Di sisi lain, Husein menyetir mobil dengan kecepatan kencang, beberapa kali memukul bundaran setiran. "Kau benar- benar tidak punya hati. Kau tidak bisa menghargai aku, Habiba!" Husein bicara sendiri, meluapkan emosi yang memuncak. Dadanya terasa panas sekali.Setelah segala perjuangan yang Husein lakukan, bahkan sampai mempertaruhkan keluarga besarnya, menerima Habiba dan memperjuangkan kehidupan wanita itu dengan segenap hati, tapi balasannya seperti ini. Habiba hanyalah menginginkan Irzan, isi pikiran wanita itu hanya terfokus pada pria itu. Mereka memang selalu bersama, namun hati tidak. Jika Husein dianggap melakukan perjuangan ini hanya sebatas tanggung jawab, maka itu salah. Semua karena rasa sayang pada anak dan istri. Tapi, hasilnya tidak sesuai ekspektasi.Hati Husein panas sekali. Baru kali ini ia terlihat seperti sampah di mata wanita, bahkan istrinya sendiri. Sebuah kafe menjadi tujuannya saat itu, yaitu kafe dimana Amir sedang duduk santai. Terlebih dahulu Husein ta
Sebenarnya Husein masih sangat ingin mendekap dan berbagi perhatian pada Habiba. Dan baru saja ia ingin menceraikannya, namun saat melihat sosok itu di depannya begini, otaknya langsung ngebleng. Pikirannya sedang kacau, ditambah sedikit minuman membuat pikirannya itu jadi makin berkelana tak menentu. Di tengah pikirannya yang tak menentu, Husein yang sebenarnya masih sangat menyayangi Habiba, langsung merengkuh pundak wanita itu, lalu mendaratkan ciuman.Husein tak tahu kenapa dia segila ini, tubuhnya terasa panas, gerah, kepalanya puns edikit pusing. Dia hanya ingin menyalurkan apa yang dia rasakan, mencium Habiba. Tak peduli dengan keadaan di sekeliling. Tak peduli dengan orang- orang yang melihatnya.Menariknya, ia mendapat balasan ciuman dari lawannya. Dahsyat, membuat Husein makin memburu.“Oh my God, delapan belas tahun ke atas!” Amir geleng kepala sambil menutup mata dengan jari yang berlubang lebar.Sekian menit menyalurkan perasaan melalui ciuman, Husein memundurka
“Malam, Bu!” Irzan muncul membawa beberapa buah Tupperware. Dia dengan penuh semangat memindahkan donat yang sudah matang dari toples ke dalam Tupperware. Tangannya dilapisi dengan sarung plastik supaya higienis.“Donat yang kemarin habis ya, Zan?” tanya Fatona semangat sekali.“Habis, Bu. Donatnya lembut dan enak. Makanya banyak peminatnya. Sebentar saja habis. Ini saja kurang- kurang terus setiap hari.”“Wah, kalau begitu besok ibu sudah bisa sewa pekerja dong.”Habiba cuci tangan, menyudahi kegiatannya. Dia mengambil mainan pesawat dan membawanya ke ruang depan. Namun bersamaan dengan itu, tepat Irzan tengah melangkah pula ke ruang yang sama.Bruk.Tabrakan tak dapat dielakkan. Tupperware berisi donat di tangan Irzan jatuh, untung saja isinya tidak berserakan. Tubuh Habiba pun terpental dan ambruk ke lantai. Sedangkan Irzan hanya terhuyung mundur saja.“awh!” Habiba merintih merasakan pinggangnya ngilu. Dia hendak bangkit namun ambruk lagi. Segera Irzan mengangkat
Habiba tengah menemani Sakha bermain pesawat- pesawatan pemberian eyangnya. Setelah bermain cukup lama, Sakha menggelayut pada lengan Habiba dan berkata, “Ntak nyeta!”Dia hendak menyebut kata boneka, tapi yang keluar malah nyeta. Meskipun tidak begitu tepat dalam melafazkannya, namuan Habiba sudah snagat memahami makna dari perkataan yang disebutkan oleh Sakha. Habiba tersenyum dan menggeleng. “Bonekanya besok dicari. Sekarang Sakha mainan pesawat dulu ya!”“Sakha kembali duduk dan memainkan pesawatnya.Syukurlah Sakha tidak tantrum. Tidak mengamuk meski mainan yang dia cari tidak ada. Dia sudah mulai bisa melupakan.Habiba juga mengeluarkan mainan mobil- mobilan yang dia beli di jalan. Dia mengajak Sakha mengobrol, menemani Sakha bermain, dan menjaganya dengan baik.“Habiba, di depan ada orang mau bertemu denganmu,” ucap Fatona yang baru saja membuka pintu kamar.“Siapa, Bu?”“Ibu juga tidak tahu. Ibu pikir temanmu dari kalangan elit. Pakaiannya bagus. Pasti orang berada
