Gus Farhan terpaksa berhenti di sebuah wilayah sepi, tidak begitu ramai dengan pusat perkotaan. Ia menepi dari kerumunan banyak manusia. Bermaksud mengasingkan diri supaya tidak dipotret oleh santri Asmaul Khusna, atau tetangga pondok pesantren. Wajahnya tentu telah amat familiar. Ia menjauh dari wilayah tempat kelahiran, mengungsikan dari desa-desa kecil dekat rumah masa kecil. Mustahil juga jika Gus Farhan terus tidur di dalam mobil. Punggung dan kepala akan terasa pegal. Maka, dengan modal uang tabungannya sendiri, hasil sisa-sisa saku dari Abah Aziz ketika ia melaksanakan study di Mesir, Gus Farhan mencari tempat tinggal baru. Sebuah rumah sederhana dengan dua pintu dan empat jendela, hasil saran dari Kang Zaki melalui ponsel. Ia amat bersyukur memiliki Kang Zaki, meski tak lagi berada di pondok, tetapi Kang Zaki tetap menjaga komunikasi baik dengannya. Menanyakan kabar, keberadaan juga telah makan atau belum. Hingga pada hari kemarin, sewaktu malam menghadirkan gelap di pinggira
Hari itu dinding kaca toko dipenuhi embun. Jalan aspal basah. Lubang-lubang digenangi dengan air keruh. Pengendara sepeda motor mengenakan jas hujan. Payung-payung mekar, bagai kelopak mawar yang mengembang. Ketika itu langit barat yang biasa menampilkan wajah artistik mengambil cuti, tubuhnya dilukis dengan cat abu-abu, menjadi redup serupa remaja murung karena kehilangan kepercayaan dari orang terkasih. Agam sedang mengelap lantai menggunakan kain pel. Pengunjung yang datang, menyisakan jejak kotor di lantai. "Sudahi saja, nanti akan kotor lagi, Agam. Mending kamu istirahat, lagi pula kamu belum utuh sehat, kan?" saran Zea. "Hmm ... aku tidak lemah. Ketahuilah Zea, ini bukan perihal kotor atau bersih, tetapi tentang kenyamanan pembeli. Kalau kamu masuk ke toserba kotor, memangnya kamu tetap berselera membeli dagangannya?" Hujan menjadi akrab dengan cup-cup kopi hangat. Penjejak langkah emper trotoar sedang menikmati sensasi kepulan asap dari aroma nikotin. Zea menginginkan hal ter
Pulang dari toserba, Bawon merasa ada hal ganjil. Ia kurang suka dengan penampilan Bela hari itu. Sosok gadis yang tidak pantas lagi disebut gadis itu mengenakan pakaian sopan. Lutut ditutup, bibir memang masih merona, tetapi rambut dicatnya dibungkus rapat. Tiada leher jenjang yang disuguhkan menghadap malam, tidak ada pula aroma parfume menyengat sebagaimana hari lalu. Bawon menendang tungkai Bela tanpa belas kasihan. Membiarkan keramaian menjadi potret dan saksi keberingasan Bawon."Apa-apaan ini? Siapa yang menyuruh lo ganti penampilan, ha? Lo mau kondangan di tempat ini, ha?" sentak Bawon yang disengat muntab paling ganas. Jelas penampilan Bela akan mengurangi pemasukan detik itu. Siapa yang mau melirik perempuan berjilbab dan berpakaian sopan di tempat seperti itu? Lagi pula, mengapa Bela juga berganti gaya? Bawon merasa pening. "Siapa yang mengajari lo berpakaian seperti itu, ha?" "Nggak ada, ini kesadaran dari kewarasan aku yang masih tersisa!" "Bedebah!" Bawon menendang
Sepulang kerja, menjelang pagi dan fajar akan terbit malu-malu. Zea dan Agam berjalan menjauhi toserba. Sebenarnya Agam pulang lebih awal, ia merasa suntuk menunggu jam kepulangan. Shift kerjanya tidak kunjung usai. Zea ikut-ikutan, ia mengubungi rekan dekat untuk segera mengganti shiftnya karena ada acara mendadak. Entah apa itu, tetapi Zea menuntut penjelasan pasti dari Agam. Ia mengekor setiap langkah perjalanan. Agam sendiri meninggalkan sepeda motor di parkiran toserba. Sesungguhnya ia juga belum memiliki niat untuk kembali pulang ke rumah. Bertemu dengan Bunda pada jam tidak seharusnya akan menimbulkan berbagai pertanyaan. "Gam! Kau mau kemana?" tanya Zea, ia merasa bosan terus berjalan di belakang tubuh Agam tanpa tujuan. Lebih dari itu, seragam toserba terlihat kontras. Jalan raya sepi, para pemilik hening sedang menunaikan ibadah istirahat. Akal-akal dilelapkan supaya esok kembali beraktivitas seperti sedia kala. Hanya Agam, Zea dan lampu jalanan yang melengkapi malam berka
