Habiba pulang membawa setentang plastik berisi barang belanjaan. Disambut oleh baby sitter yang langsung menggendong Sakha ke dalam rumah. Bocah itu memegangi dua boneka pemberian Irzan. Dia ternyata menyukai boneka yang menjadi mainan baru baginya. Menghilang ke ruangan lain.Habiba memasuki ruang tamu, duduk di sofa mengupas apel. Tak lama kemudian, baby sitter muncul kembali.“Non, saya minta obat merah untuk Sakha. Sakha terjatuh dan lututnya terluka sedikit,” ucap baby sitter yang tergopoh menggendong Sakha.Habiba meletakkan pisau dan membawa potongan apel.“Ambil di lemari dekat vas di ruangan sebelah!” titah Habiba kemudian mengambil alih tubuh Sakha dari gendongan baby sitter. “Sakha mau apel? Ayo makan!”Habiba memberikan potongan apel.Sakha mengambil dan langsung memakannya. Habiba mendudukkan tubuh Sakha ke sofa. Bocah itu mengunyah potongan apel. Sesekali matanya menatap ke atas, ke dinding dan ke bajunya sendiri.Ternyata vonis dokter tidak salah. Habiba tidak
Habiba sontak menatap Inez dengan tatapan canggung. Kangen? Entahlah... Habiba tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Yang jelas dia sangat ingin bertemu dengan Husein. Ingin melihat wajah pria yang selama ini menjadi penyemangat dan pelindungnya. "Apa tidak ada perasaan cinta yang tumbuh?" sambung Inez lagi."Kamu mau minum? Akan aku ambilkan." Habiba mengalihkan pembicaraan."Tidak. Aku tidak lama. Aku tidak bisa mampir ke sini karena dilarang oleh mama. Mama marah kalau tahu aku ke sini.""Okey. Aku tahu itu.""Kamu sudah lama mogok kuliah setelah melahirkan Sakha. Aku harap tahun depan kamu bisa kejar cita- citamu untuk melanjutkan kuliah.""Ya. Aku pasti akan lanjutkan."Inez kemudian jongkok dan mengusap pipi Sakha. Bocah itu tampan sekali, membawa wajah Husein, hanya saja dia memiliki kekurangan.“Jadi… anak seperti ini yang dipertahankan dan diakui oleh Husein sebagai darah daging?”Suara itu membuat perhatian Habiba dan Inez mengarah ke sumber suara. Amira melangkah mend
Jauh sebelum Husein pulang, Habiba merasakan sesuatu yang berbeda, entah kangen atau apa. Yang jelas sangat ingin bertemu. Dan sekarang dia bahagia sekali saat Husien sudah ada di depan mata. "Popo sudah pulang?" Habiba tersenyum lebar. Dia meletakkan apel dan pisau ke meja begitu saja. "Saya bikinkan susu hangat ya?"Habiba dengan cekatan menuju rak dan membuat susu sesuai takaran. Sekarang dia sudah tahu bagaimana membuat susu untuk suaminya. Saat balik badan, ia terkejut melihat Husein sudah ada di dekatnya. "Hampir saja susunya tumpah. Popo tidak bilang kalau sudah di sini." Habiba menyodorkan gelas susu.Husein mengambil susu dan meneguknya sampai habis. Mengembalikan gelas ke tangan Habiba.Habiba tersenyum melihat di kedua sudut atas bibir Husein berwarna putih seperti ada kumisnya. Tak lain susu yang membekas.Dia menyambar tisu dan mengelap atas bibir Husein. Entah dari mana keberanian itu muncul melakukan hal itu. Sedangkan dia tidak pernah berani menyentuh Husein. Kegem
Handuk Husein sudah teronggok di lantai. Menampilkan sosok kokoh yang gagah di depannya. Setelah sekian lama mereka sebagai pasangan suami istri tanpa saling menyentuh, kini akhirnya Husein memulai.Awalnya, Habiba hanya pasif saja, membiarkan Husein melakukan apa saja pada dirinya. Dia terkesan pasrah hingga akhirnya keduanya melepas puncak. Lalu berbaring bersisian dengan selimut menutup sampai ke dada.Beberapa menit keduanya membisu. Sesekali Husein melirik ke arah Habiba yang diam saja. Mungkin Habiba masih merasa canggung. "Aku akan carikan dokter, psikolog, psikiater atau apa saja untuk bisa menyembuhkannya," ucap Husein memecah keheningan.Barulah Habiba menoleh. "Bukankah autis tidak bisa disembuhkan?""Aku tahu. Maksudku, setidaknya mengurangi. Supaya Sakha bisa terapi sehak dini. membantu banyak penderita autisme untuk mencapai potensi maksimal mereka. Langkah-langkah terapi supaya dikonsultasikan kepada psikolog untuk mendapatkan treatment apa saja yang sesuai dengan keb
“Sudah seharusnya kau mencari istri. Rumah sebesar ini kau tempati sendiri. Kau juga kerepotan mengurus dirimu sendiri. Alangkah lebih baik kau dilayani istri,” ujar Husein.“Kalau begitu berikan aku satu wanita. Kau tahu sendiri kalau aku selalu kalah selangkah. Semua wanita yang datang, pasti lebih dulu jatuh cinta kepadamu. Tapi aku sekarang sudah jauh lebih percaya diri, sebab aku sudah jarang bersamamu lagi. Kau bukan atasanku lagi. Aku bepergian sendirian.”Husein tidak menanggapi celotehan Amir. Dia ke sana bukan untuk itu.“Meski kau bukan atasanku lagi, tapi aku masih tetap menjalankan tugas yang kau berikan, yaitu mencari pelaku penculikan Habiba.” Amir duduk di sisi Husein, dia sudah mengenakan celana jeans dan kaos hitam ketat. “Lalu bagaimana dengan bonus seratus juta yang pernah kau tawarkan, apakah masih bisa aku dapatkan?”“Ya. Akan aku carikan uang itu meski aku punya banyak hutang sekarang. Aku berkomitmen dalam bicara.”“Good.”“Jadi bagaimana dengan ka
Agatha terkejut, menatap Husein dengan mata melebar. Bily melepaskan lingkaran lengan tangannya dari pundak Agatha.Husein menarik lengan Agatha dan menyeretnya keluar dari sederet orang yang duduk berjejer di sofa."Husein, sudah! Cukup! Jangan sakiti Agatha. Ini salahku. Aku yang mengajak Agatha kemari!" Bily memohon, bangkit berdiri menatap Husein dengan canggung.Bily pasti salah paham, mengira Husein marah karena Agatha dianggap selingkuh dengan Bily. Husein tidak peduli dengan pemikiran itu. Terserah Bily mau berpikir apa."Bukankah kau dan Agatha sudah selesai? Tidak ada alasan untukmu marah pada Agatha. Lepaskan dia!" Bily memohon."Aku tidak ada urusan denganmu!" Husein menyeret Agatha keluar. Bily mengejar, namun dihadang oleh Amir."Kau diam disitu! Tidak perlu ikut campur!" seru Amir."Cuih!" Bily meludahi Amir namun hanya mengenai udara. Bily tidak akan berani melakukan hal itu pda Husein, namun pada Amir, dia berani melakukannya. "Shit!"Amir melengos pergi tanpa pedul
Husein bertukar pandang dengan wanita yang kini berdiri di sisinya. Wanita berparas cantik yang beberapa waktu terakhir ini melumpuhkan kerja otaknya hingga hanya fokus kepadanya. "Apa yang kamu lakukan pada wanita ini?" Habiba berucap lembut, menatap intens mata biru suaminya."Lihat dia! Dialah dalang penculikanmu!" Husein menunjuk Agatha dengan murka.Yang ditunjuk menggeleng sambil menangis."Kenapa kau lakukan itu padaku?" tanya Habiba menatap Agatha dengan dahi bertaut."Kaukah yang bernama Habiba?" tanya Agatha.Habiba mengangguk ragu."Tidak. Aku sama sekali tidak melakukan apa pun terhadapmu. Aku bahkan baru mengenalmu sekarang. Tidak ada untungnya aku mencelakaimu. Memangnya siapa kau sampai aku hatus mencelakaimu? Aku tidak lakukan apa pun terhadapmu. Sungguh!" Agatha berusaha meyakinkan.Sepersekian detik Habiba terdiam membisu. Kemudian menatap Husein. Sebenarnya Habiba bangga atas sikap Husein yang dengan terang- terangan terlihat jelas membela dan melindungi Habiba. Ta
Di sisi lain, Habiba membawa Agatha ke ruangan lain. Lalu ia menyerahkan pakaian kepada Agatha. "Ganti bajumu!" ucap Habiba.Agatha menurut saja. Dia masuk ke ruangan lain, melepas pakaiannya yang basah dan menukar dengan pakaian yang diberikan Habiba. Dia lalu kembali menemui Habiba di ruangan luas."Duduklah!" titah Habiba.Seperti diremot, Agatha duduk. Mereka duduk berhadapan.Habiba mengobati luka memar di pundak dan siku Agatha.Bola mata Agatha serius mengawasi wajah Habiba yang berada sangat dekat dengannya."Aku tidak pernah menculikmu. Dan jika memang kau meyakini bahwa aku adalah pelakunya, kenapa kau melakukan ini kepadaku?" lirih Agatha."Aku tidak peduli apakah kau adalah dalang penculikan itu atau tidak. Tapi kuanggap penganiayaan Husein tadi adalah hukuman untukmu. Dan sudah itu saja cukup. Aku yakin Tuhan akan membalas perbuatan jahat seseorang dengan setimpal. Entah sekarang, besok, atau lusa," jawab Habiba datar."Tapi aku tidak mengenalimu dan aku tidak melakukan