Agatha terkejut, menatap Husein dengan mata melebar. Bily melepaskan lingkaran lengan tangannya dari pundak Agatha.Husein menarik lengan Agatha dan menyeretnya keluar dari sederet orang yang duduk berjejer di sofa."Husein, sudah! Cukup! Jangan sakiti Agatha. Ini salahku. Aku yang mengajak Agatha kemari!" Bily memohon, bangkit berdiri menatap Husein dengan canggung.Bily pasti salah paham, mengira Husein marah karena Agatha dianggap selingkuh dengan Bily. Husein tidak peduli dengan pemikiran itu. Terserah Bily mau berpikir apa."Bukankah kau dan Agatha sudah selesai? Tidak ada alasan untukmu marah pada Agatha. Lepaskan dia!" Bily memohon."Aku tidak ada urusan denganmu!" Husein menyeret Agatha keluar. Bily mengejar, namun dihadang oleh Amir."Kau diam disitu! Tidak perlu ikut campur!" seru Amir."Cuih!" Bily meludahi Amir namun hanya mengenai udara. Bily tidak akan berani melakukan hal itu pda Husein, namun pada Amir, dia berani melakukannya. "Shit!"Amir melengos pergi tanpa pedul
Husein bertukar pandang dengan wanita yang kini berdiri di sisinya. Wanita berparas cantik yang beberapa waktu terakhir ini melumpuhkan kerja otaknya hingga hanya fokus kepadanya. "Apa yang kamu lakukan pada wanita ini?" Habiba berucap lembut, menatap intens mata biru suaminya."Lihat dia! Dialah dalang penculikanmu!" Husein menunjuk Agatha dengan murka.Yang ditunjuk menggeleng sambil menangis."Kenapa kau lakukan itu padaku?" tanya Habiba menatap Agatha dengan dahi bertaut."Kaukah yang bernama Habiba?" tanya Agatha.Habiba mengangguk ragu."Tidak. Aku sama sekali tidak melakukan apa pun terhadapmu. Aku bahkan baru mengenalmu sekarang. Tidak ada untungnya aku mencelakaimu. Memangnya siapa kau sampai aku hatus mencelakaimu? Aku tidak lakukan apa pun terhadapmu. Sungguh!" Agatha berusaha meyakinkan.Sepersekian detik Habiba terdiam membisu. Kemudian menatap Husein. Sebenarnya Habiba bangga atas sikap Husein yang dengan terang- terangan terlihat jelas membela dan melindungi Habiba. Ta
Di sisi lain, Habiba membawa Agatha ke ruangan lain. Lalu ia menyerahkan pakaian kepada Agatha. "Ganti bajumu!" ucap Habiba.Agatha menurut saja. Dia masuk ke ruangan lain, melepas pakaiannya yang basah dan menukar dengan pakaian yang diberikan Habiba. Dia lalu kembali menemui Habiba di ruangan luas."Duduklah!" titah Habiba.Seperti diremot, Agatha duduk. Mereka duduk berhadapan.Habiba mengobati luka memar di pundak dan siku Agatha.Bola mata Agatha serius mengawasi wajah Habiba yang berada sangat dekat dengannya."Aku tidak pernah menculikmu. Dan jika memang kau meyakini bahwa aku adalah pelakunya, kenapa kau melakukan ini kepadaku?" lirih Agatha."Aku tidak peduli apakah kau adalah dalang penculikan itu atau tidak. Tapi kuanggap penganiayaan Husein tadi adalah hukuman untukmu. Dan sudah itu saja cukup. Aku yakin Tuhan akan membalas perbuatan jahat seseorang dengan setimpal. Entah sekarang, besok, atau lusa," jawab Habiba datar."Tapi aku tidak mengenalimu dan aku tidak melakukan
Oh ya ampun. Habiba terpaksa menukar pakaiannya. Ia terburu- buru menyusul Husein setelah selesai menukar pakaian dan berdandan sedikit sekedar memoles wajah saja. Ia juga berpesan pada baby sitter untuk menjaga Sakha selagi Habiba pergi.Husein sudah menunggu di depan, berdiri di sisi mobil. Pria itu menatap Habiba lekat saat wanitanya sudah ada di hadapannya."Ada yang salah? Aku akan menukar pakaianku kalau ini jelek," ucap Habiba sambil menatap bajunya sendiri."Tidak. Cantik."Habiba terkesiap mendengar ucapan Husein. Pria itu mengatakan kalau Habiba cantik. Apa itu tidak salah?"Kenapa bengong? Ayo masuk!" Husein menunjuk mobil yang sudah terbuka."Oh iya." Habiba masuk ke mobil dengan senyum kecil. "Kita mau kemana?" tanya Habiba ketika mobil sudah bergerak keluar dari halaman rumah."Ke mana kau mau?""Loh kok malah balik tanya? Saya tidak tahu mau kemana. Kalau saya ditanya, saya maunya ke kamar." Habiba mengulum senyum polos."Kamar? Kamu ingin melakukan hubungan suami istri
Husein tersenyum melihat Sakha yang sedang duduk di lantai ruang main, bermain dua boneka. Boneka kuda dan boneka harimau. Dia menggerak- gerakkan boneka itu dengan riang.Husien menghampiri putranya. Dia jongkok di sisi putranya, tersenyum menatap Sakha yang asik main. Babi sitter menunggu di sisi Sakha."Tidak ada masalah dengan Sakha kan?" tanya Husein."Tidak, Tuan.""Pastikan jadwal terapi dan apa saja kebutuhan Sakha tifak terlewatkan.""Baik, Tuan.""Habiba kemana?" tanya Husein sambil menoleh ke kiri kanan, namun tidak mendapati istrinya."Ke ruangan sebelah. Tadi baru saja dari sini."Suara getaran ponsel di atas meja mengalihkan perhatian Husein. Bukan ponsel miliknya, melainkan ponsel milik Habiba. Husein mengambil hp. Tanpa membuka chat, di layar bagian atas sudah terlihat nama si pengirim. Irzan. Husein membaca chat itu melalui layar hp tanpa membukanya..'Bagaimana dengan boneka kuda dan harimau pemberianku? Sakha suka? Kalau suka, besok aku belikan yang singa jantan.
