Jauh sebelum Husein pulang, Habiba merasakan sesuatu yang berbeda, entah kangen atau apa. Yang jelas sangat ingin bertemu. Dan sekarang dia bahagia sekali saat Husien sudah ada di depan mata. "Popo sudah pulang?" Habiba tersenyum lebar. Dia meletakkan apel dan pisau ke meja begitu saja. "Saya bikinkan susu hangat ya?"Habiba dengan cekatan menuju rak dan membuat susu sesuai takaran. Sekarang dia sudah tahu bagaimana membuat susu untuk suaminya. Saat balik badan, ia terkejut melihat Husein sudah ada di dekatnya. "Hampir saja susunya tumpah. Popo tidak bilang kalau sudah di sini." Habiba menyodorkan gelas susu.Husein mengambil susu dan meneguknya sampai habis. Mengembalikan gelas ke tangan Habiba.Habiba tersenyum melihat di kedua sudut atas bibir Husein berwarna putih seperti ada kumisnya. Tak lain susu yang membekas.Dia menyambar tisu dan mengelap atas bibir Husein. Entah dari mana keberanian itu muncul melakukan hal itu. Sedangkan dia tidak pernah berani menyentuh Husein. Kegem
Handuk Husein sudah teronggok di lantai. Menampilkan sosok kokoh yang gagah di depannya. Setelah sekian lama mereka sebagai pasangan suami istri tanpa saling menyentuh, kini akhirnya Husein memulai.Awalnya, Habiba hanya pasif saja, membiarkan Husein melakukan apa saja pada dirinya. Dia terkesan pasrah hingga akhirnya keduanya melepas puncak. Lalu berbaring bersisian dengan selimut menutup sampai ke dada.Beberapa menit keduanya membisu. Sesekali Husein melirik ke arah Habiba yang diam saja. Mungkin Habiba masih merasa canggung. "Aku akan carikan dokter, psikolog, psikiater atau apa saja untuk bisa menyembuhkannya," ucap Husein memecah keheningan.Barulah Habiba menoleh. "Bukankah autis tidak bisa disembuhkan?""Aku tahu. Maksudku, setidaknya mengurangi. Supaya Sakha bisa terapi sehak dini. membantu banyak penderita autisme untuk mencapai potensi maksimal mereka. Langkah-langkah terapi supaya dikonsultasikan kepada psikolog untuk mendapatkan treatment apa saja yang sesuai dengan keb
“Sudah seharusnya kau mencari istri. Rumah sebesar ini kau tempati sendiri. Kau juga kerepotan mengurus dirimu sendiri. Alangkah lebih baik kau dilayani istri,” ujar Husein.“Kalau begitu berikan aku satu wanita. Kau tahu sendiri kalau aku selalu kalah selangkah. Semua wanita yang datang, pasti lebih dulu jatuh cinta kepadamu. Tapi aku sekarang sudah jauh lebih percaya diri, sebab aku sudah jarang bersamamu lagi. Kau bukan atasanku lagi. Aku bepergian sendirian.”Husein tidak menanggapi celotehan Amir. Dia ke sana bukan untuk itu.“Meski kau bukan atasanku lagi, tapi aku masih tetap menjalankan tugas yang kau berikan, yaitu mencari pelaku penculikan Habiba.” Amir duduk di sisi Husein, dia sudah mengenakan celana jeans dan kaos hitam ketat. “Lalu bagaimana dengan bonus seratus juta yang pernah kau tawarkan, apakah masih bisa aku dapatkan?”“Ya. Akan aku carikan uang itu meski aku punya banyak hutang sekarang. Aku berkomitmen dalam bicara.”“Good.”“Jadi bagaimana dengan ka
Agatha terkejut, menatap Husein dengan mata melebar. Bily melepaskan lingkaran lengan tangannya dari pundak Agatha.Husein menarik lengan Agatha dan menyeretnya keluar dari sederet orang yang duduk berjejer di sofa."Husein, sudah! Cukup! Jangan sakiti Agatha. Ini salahku. Aku yang mengajak Agatha kemari!" Bily memohon, bangkit berdiri menatap Husein dengan canggung.Bily pasti salah paham, mengira Husein marah karena Agatha dianggap selingkuh dengan Bily. Husein tidak peduli dengan pemikiran itu. Terserah Bily mau berpikir apa."Bukankah kau dan Agatha sudah selesai? Tidak ada alasan untukmu marah pada Agatha. Lepaskan dia!" Bily memohon."Aku tidak ada urusan denganmu!" Husein menyeret Agatha keluar. Bily mengejar, namun dihadang oleh Amir."Kau diam disitu! Tidak perlu ikut campur!" seru Amir."Cuih!" Bily meludahi Amir namun hanya mengenai udara. Bily tidak akan berani melakukan hal itu pda Husein, namun pada Amir, dia berani melakukannya. "Shit!"Amir melengos pergi tanpa pedul
Husein bertukar pandang dengan wanita yang kini berdiri di sisinya. Wanita berparas cantik yang beberapa waktu terakhir ini melumpuhkan kerja otaknya hingga hanya fokus kepadanya. "Apa yang kamu lakukan pada wanita ini?" Habiba berucap lembut, menatap intens mata biru suaminya."Lihat dia! Dialah dalang penculikanmu!" Husein menunjuk Agatha dengan murka.Yang ditunjuk menggeleng sambil menangis."Kenapa kau lakukan itu padaku?" tanya Habiba menatap Agatha dengan dahi bertaut."Kaukah yang bernama Habiba?" tanya Agatha.Habiba mengangguk ragu."Tidak. Aku sama sekali tidak melakukan apa pun terhadapmu. Aku bahkan baru mengenalmu sekarang. Tidak ada untungnya aku mencelakaimu. Memangnya siapa kau sampai aku hatus mencelakaimu? Aku tidak lakukan apa pun terhadapmu. Sungguh!" Agatha berusaha meyakinkan.Sepersekian detik Habiba terdiam membisu. Kemudian menatap Husein. Sebenarnya Habiba bangga atas sikap Husein yang dengan terang- terangan terlihat jelas membela dan melindungi Habiba. Ta
Di sisi lain, Habiba membawa Agatha ke ruangan lain. Lalu ia menyerahkan pakaian kepada Agatha. "Ganti bajumu!" ucap Habiba.Agatha menurut saja. Dia masuk ke ruangan lain, melepas pakaiannya yang basah dan menukar dengan pakaian yang diberikan Habiba. Dia lalu kembali menemui Habiba di ruangan luas."Duduklah!" titah Habiba.Seperti diremot, Agatha duduk. Mereka duduk berhadapan.Habiba mengobati luka memar di pundak dan siku Agatha.Bola mata Agatha serius mengawasi wajah Habiba yang berada sangat dekat dengannya."Aku tidak pernah menculikmu. Dan jika memang kau meyakini bahwa aku adalah pelakunya, kenapa kau melakukan ini kepadaku?" lirih Agatha."Aku tidak peduli apakah kau adalah dalang penculikan itu atau tidak. Tapi kuanggap penganiayaan Husein tadi adalah hukuman untukmu. Dan sudah itu saja cukup. Aku yakin Tuhan akan membalas perbuatan jahat seseorang dengan setimpal. Entah sekarang, besok, atau lusa," jawab Habiba datar."Tapi aku tidak mengenalimu dan aku tidak melakukan
Oh ya ampun. Habiba terpaksa menukar pakaiannya. Ia terburu- buru menyusul Husein setelah selesai menukar pakaian dan berdandan sedikit sekedar memoles wajah saja. Ia juga berpesan pada baby sitter untuk menjaga Sakha selagi Habiba pergi.Husein sudah menunggu di depan, berdiri di sisi mobil. Pria itu menatap Habiba lekat saat wanitanya sudah ada di hadapannya."Ada yang salah? Aku akan menukar pakaianku kalau ini jelek," ucap Habiba sambil menatap bajunya sendiri."Tidak. Cantik."Habiba terkesiap mendengar ucapan Husein. Pria itu mengatakan kalau Habiba cantik. Apa itu tidak salah?"Kenapa bengong? Ayo masuk!" Husein menunjuk mobil yang sudah terbuka."Oh iya." Habiba masuk ke mobil dengan senyum kecil. "Kita mau kemana?" tanya Habiba ketika mobil sudah bergerak keluar dari halaman rumah."Ke mana kau mau?""Loh kok malah balik tanya? Saya tidak tahu mau kemana. Kalau saya ditanya, saya maunya ke kamar." Habiba mengulum senyum polos."Kamar? Kamu ingin melakukan hubungan suami istri
Husein tersenyum melihat Sakha yang sedang duduk di lantai ruang main, bermain dua boneka. Boneka kuda dan boneka harimau. Dia menggerak- gerakkan boneka itu dengan riang.Husien menghampiri putranya. Dia jongkok di sisi putranya, tersenyum menatap Sakha yang asik main. Babi sitter menunggu di sisi Sakha."Tidak ada masalah dengan Sakha kan?" tanya Husein."Tidak, Tuan.""Pastikan jadwal terapi dan apa saja kebutuhan Sakha tifak terlewatkan.""Baik, Tuan.""Habiba kemana?" tanya Husein sambil menoleh ke kiri kanan, namun tidak mendapati istrinya."Ke ruangan sebelah. Tadi baru saja dari sini."Suara getaran ponsel di atas meja mengalihkan perhatian Husein. Bukan ponsel miliknya, melainkan ponsel milik Habiba. Husein mengambil hp. Tanpa membuka chat, di layar bagian atas sudah terlihat nama si pengirim. Irzan. Husein membaca chat itu melalui layar hp tanpa membukanya..'Bagaimana dengan boneka kuda dan harimau pemberianku? Sakha suka? Kalau suka, besok aku belikan yang singa jantan.
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu