Lihatlah, Bunda tubuhnya serapuh kayu tua—kering sementara kulitnya mengkerut dan kisut. Ada lubang hitam di bawah kantung mata. Jilbab yang dikenakan menjadi kebesaran bahkan miring. Bunda tidak sesegar dahulu. Beningnya pun dipenuhi dengan kaca-kaca. Gus Farhan telah tiba di kantor pondok, tidak lama kemudian disusul Abah Aziz. "Ibu, apa kabar?" Gus Farhan langsung membungkukkan badan, menyamakan tingginya dengan posisi Bunda yang duduk di atas kursi. Ia meraih tangan Bunda, mengecupnya sebagai bentuk penghormatan. Entah mengapa ia merasa perlu melakukan tersebut. Perasaannya teraduk-aduk ketika menyaksikan kepedihan masih terangkum kental di pelupuk mata Bunda. "Alhamdulillah baik, Han. Katanya kamu tidak bisa keluar dan tidak bisa diganggu, Farhan." "Siapa yang menyampaikan hal itu, Bu? Apakah Kang Zaki?" Bunda mengangguk. "Saya hanya sedang berpikir banyak." "Perihal?" Abah Aziz menarik napas panjang. Mengumpulkan segenap kesabaran supaya tidak salah mengucap kata-kata.
Musim kering berangsur menjadi lembab. Jendela-jendela rumah dipenuhi jutaan titik embun. Toserba emperan jalan, mulai men-stock dagangan jas hujan dan payung aneka warna. Kedai-kedai kopi semakin lihai mengepulkan asap. Jalanan yang pernah retak, kini dipenuhi lumpur dan air dari selokan. Agam masih bekerja menjadi pelayan toko, Bunda juga tetap sama dengan rutinitas merapalkan doa supaya Shofi segera pulang. Jika dahulu Bunda enggan menyiapkan sarapan, lain dengan hari di musim basah itu, Bunda mulai mengepak bekal untuk Agam—memasukkan ke tas ransel kecilnya, juga menuangkan teh hangat ke botol minuman yang dibawa Agam. Bunda mulai memperhatikan kebutuhan Agam. Jika Agam sudah berangkat kerja, ia akan bersih-bersih, shalat dhuha, membaca Al-Qur'an, mengirimkan doa-doa, terus berharap semoga Shofi tetap selamat. Bunda sudah lelah mengharapkan polisi. "Bunda ..." lirih Agam memanggil sambil mengalungkan ransel. Ia baru saja mengecup punggung tangan Bunda. Bersiap berangkat kerja sh
"Ini bukan tempat umum, ada pemiliknya!" celetuk Agam membenarkan perbuatan sendiri. Wanita itu tertawa renyah. Daun-daun trembesi menaungi mereka berdua. Agam yang duduk di atas bangku panjang dan kaum hawa dengan jaket jins bergincu merah pekat. "Bocah, berlarilah ke tempat nyaman, jangan bersembunyi sebagai pengecut! Urus masalahmu sampai tuntas!" Wanita itu nyerocos tanpa memfilter kalimatnya. Ia mengambil satu batang rokok dari bungkusnya yang terselip di saku celana, lengkap dengan korek api. Memantiknya dengan lihai. Menyesap kemudian melambungkan kepulan asap ke udara. "Aku Marti, orang brengsek biasa memanggilku Melati," Marti memperkenalkan diri. "Kau pikir aku di sini untuk lari dari masalah?" sentak Agam dengan suara serak. Ia batuk. Langit mendung sementara kesehatannya berkabung. Ia merasakan sesak tidak tanggung-tanggung, tetapi bersi keras menahan. "Tergambar jelas di wajahmu, Bocah! Aku pernah muda, pernah lari juga serupanmu!" Marti bersikap akrab. Mendadak ia
Menolak permintaan orang butuh pekerjaan terlalu berat untuk Koh Akong, apalagi orang tersebut memohon langsung di depannya. Koh Akong menyesap cerutunya kuat-kuat, mengembuskan asap ke atmosfer ruang. Nikotin-nikotin membantu dirinya berpikir tenang sebelum memberikan keputusan. Akan tetapi dia masih mempertimbangkan latar belakang konflik Shofi yang belum juga dituntaskan. Di kemudian hari itu akan menimbulkan masalah. Karyawan tentu akan berkasak-kusuk, hal itu jelas mengganggu konsentrasi mereka bekerja. "Saya, mohon, Koh ...," rintih Bunda membuat Koh Akong memusatkan pandangannya kepada Bunda. "Dan saya tidak kenal Farhan." Bayangan Agam yang sedang terpuruk dengan sakit di rumah membuat Bunda harus mengentaskan masalah ekonominya. Ia tidak mau menjadi beban bagi putra satu-satunya. Bunda juga terpaksa berbohong karena tidak ingin menyeret Gus Farhan terlampau jauh. Ucapan Abah Aziz kemarin membuatnya sangat terluka ditumbun perasaan bersalah tidak tanggung-tanggung. Bunda har
Ini bukan perihal hidup Bos Bagong. Lebih dari itu, nasib Putra bukannya membaik, justru bertambah buruk. Ia tidak mau bersosialisasi dengan warga sekitar. Terus mengurung diri di kamar, enggan keluar apalagi jalan-jalan menikmati panorama alam. Bu Ika sampai setres penuh buliran-buliran pedih. Ia tersiksa dengan sikap anaknya yang setia duduk di atas kursi roda. Putra kerapkali menerawang udara dengan pandangan kosong, mengenang kenakalan yang tidak bisa lagi diulang, perihal balapan liar dan kumpul dengan anak-anak di jalanan malam. Putra sangat kesepian, lebih lagi Mahes jarang datang ke rumah. Teman yang dulu sangat ia akrabi mendadak menjadi sibuk dengan tugas-tugas kampus. Putra menjadi sulit berkomunikasi, lebih-lebih ia malas memulail obrolan dengan dunia luar. Putra amat terpuruk. Tubuhnya menjadi kering dan kurus. Pandangannya layu, bahkan terkadang ada sisa cairan yang menumpuk di bawah kantung matanya. “Si Putra, cacat itu sungguh malang, putus kuliah dan murung berhari-h
"Di dunia ini, tidak ada orang yang utuh bahagia—" Marti memulai obrolan. Malam itu ia sedang tidak memiliki pelanggan. Lalu lalang pengunjung diskotik memang ramai, gemuruh melodi membuat konjakan kaki anak muda semakin dihentakkan di atas lantai. Tetapi ia tidak bersemangat untuk bergabung—justru duduk di depan meja Shofi. Mengamati bening yang kandung harapan, memotret setiap jemari bergetar Shofi tuang minuman. Beberapa kali Marti akan menyalak galak jika ada kaum pria yang berani memberi godaan. Sejujurnya Marti sedang melindungi harga diri yang belum koyak. "Maksudmu, Mbak?" Shofi menanggapi. "Kemarin aku bertemu dengam pemuda, pegawai toserba di seberang jalan, ia terlihat pucat menyedihkan, dari sorot matanya aku paham dia sedang gelisah dan kesal." "Aku nggak ngerti muara ucapanmu, Mbak." "Pemuda itu membuatku senang karena seutuhnya kita tidak menderita-menderita amat! Di luar sana yang notobene mempunyai pekerjaan khalal, pun dihadapkan dengan persoalan hidup. "Kalau d
Keesokan harinya—ketika matahari masih malu-malu membuka mata. Sekelompok santri putra, dipimpin oleh Aim dan rekan sekamarnya Rozak. Aim merupakan pemuda berperawakan bongsor dengan beberapa titik jerawat di permukaan pipi. Lain dengan Rozak yang lebih mirip dengan tiang listrik di pinggiran jalan. Detik itu ketika embun membutir di permukaan daun kaladium di depan rumah ndalem, para santri bersorak-sorai memuntahkan kekecewaan yang dari kemarin tertahan diam. Tangan saling terkepal menuju angkasa. Rupa-rupa disiram hangat matahari, sementara hati disulut kobaran api emosi. "Usir Gus Farhan!" teriak Aim sang provokator. "Usir! Atau kami semua akan pergi meninggalkan pondok!" sahut Rozak menguatkan. "Setuju!" santri masa yang lain mengimbangi. Umi yang sedang menyapu ruang makan langsung melongok keluar jendela. Sapu yang digenggam tangan tetiba jatuh terkapar, sampah debu kembali terbang bebas. Umi berlari menghampiri Abah Aziz. Suaminya tengah meraih handel pintu, menyambut para
"Kenapa kita pindah, Pak?" protes Putra. Keluarga kecil Bos Bagong baru saja tiba di sebuah rumah dengan halaman luas. Rumah itu memiliki dua pilar sangat tinggi, menghubungkan lantai pertama dengan lantai kedua. Cat putihnya masih terlihat baru. Bos Bagong meminta penjual untuk mengecat ulang terlebih dahulu sebelum dia tempati. Bu Ika turun, mendorong kursi roda yang sedang dimatikan mesin otomatisnya. "Kamu butuh lingkungan baik untuk proses kesembuhanmu, Putra." "Itu alasan tidak masuk akal, Bapak dan Ibu sedang mengisolasi diriku yang cacat. Aku membuat kalian berdua malu, kan?" Putra berpikir rendahan. "Apa pun kondisimu, dirimu anak Bapak. Tidak ada yang bermaksud mengucilkanmu," "Lantas, kenapa kita pindah?" "Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibumu. Percayailah saja dia!" Bos Bagong melangkah maju, menapak di atas paving dengan langkah pasti. Mobil dibiarkan terparkir tepat di depan pintu gerbang yang tinggi. Tanamam kaladium dan bunga asoka menyambut kehadiran mereka.