Ini bukan perihal hidup Bos Bagong. Lebih dari itu, nasib Putra bukannya membaik, justru bertambah buruk. Ia tidak mau bersosialisasi dengan warga sekitar. Terus mengurung diri di kamar, enggan keluar apalagi jalan-jalan menikmati panorama alam. Bu Ika sampai setres penuh buliran-buliran pedih. Ia tersiksa dengan sikap anaknya yang setia duduk di atas kursi roda. Putra kerapkali menerawang udara dengan pandangan kosong, mengenang kenakalan yang tidak bisa lagi diulang, perihal balapan liar dan kumpul dengan anak-anak di jalanan malam. Putra sangat kesepian, lebih lagi Mahes jarang datang ke rumah. Teman yang dulu sangat ia akrabi mendadak menjadi sibuk dengan tugas-tugas kampus. Putra menjadi sulit berkomunikasi, lebih-lebih ia malas memulail obrolan dengan dunia luar. Putra amat terpuruk. Tubuhnya menjadi kering dan kurus. Pandangannya layu, bahkan terkadang ada sisa cairan yang menumpuk di bawah kantung matanya. “Si Putra, cacat itu sungguh malang, putus kuliah dan murung berhari-h
"Di dunia ini, tidak ada orang yang utuh bahagia—" Marti memulai obrolan. Malam itu ia sedang tidak memiliki pelanggan. Lalu lalang pengunjung diskotik memang ramai, gemuruh melodi membuat konjakan kaki anak muda semakin dihentakkan di atas lantai. Tetapi ia tidak bersemangat untuk bergabung—justru duduk di depan meja Shofi. Mengamati bening yang kandung harapan, memotret setiap jemari bergetar Shofi tuang minuman. Beberapa kali Marti akan menyalak galak jika ada kaum pria yang berani memberi godaan. Sejujurnya Marti sedang melindungi harga diri yang belum koyak. "Maksudmu, Mbak?" Shofi menanggapi. "Kemarin aku bertemu dengam pemuda, pegawai toserba di seberang jalan, ia terlihat pucat menyedihkan, dari sorot matanya aku paham dia sedang gelisah dan kesal." "Aku nggak ngerti muara ucapanmu, Mbak." "Pemuda itu membuatku senang karena seutuhnya kita tidak menderita-menderita amat! Di luar sana yang notobene mempunyai pekerjaan khalal, pun dihadapkan dengan persoalan hidup. "Kalau d
Keesokan harinya—ketika matahari masih malu-malu membuka mata. Sekelompok santri putra, dipimpin oleh Aim dan rekan sekamarnya Rozak. Aim merupakan pemuda berperawakan bongsor dengan beberapa titik jerawat di permukaan pipi. Lain dengan Rozak yang lebih mirip dengan tiang listrik di pinggiran jalan. Detik itu ketika embun membutir di permukaan daun kaladium di depan rumah ndalem, para santri bersorak-sorai memuntahkan kekecewaan yang dari kemarin tertahan diam. Tangan saling terkepal menuju angkasa. Rupa-rupa disiram hangat matahari, sementara hati disulut kobaran api emosi. "Usir Gus Farhan!" teriak Aim sang provokator. "Usir! Atau kami semua akan pergi meninggalkan pondok!" sahut Rozak menguatkan. "Setuju!" santri masa yang lain mengimbangi. Umi yang sedang menyapu ruang makan langsung melongok keluar jendela. Sapu yang digenggam tangan tetiba jatuh terkapar, sampah debu kembali terbang bebas. Umi berlari menghampiri Abah Aziz. Suaminya tengah meraih handel pintu, menyambut para
"Kenapa kita pindah, Pak?" protes Putra. Keluarga kecil Bos Bagong baru saja tiba di sebuah rumah dengan halaman luas. Rumah itu memiliki dua pilar sangat tinggi, menghubungkan lantai pertama dengan lantai kedua. Cat putihnya masih terlihat baru. Bos Bagong meminta penjual untuk mengecat ulang terlebih dahulu sebelum dia tempati. Bu Ika turun, mendorong kursi roda yang sedang dimatikan mesin otomatisnya. "Kamu butuh lingkungan baik untuk proses kesembuhanmu, Putra." "Itu alasan tidak masuk akal, Bapak dan Ibu sedang mengisolasi diriku yang cacat. Aku membuat kalian berdua malu, kan?" Putra berpikir rendahan. "Apa pun kondisimu, dirimu anak Bapak. Tidak ada yang bermaksud mengucilkanmu," "Lantas, kenapa kita pindah?" "Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibumu. Percayailah saja dia!" Bos Bagong melangkah maju, menapak di atas paving dengan langkah pasti. Mobil dibiarkan terparkir tepat di depan pintu gerbang yang tinggi. Tanamam kaladium dan bunga asoka menyambut kehadiran mereka.
Bos Bagong menarik paksa lengan Shofi. Ia menyeret ke ruang utama, membiarkan penghuni kamar menatap—menjadikan tontonan dari lantai dua. Para buruh malam itu kompak memegangi tralis, memandang ke bawah, ada yang merasa miris, ada yang tertawa penuh ledekan. Di antara mereka tentu ada Marti, ia amat kesal karena tidur siangnya diganggu kehadiran Bos Bagong. Datang dengan amarah, mengamuk obyek di sekitar kamar, menendang apa pun yang ditemui oleh kakinya. Marti keluar usai menghidupkan satu batang rokok. Ia menyesap nikotin kemudian ikut menonton adegan selanjutnya yang akan Bos Bagong ciptakan. Tubuh Shofi dihempaskan tanpa ampun. Gadis dengan jilbab cokelat itu tersungkur di lantai. "Apa lagi salahku, ha? Aku sudah menurut dijadikan pembantu di diskotikmu! Masih kurang?" "Mulutmu ... ya mulutmu sangat beracun dan busuk, Shofi! Apa lagi yang kamu kirim ke langit sehingga bencana terus merusak hidupku?" Shofi berkerut kening, sementara Marti terkekeh ringan. Penghuni lain saling ta
Gus Farhan terpaksa berhenti di sebuah wilayah sepi, tidak begitu ramai dengan pusat perkotaan. Ia menepi dari kerumunan banyak manusia. Bermaksud mengasingkan diri supaya tidak dipotret oleh santri Asmaul Khusna, atau tetangga pondok pesantren. Wajahnya tentu telah amat familiar. Ia menjauh dari wilayah tempat kelahiran, mengungsikan dari desa-desa kecil dekat rumah masa kecil. Mustahil juga jika Gus Farhan terus tidur di dalam mobil. Punggung dan kepala akan terasa pegal. Maka, dengan modal uang tabungannya sendiri, hasil sisa-sisa saku dari Abah Aziz ketika ia melaksanakan study di Mesir, Gus Farhan mencari tempat tinggal baru. Sebuah rumah sederhana dengan dua pintu dan empat jendela, hasil saran dari Kang Zaki melalui ponsel. Ia amat bersyukur memiliki Kang Zaki, meski tak lagi berada di pondok, tetapi Kang Zaki tetap menjaga komunikasi baik dengannya. Menanyakan kabar, keberadaan juga telah makan atau belum. Hingga pada hari kemarin, sewaktu malam menghadirkan gelap di pinggira
Hari itu dinding kaca toko dipenuhi embun. Jalan aspal basah. Lubang-lubang digenangi dengan air keruh. Pengendara sepeda motor mengenakan jas hujan. Payung-payung mekar, bagai kelopak mawar yang mengembang. Ketika itu langit barat yang biasa menampilkan wajah artistik mengambil cuti, tubuhnya dilukis dengan cat abu-abu, menjadi redup serupa remaja murung karena kehilangan kepercayaan dari orang terkasih. Agam sedang mengelap lantai menggunakan kain pel. Pengunjung yang datang, menyisakan jejak kotor di lantai. "Sudahi saja, nanti akan kotor lagi, Agam. Mending kamu istirahat, lagi pula kamu belum utuh sehat, kan?" saran Zea. "Hmm ... aku tidak lemah. Ketahuilah Zea, ini bukan perihal kotor atau bersih, tetapi tentang kenyamanan pembeli. Kalau kamu masuk ke toserba kotor, memangnya kamu tetap berselera membeli dagangannya?" Hujan menjadi akrab dengan cup-cup kopi hangat. Penjejak langkah emper trotoar sedang menikmati sensasi kepulan asap dari aroma nikotin. Zea menginginkan hal ter
Pulang dari toserba, Bawon merasa ada hal ganjil. Ia kurang suka dengan penampilan Bela hari itu. Sosok gadis yang tidak pantas lagi disebut gadis itu mengenakan pakaian sopan. Lutut ditutup, bibir memang masih merona, tetapi rambut dicatnya dibungkus rapat. Tiada leher jenjang yang disuguhkan menghadap malam, tidak ada pula aroma parfume menyengat sebagaimana hari lalu. Bawon menendang tungkai Bela tanpa belas kasihan. Membiarkan keramaian menjadi potret dan saksi keberingasan Bawon."Apa-apaan ini? Siapa yang menyuruh lo ganti penampilan, ha? Lo mau kondangan di tempat ini, ha?" sentak Bawon yang disengat muntab paling ganas. Jelas penampilan Bela akan mengurangi pemasukan detik itu. Siapa yang mau melirik perempuan berjilbab dan berpakaian sopan di tempat seperti itu? Lagi pula, mengapa Bela juga berganti gaya? Bawon merasa pening. "Siapa yang mengajari lo berpakaian seperti itu, ha?" "Nggak ada, ini kesadaran dari kewarasan aku yang masih tersisa!" "Bedebah!" Bawon menendang