Mata Shofi diikat menggunakan kain hitam. Ia dibawa pergi menggunakan mobil van Bawon. Pandangan Shofu sengaja dibenamkan supaya tidak dapat menyaksikan permukaan jalan. Bos Bagong tidak ingin Shofi merekam tikungan, gedung familiar maupun jumlah lampu apill menuju kediaman rumah barunya. Maka dua tangan tidak bersalah Shofi dikerangkeng tali. Mulut juga disumpal menggunakan kain yang diperoleh Bawon dari gundang—penuh debu, bau apek dan membuat rongga paru menderita. Anehnya, Bos Bagong berpesan untuk membuka mata Shofi setelah tiba di depan gerbang. Bos Bagong telah menunggu setengah jam sebelum kedatangan mereka. Ketika embun masih membening di permukaan daun trembesi dan kelopak-kelopak bugenvil, ketika itu Shofi menginjakkan kaki di bawah langit yang berembun. Musim hujan menyapa penduduk bumi Indonesia. Kabut tipis terlihat berpencar di langit, disusul segerombol awan hitam yang terlihat kokoh dan berkuasa. Rumah berlantai dua dengan pilar menjulang tinggi seolah hendak menemb
Bos Bagong telah memberinya kalimat-kalimat untuk disuarakan di depan Putra. 6Akan tetapi, setelah melihat keadaan Putra yang sesungguhnya, entah apa alasannya, seluruh kalimat itu raib dari pikiran. Tinggal satu kalimat pembuka saja. Apalagi bantingan pintu itu teramat keras dan membuat jantung Shofi berdetak tanpa aturan. Ia memastikan lagi keberadaan langkahnya, mengamati lantai marmer yang disiram cahaya pagi, gemericik air mancur, tanaman-tanaman hias dan pohon bugenvil yang kelopaknya berguguran. Indah, apalagi ada susulan kicau burung dari sebelah garasi rumah. Rumah Bunda tidak semegah itu, tidak pula sebesar itu. Rumah Shofi kecil, akan tetapi luas karena kesabaran dan kasih sayang Bunda. Rumah Shofi kerab bocor, ada genting berlubang. Agam akan naik untuk membetulkan. Kemudian mereka duduk bertiga di ruang TV untuk bertukar cerita. Ada kehangatan alamiah yang lahir dari dada Bunda, beda dengan suasana di rumah Bos Bagong. Terlihat suram dan penuh pertanyaan menyedihkan. S
Semenjak kepergian Gus Farhan dari pondok pesantren, Umi terus uring-uringan. Ia bersikap lebih sensitif dari biasanya, bahkan tidak jarang melampiaskan emosinya kepada santriwati. Umi akan menangis di kamar Gus Farhan, memeluk figura usabg yang warna fotonya telah luntur. Dan hal terparahnya, Umi mulai hilang nafsu makan. Abah Aziz mengetuk permukaan pintu, ia menggiring langkah dengan nampan berisi satu gelas beras kencur anget dengan seporsi nasi goreng. Ia lantas duduk di sisi Umi. "Makanlah, fisikmu punya hak untuk hidup, Umi. Jangan menyiksanya seperti ini,""Bagaimana Umi bisa makan jika Farhan belum juga pulang?" "Umi, dia pasti baik-baik saja di luar sana," ucap Abah Aziz meyakinkan. "Umi ini wanita, Bah. Umi punya firasat tidak enak perihal Farhan, Umi khawatir terjadi hal buruk. Apalagi dia pergi tanpa uang, dengan perasaan sakit karena amarahmu. Tidur di mana sekarang dia, Bah?" Umi berbicara panjang lebar sambil menahan riak tangis yang hendak menghujani pipi. Abah Az
Aroma masakan merasuk lubang hidung Agam. Ketika ia mendorong pintu tralis rumah, ia mencium kenangan bersama Shofi. Sepeda motor ia parkir di teras rumah, membiarkan terik matahari membasuh dengan keringat dan debu pasca kepergian esok. Agam meletakkan tas selempang juga topi pada gantungan kamar kemudian melangkah pelan menuju dapur. Ia berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Bunda mengaduk sayuran di atas wajan. "Aku tidak suka kare, Bunda." Agam membuyarkan keseriusan Bunda menatap permukaan kuah kuning yang telah mendidih. "Kalian berdua menyukai kare buatan Bunda," cetus Bunda. Ia mengingat-ingat bahwa ucapannya tidak salah. Dahulu Shofi dan Agam kecil gemar memakan nasi dengan sayur kare, piring mereka akan bersih tanpa dipaksa. Shofi juga kerap meminta dimasakkan kare jika ada teman-teman sekolah yang datang. Demikan juga Agam, kenangan itu masih tergambar jelas di kepala Bunda, ia belum pikun dan masih pandai meracik bumbu masakan. "Jangan masak sayur itu lagi mulai
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad