara bariton Xavier terdengar begitu dingin bagi siapapun yang mendengarnya. Xavier yang tiba-tiba berdiri tegak menjulang di depan pintu kamarnya itu, datang tanpa aba-aba, membuat Bella dan seluruh penghuni kabar terlihat begitu teekejut dengan kehadiran tuan muda Rhys tersebut. Langkah Xavier terlihat begitu tenang, mendekat ke arah Bella, sebelum akhrinya tubuh athletis nan sempurna itu ikut bersimpuh disamping Anan. Membersihkan buliran keringat dingin yang membasahi dahi Anan dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya. Sebuah adegan yang membuat Bella semakin murka hingga degub jantungnya bahkan bisa di dengar siapapun yang berdiri dekat dengannya kini. Namun saat ini, nyali Bella tidaklah sebesar keangkuhannya dihadapan Anan beberapa waktu yang lalu. "Sakit?" suara Xavier yang semula mengerikan, kini terdengar begit

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status