Seketika itu, perasaan gundah dalam benak Habiba memudar. Cukup kata- kata itu saja yang keluar dari mulut Husien, sudah mempu membuat Habiba semangat. Kepalanya lalu mengangguk kecil.Mobil berbelok memasuki halaman luas rumah megah. "Kalian tunggu di sini!" titah Husein pada Erika dan si babay sitter. "Berikan Sakha pada Habiba!"Baby sitter menuruti perintah Tuan Muda. Dia serahkan bayi kecil itu kepada Habiba.Setelah itu, Habiba mengikuti Husein memasuki rumah. Tidak ada rasa takut, gelisah atau pun gentar memasuki rumah yang dia yakini para manusia pembenci itu telah menunggu di dalam.Sosok tegap di sisinya memberikan kekuatan kokoh yang datang begitu saja.Sudah ada Alka dan Amira yang menunggu mereka sempat terbengong melihat sosok wanita yang ada di sisi Husein. Pangling. Hampir tak mengenali, bahkan mengira ada orang asing. Namun mereka langsung ingat bahwa wanita itu adalah Habiba ketika mengawasi dengan cermat. Tatapan yang tadinya bingung, kini berubah menjadi wa
“Cinta?” Urat rahang Alka mengeras. Netranya melirik ke tangan Husein yang menggenggam jemari Habiba.Amira meneteskan air mata. Menangis pilu. “Ini benar- benar gila. Kenapa kau tidak mau mendengarkan perkataan wanita yang melahirkanmu? Kenapa kau malah mendengarkan wanita asing yang bahkan memporak porandakan keluarga kita?”Alka mengusap wajah kasar. Dia kalah telak. Keinginannya untuk memisahkan Husein dan Habiba terhalang oleh satu kata, ‘cinta’.“Baiklah, kau boleh anggap dia sebagai istrimu, tapi tetap dia tidak boleh diperkenalkan ke publik. Biarkan dia selamanya menjadi istri rahasiamu, dan kau jadikan Cindy sebagai istri sebenarnya. Kalau kau mau memperkenalkan wanita sebagai istri, maka perkenalkanlah Cindy sebagai istrimu kepada semua orang. Nikahi dia!” titah Alka.Husein diam memaku. Dia sedang memikirkan kata- kata apa yang tepat untuk menjawab. Kondisinya benar- benar sulit. Pelan, Habiba melepaskan genggaman tangan Husein. Menunduk. Diamnya Husein, men
Husein memasuki kamar, melihat Habiba yang masih terbengong di tengah ruangan. Lemari dalam keadaan terbuka. Isinya kosong.Husein sudah langsung tahu apa yang terjadi."Popo membuang pakaian saya?" tanya Habiba.Husein hanya diam. Dia melangkah mendekati ranjang. Lalu duduk di tepiannya."Lalu boneka- boneka milik saya, popo juga yang buang?" lirih Habiba."Kenapa? Kau marah boneka- boneka jelek itu aku buang?""Jadi benar popo yang buang?""Kalau iya kenapa? Marah?"Muka Habiba berubah masam. Kesal sekali. Itu adalah boneka- boneka kesayangannya."Aku sudah berikan dua boneka untukmu dan kau sisihkan keduanya, kau tidak menyukai boneka pemberianku. Kau anggap boneka pemberianku itu mengganggu karena tidak spesial. Sekarang kau marah boneka- boneka kesayanganmu itu aku buang," tegas Husein."Pikiranmu terlalu negatif. Siapa bilang saya menyisihkan boneka pemberian popo karena tidak menyukainya bahkan menganggap boneka itu sangat menganggu?" kesal Habiba.Husein bangkit berdiri. "Inik
"Puncaknya, Habiba marah saat aku mengaku bahwa aku membuang dan membakar boneka- boneka itu. Dari situ, jelas terlihat bahwa Habiba sangat mencintai Irzan," imbuh Husein. "Sia- sia saja semua yang sudah aku lakukan tapi isi kepala Habiba masih saja terfokus pada Irzan.""Kalau kau mencintainya, kau seharusnya berjuang untuk mengambil hatinya. Bukan malah marah. Perjuanganmu masih panjang.""Kurang panjang bagaimana lagi? Kau pikir perjuanganku baru beberapa hari? Apakah tidak cukup perjuanganku selama ini? Aku sudah lakukan apa saja untuknya, aku mempertahankan dia meski harus bertengkar hebat dengan orang tuaku sendiri, aku bahkan korbankan nyawaku jika saja aku mati di lift saat menyelamatkan Habiba." Husein menggebu- gebu."Sejak awal, aku tahu Habiba memang tidak pernah melihat kelebihanku," sambung Husein. "Ketampananku, kekayaanku, bahkan jabatanku sama sekali tidak tidak menjadi daya tarik baginya. Lalu perjuangan dan pengorbananku juga tidak mengubah segalanya. Dia membenc