Di sisi lain, Husein menyetir mobil dengan kecepatan kencang, beberapa kali memukul bundaran setiran. "Kau benar- benar tidak punya hati. Kau tidak bisa menghargai aku, Habiba!" Husein bicara sendiri, meluapkan emosi yang memuncak. Dadanya terasa panas sekali.Setelah segala perjuangan yang Husein lakukan, bahkan sampai mempertaruhkan keluarga besarnya, menerima Habiba dan memperjuangkan kehidupan wanita itu dengan segenap hati, tapi balasannya seperti ini. Habiba hanyalah menginginkan Irzan, isi pikiran wanita itu hanya terfokus pada pria itu. Mereka memang selalu bersama, namun hati tidak. Jika Husein dianggap melakukan perjuangan ini hanya sebatas tanggung jawab, maka itu salah. Semua karena rasa sayang pada anak dan istri. Tapi, hasilnya tidak sesuai ekspektasi.Hati Husein panas sekali. Baru kali ini ia terlihat seperti sampah di mata wanita, bahkan istrinya sendiri. Sebuah kafe menjadi tujuannya saat itu, yaitu kafe dimana Amir sedang duduk santai. Terlebih dahulu Husein ta
Sebenarnya Husein masih sangat ingin mendekap dan berbagi perhatian pada Habiba. Dan baru saja ia ingin menceraikannya, namun saat melihat sosok itu di depannya begini, otaknya langsung ngebleng. Pikirannya sedang kacau, ditambah sedikit minuman membuat pikirannya itu jadi makin berkelana tak menentu. Di tengah pikirannya yang tak menentu, Husein yang sebenarnya masih sangat menyayangi Habiba, langsung merengkuh pundak wanita itu, lalu mendaratkan ciuman.Husein tak tahu kenapa dia segila ini, tubuhnya terasa panas, gerah, kepalanya puns edikit pusing. Dia hanya ingin menyalurkan apa yang dia rasakan, mencium Habiba. Tak peduli dengan keadaan di sekeliling. Tak peduli dengan orang- orang yang melihatnya.Menariknya, ia mendapat balasan ciuman dari lawannya. Dahsyat, membuat Husein makin memburu.“Oh my God, delapan belas tahun ke atas!” Amir geleng kepala sambil menutup mata dengan jari yang berlubang lebar.Sekian menit menyalurkan perasaan melalui ciuman, Husein memundurka
“Malam, Bu!” Irzan muncul membawa beberapa buah Tupperware. Dia dengan penuh semangat memindahkan donat yang sudah matang dari toples ke dalam Tupperware. Tangannya dilapisi dengan sarung plastik supaya higienis.“Donat yang kemarin habis ya, Zan?” tanya Fatona semangat sekali.“Habis, Bu. Donatnya lembut dan enak. Makanya banyak peminatnya. Sebentar saja habis. Ini saja kurang- kurang terus setiap hari.”“Wah, kalau begitu besok ibu sudah bisa sewa pekerja dong.”Habiba cuci tangan, menyudahi kegiatannya. Dia mengambil mainan pesawat dan membawanya ke ruang depan. Namun bersamaan dengan itu, tepat Irzan tengah melangkah pula ke ruang yang sama.Bruk.Tabrakan tak dapat dielakkan. Tupperware berisi donat di tangan Irzan jatuh, untung saja isinya tidak berserakan. Tubuh Habiba pun terpental dan ambruk ke lantai. Sedangkan Irzan hanya terhuyung mundur saja.“awh!” Habiba merintih merasakan pinggangnya ngilu. Dia hendak bangkit namun ambruk lagi. Segera Irzan mengangkat