Beberapa menit Habiba tertegun memikirkan perkataan Cindy. Begitu banyak orang yang dikorbankan atas pernikahan Habiba dan Husein. Ambisi Tuan Alka dan Amira begitu besar untuk dapat memisahkan Husein dan Habiba. Apa pun mereka lakukan.Sebegitu hinanyakah Habiba di mata mereka sampai- smapai mereka terus berusaha memisahkan Habiba dan Husein? Bahkan sampai mengorbankan orang lain. Habiba takut, Fatona pun akan menjadi korban jika Habiba terus mempertahankan pernikahannya. Awalnya, Alka dan Amira masih bisa menerima Habiba, tapi saat tahu keturunan Habiba tidak normal, mereka menganggap aib. Bertambahlah kebencian mereka terhadap Habiba. Sedikit pun tidak tersisa lagi tempat untuk Habiba menjadi menantu di keluarga mereka. Kebencian Amira benar- benar mendidih sata tahu kondisi Sakha, yang baginya merupakan aib dan sangat memalukan.Padahal tidak ada yang pernah meminta kondisi Sakha seperti itu. Kasian sekali kamu, Nak. Kehadiranmu tidak diharapkan oleh nenekmu. Pikir
“Habiba, apa kau tidak akan menyesal? Kau yakin akan berpisah dari Husein?” teriak Amir dengan raut menyesal.Habiba memelankan langkah kakinya. Dia tidak tahu apakah akan menyesal atau tidak. Tapi yang jelas, ada banyak alasan yang membuatnya memilih untuk berpisah. Pertama, dia ingin menyelamatkan banyak orang yang terancam. Ibunya, hidupnya, Sakha, juga keluarga Cindy.Kedua, Husein pujn sudah tidak respek terhadapnya, bahkan rela menyakti Sakha. Jika sudah begitu, lalu apa lagi yang akan dia pertahankan? Keselamatan banyak orang sangat utama. Kebahagiaan Sakha juga paling utama.“Husein akan mengambil Sakha darimu! Kau akan kehilangan Sakha, dia bisa melakukan apa pun,” teriak Amir lagi membuat jantung Habiba kalut. Namun kemudian ia melanjutkan langkah dengan cepat meninggalkan Amir.Keputusan akhir adalah satu, bercerai.***Lima tahun kemudian...Habiba menggeret koper, blazer tebal melapisi tubuhnya. Sepatu jenis boots tinggi sebetis membalut kakinya. Koper ketingg
Habiba langsung balik badan. Tak ingin Husein melihat keberadaannya. Segala masalah hidupnya bermula dari Husein. Dan dia sudah melupakan segalanya untuk memulai hidup baru, Jangan lagi berurusan dengan pria itu. Hidupnya sudah cukup tenang dalam beberapa tahun belakangan.Kenapa dunia begitu sempit hingga ia harus kembali dipertemukan dengan Husein? Brak!Sial!Tangan Habiba menyenggol nampan pelayan saat berbalik hingga nampan tersenggol.“Nyonya, hati- hati!” sebut pelayan.“Maaf!” Habiba menggigit bibir bawah, berharap kejadian itu tidak menarik perhatian Husein. Habiba sedikit menoleh untuk mengintai kejadian di belakangnya, Husein ternyata tidak sendirian. Dia bersama dengan Amir. Mereka seperti sedang mengajak Qansa bicara. Sekilas Amir sempat menatap ke arah Habiba saat kegaduhan terjadi, namun ia tdak begitu peduli dan pandangannya kembali terarah kepada Qansa, bocah empat tahun yang gemuk dan pipinya tembem, menggemaskan sekali.“Apa yang kau lakukan?” tanya Husein
Husien bangkit berdiri dan menatap ke meja yang ditunjuk, meja itu diisi oleh sepasang suami istri, tanpa anak.“Mana? Anak- anak itu tidak ada,” ucap Husein yang tidak mendapati Qansa dan keluarganya.“Tadi di sana.”“Husein menghambur keluar, mengejar. Rasa penasaran membuatnya ingin melihat apakah benar itu Sakha atau bukan.Di luar, orang- orang lalu lalang. Ramai sekali. Dan ia tidak mendapati sosok yang dicari. “Kemana mereka?” Husein bicara sendiri. dan ia melihat di kejauhan sana, sebuah taksi yang berhenti, kemudian seorang wanita yang kepalanya dibalut kupluk memasukkan dua anaknya ke dalam taksi.“Hei tunggu!” Husein berlari mengejar.Taksi berlalu pergi membawa sosok wanita dan kedua anaknya. “Ah, sial!” Husein tak bisa mengejar pakai mobil. Mobilnya terparkir sangat jauh. Dia kehabisan waktu untuk mengejarnya.“Siapa yang kau kejar?” tanya Amir yang ngos- ngosan ikutan mengejar sambil menggendong empus.Husein tidak menjawab. Dia hanya mengusap wajah kasar.