“Malam, Bu!” Irzan muncul membawa beberapa buah Tupperware. Dia dengan penuh semangat memindahkan donat yang sudah matang dari toples ke dalam Tupperware. Tangannya dilapisi dengan sarung plastik supaya higienis.“Donat yang kemarin habis ya, Zan?” tanya Fatona semangat sekali.“Habis, Bu. Donatnya lembut dan enak. Makanya banyak peminatnya. Sebentar saja habis. Ini saja kurang- kurang terus setiap hari.”“Wah, kalau begitu besok ibu sudah bisa sewa pekerja dong.”Habiba cuci tangan, menyudahi kegiatannya. Dia mengambil mainan pesawat dan membawanya ke ruang depan. Namun bersamaan dengan itu, tepat Irzan tengah melangkah pula ke ruang yang sama.Bruk.Tabrakan tak dapat dielakkan. Tupperware berisi donat di tangan Irzan jatuh, untung saja isinya tidak berserakan. Tubuh Habiba pun terpental dan ambruk ke lantai. Sedangkan Irzan hanya terhuyung mundur saja.“awh!” Habiba merintih merasakan pinggangnya ngilu. Dia hendak bangkit namun ambruk lagi. Segera Irzan mengangkat
Habiba tengah menemani Sakha bermain pesawat- pesawatan pemberian eyangnya. Setelah bermain cukup lama, Sakha menggelayut pada lengan Habiba dan berkata, “Ntak nyeta!”Dia hendak menyebut kata boneka, tapi yang keluar malah nyeta. Meskipun tidak begitu tepat dalam melafazkannya, namuan Habiba sudah snagat memahami makna dari perkataan yang disebutkan oleh Sakha. Habiba tersenyum dan menggeleng. “Bonekanya besok dicari. Sekarang Sakha mainan pesawat dulu ya!”“Sakha kembali duduk dan memainkan pesawatnya.Syukurlah Sakha tidak tantrum. Tidak mengamuk meski mainan yang dia cari tidak ada. Dia sudah mulai bisa melupakan.Habiba juga mengeluarkan mainan mobil- mobilan yang dia beli di jalan. Dia mengajak Sakha mengobrol, menemani Sakha bermain, dan menjaganya dengan baik.“Habiba, di depan ada orang mau bertemu denganmu,” ucap Fatona yang baru saja membuka pintu kamar.“Siapa, Bu?”“Ibu juga tidak tahu. Ibu pikir temanmu dari kalangan elit. Pakaiannya bagus. Pasti orang berada
Beberapa menit Habiba tertegun memikirkan perkataan Cindy. Begitu banyak orang yang dikorbankan atas pernikahan Habiba dan Husein. Ambisi Tuan Alka dan Amira begitu besar untuk dapat memisahkan Husein dan Habiba. Apa pun mereka lakukan.Sebegitu hinanyakah Habiba di mata mereka sampai- smapai mereka terus berusaha memisahkan Habiba dan Husein? Bahkan sampai mengorbankan orang lain. Habiba takut, Fatona pun akan menjadi korban jika Habiba terus mempertahankan pernikahannya. Awalnya, Alka dan Amira masih bisa menerima Habiba, tapi saat tahu keturunan Habiba tidak normal, mereka menganggap aib. Bertambahlah kebencian mereka terhadap Habiba. Sedikit pun tidak tersisa lagi tempat untuk Habiba menjadi menantu di keluarga mereka. Kebencian Amira benar- benar mendidih sata tahu kondisi Sakha, yang baginya merupakan aib dan sangat memalukan.Padahal tidak ada yang pernah meminta kondisi Sakha seperti itu. Kasian sekali kamu, Nak. Kehadiranmu tidak diharapkan oleh nenekmu. Pikir
“Habiba, apa kau tidak akan menyesal? Kau yakin akan berpisah dari Husein?” teriak Amir dengan raut menyesal.Habiba memelankan langkah kakinya. Dia tidak tahu apakah akan menyesal atau tidak. Tapi yang jelas, ada banyak alasan yang membuatnya memilih untuk berpisah. Pertama, dia ingin menyelamatkan banyak orang yang terancam. Ibunya, hidupnya, Sakha, juga keluarga Cindy.Kedua, Husein pujn sudah tidak respek terhadapnya, bahkan rela menyakti Sakha. Jika sudah begitu, lalu apa lagi yang akan dia pertahankan? Keselamatan banyak orang sangat utama. Kebahagiaan Sakha juga paling utama.“Husein akan mengambil Sakha darimu! Kau akan kehilangan Sakha, dia bisa melakukan apa pun,” teriak Amir lagi membuat jantung Habiba kalut. Namun kemudian ia melanjutkan langkah dengan cepat meninggalkan Amir.Keputusan akhir adalah satu, bercerai.***Lima tahun kemudian...Habiba menggeret koper, blazer tebal melapisi tubuhnya. Sepatu jenis boots tinggi sebetis membalut kakinya. Koper ketingg