Prak.Husein meletakkan kunci ke meja, tepat di hadapan Alka.Amira yang duduk di sisi suaminya, menatap bingung pada kunci yang diletakkan di meja.“Ini kunci mobil. Aku kembalikan. Aku sudah bukan CEO lagi di perusahaan papa. Tidak seharusnya memakai fasilitas Dari papa,” tegas Husein.Alka menatap tajam pada sulungnya. “Kau yakin ingin melepaskan jabatan itu?”“Bukankah itu kemauan papa?”“Sebenarnya kau hanya tinggal memilih, pertahankan jabatanmu itu, atau Habiba? Tapi ternyata kau lebih memilih wanita itu.” Alka geleng- geleng kepala.“Bedakan antara masalah pekerjaan dan masalah pribadi. Papa sudah terlalu jauh memasuki urusan pribadiku.”“Hidupmu bersangkutan dnegan pekerjaan, tentu kau harus diatur supaya pekerjaanmu juga baik.” “Maaf, aku tidak bisa. Dan satu hal yang perlu mama dan papa ketahui, meski aku tidak bisa membuktikan siapa dalang di balik penculikan Habiba, tapi aku meyakini bahwa orang tuaku sendiri yang mendalanginya.”Wajah Alka makin merah padam. Dia bangkit
Habiba pulang membawa setentang plastik berisi barang belanjaan. Disambut oleh baby sitter yang langsung menggendong Sakha ke dalam rumah. Bocah itu memegangi dua boneka pemberian Irzan. Dia ternyata menyukai boneka yang menjadi mainan baru baginya. Menghilang ke ruangan lain.Habiba memasuki ruang tamu, duduk di sofa mengupas apel. Tak lama kemudian, baby sitter muncul kembali.“Non, saya minta obat merah untuk Sakha. Sakha terjatuh dan lututnya terluka sedikit,” ucap baby sitter yang tergopoh menggendong Sakha.Habiba meletakkan pisau dan membawa potongan apel.“Ambil di lemari dekat vas di ruangan sebelah!” titah Habiba kemudian mengambil alih tubuh Sakha dari gendongan baby sitter. “Sakha mau apel? Ayo makan!”Habiba memberikan potongan apel.Sakha mengambil dan langsung memakannya. Habiba mendudukkan tubuh Sakha ke sofa. Bocah itu mengunyah potongan apel. Sesekali matanya menatap ke atas, ke dinding dan ke bajunya sendiri.Ternyata vonis dokter tidak salah. Habiba tidak
Habiba sontak menatap Inez dengan tatapan canggung. Kangen? Entahlah... Habiba tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Yang jelas dia sangat ingin bertemu dengan Husein. Ingin melihat wajah pria yang selama ini menjadi penyemangat dan pelindungnya. "Apa tidak ada perasaan cinta yang tumbuh?" sambung Inez lagi."Kamu mau minum? Akan aku ambilkan." Habiba mengalihkan pembicaraan."Tidak. Aku tidak lama. Aku tidak bisa mampir ke sini karena dilarang oleh mama. Mama marah kalau tahu aku ke sini.""Okey. Aku tahu itu.""Kamu sudah lama mogok kuliah setelah melahirkan Sakha. Aku harap tahun depan kamu bisa kejar cita- citamu untuk melanjutkan kuliah.""Ya. Aku pasti akan lanjutkan."Inez kemudian jongkok dan mengusap pipi Sakha. Bocah itu tampan sekali, membawa wajah Husein, hanya saja dia memiliki kekurangan.“Jadi… anak seperti ini yang dipertahankan dan diakui oleh Husein sebagai darah daging?”Suara itu membuat perhatian Habiba dan Inez mengarah ke sumber suara. Amira melangkah mend
Jauh sebelum Husein pulang, Habiba merasakan sesuatu yang berbeda, entah kangen atau apa. Yang jelas sangat ingin bertemu. Dan sekarang dia bahagia sekali saat Husien sudah ada di depan mata. "Popo sudah pulang?" Habiba tersenyum lebar. Dia meletakkan apel dan pisau ke meja begitu saja. "Saya bikinkan susu hangat ya?"Habiba dengan cekatan menuju rak dan membuat susu sesuai takaran. Sekarang dia sudah tahu bagaimana membuat susu untuk suaminya. Saat balik badan, ia terkejut melihat Husein sudah ada di dekatnya. "Hampir saja susunya tumpah. Popo tidak bilang kalau sudah di sini." Habiba menyodorkan gelas susu.Husein mengambil susu dan meneguknya sampai habis. Mengembalikan gelas ke tangan Habiba.Habiba tersenyum melihat di kedua sudut atas bibir Husein berwarna putih seperti ada kumisnya. Tak lain susu yang membekas.Dia menyambar tisu dan mengelap atas bibir Husein. Entah dari mana keberanian itu muncul melakukan hal itu. Sedangkan dia tidak pernah berani menyentuh Husein. Kegem