Habiba langsung balik badan. Tak ingin Husein melihat keberadaannya. Segala masalah hidupnya bermula dari Husein. Dan dia sudah melupakan segalanya untuk memulai hidup baru, Jangan lagi berurusan dengan pria itu. Hidupnya sudah cukup tenang dalam beberapa tahun belakangan.Kenapa dunia begitu sempit hingga ia harus kembali dipertemukan dengan Husein? Brak!Sial!Tangan Habiba menyenggol nampan pelayan saat berbalik hingga nampan tersenggol.“Nyonya, hati- hati!” sebut pelayan.“Maaf!” Habiba menggigit bibir bawah, berharap kejadian itu tidak menarik perhatian Husein. Habiba sedikit menoleh untuk mengintai kejadian di belakangnya, Husein ternyata tidak sendirian. Dia bersama dengan Amir. Mereka seperti sedang mengajak Qansa bicara. Sekilas Amir sempat menatap ke arah Habiba saat kegaduhan terjadi, namun ia tdak begitu peduli dan pandangannya kembali terarah kepada Qansa, bocah empat tahun yang gemuk dan pipinya tembem, menggemaskan sekali.“Apa yang kau lakukan?” tanya Husein
Husien bangkit berdiri dan menatap ke meja yang ditunjuk, meja itu diisi oleh sepasang suami istri, tanpa anak.“Mana? Anak- anak itu tidak ada,” ucap Husein yang tidak mendapati Qansa dan keluarganya.“Tadi di sana.”“Husein menghambur keluar, mengejar. Rasa penasaran membuatnya ingin melihat apakah benar itu Sakha atau bukan.Di luar, orang- orang lalu lalang. Ramai sekali. Dan ia tidak mendapati sosok yang dicari. “Kemana mereka?” Husein bicara sendiri. dan ia melihat di kejauhan sana, sebuah taksi yang berhenti, kemudian seorang wanita yang kepalanya dibalut kupluk memasukkan dua anaknya ke dalam taksi.“Hei tunggu!” Husein berlari mengejar.Taksi berlalu pergi membawa sosok wanita dan kedua anaknya. “Ah, sial!” Husein tak bisa mengejar pakai mobil. Mobilnya terparkir sangat jauh. Dia kehabisan waktu untuk mengejarnya.“Siapa yang kau kejar?” tanya Amir yang ngos- ngosan ikutan mengejar sambil menggendong empus.Husein tidak menjawab. Dia hanya mengusap wajah kasar.
Habiba melepas handscoon sesaat setelah melakukan operasi yang berjalan lancar. Sepanjang berkarier di rumah sakit swasta tiga bulan terakhir ini, Habiba dianggap berprestasi dan mengharumkan nama rumah sakit. Pekerjaannya bagus. Pasien puas dengan kinerjanya. Semua kasus yang dia tangani selalu berhasil dan memuaskan. Rumah sakit baru dibuka setahun belakangan, dan semenjak Habiba masuk ke rumah sakit itu, perkembangan rumah sakit luar biasa berkat kerja bagusnya. Namanya dibawa- bawa sebagai dokter yang dianggap sangat berprestasi. "Dokter Habiba, ada pasien yang ingin bertemu dengan Anda!" Dokter bedah berwujud laki- laki memasuki ruangan kerja Habiba."Pasien? Kenapa harus bertemu denganku?""Dia memaksa. Padahal perawat sudah bilang supaya dia menunggu di luar saja, sebab kasusnya tidak berat dan bisa ditangani oleh dokter umum lainnya.""Sakit apa?""Katanya demam, tapi suhu tubuhnya normal saja. Mungkin dia penggemarmu."Habiba tersenyum. "Jam kerjaku sudah habis. Aku harus p
Setelah itu, si pengemudi kembali melajukan mobilnya.Saat insiden itu terjadi, Habiba menutup mata Qansa dengan telapak tangannya. Qansa diam dan menurut saja tanpa pemberontakan meski hampir semua mukanya ditutup.Tidak baik anak- anak melihat makian dan hujatan orang dewasa."Kau tidak apa- apa?" tanya Ezra sambil membantu Habiba dan Qansa berdiri.Habiba baru sadar, bahwa ternyata tadi malaikat maut hampir saja menjemputnya jika saja Ezra tidak cepat menolongnya, menyambar dan menarik tubuhnya ke samping hingga jatuh bersamaan. Semua gara- gara perhatiannya terlalu fokus pada Emran hingga ia lupa kalau ia sedang menyeberangi jalan lebar. Dan sekarang, mana Emran? Pria itu sudah pergi, mobilnya pun sudah tak ada. "Apa yang kau cari?" tanya Ezra ikutan mencari- cari diantara keramaian lalu lalang."Eh emm... Tidak ada. Ayo kita makan."Ezra mengambil alih tubuh kecil Qansa, menggendongnya masuk ke restoran.Sepanjang digendong, Qansa menjarak wajahnya dengan wajah Ezra, dia terus