"Puncaknya, Habiba marah saat aku mengaku bahwa aku membuang dan membakar boneka- boneka itu. Dari situ, jelas terlihat bahwa Habiba sangat mencintai Irzan," imbuh Husein. "Sia- sia saja semua yang sudah aku lakukan tapi isi kepala Habiba masih saja terfokus pada Irzan.""Kalau kau mencintainya, kau seharusnya berjuang untuk mengambil hatinya. Bukan malah marah. Perjuanganmu masih panjang.""Kurang panjang bagaimana lagi? Kau pikir perjuanganku baru beberapa hari? Apakah tidak cukup perjuanganku selama ini? Aku sudah lakukan apa saja untuknya, aku mempertahankan dia meski harus bertengkar hebat dengan orang tuaku sendiri, aku bahkan korbankan nyawaku jika saja aku mati di lift saat menyelamatkan Habiba." Husein menggebu- gebu."Sejak awal, aku tahu Habiba memang tidak pernah melihat kelebihanku," sambung Husein. "Ketampananku, kekayaanku, bahkan jabatanku sama sekali tidak tidak menjadi daya tarik baginya. Lalu perjuangan dan pengorbananku juga tidak mengubah segalanya. Dia membenc
Prak.Husein meletakkan kunci ke meja, tepat di hadapan Alka.Amira yang duduk di sisi suaminya, menatap bingung pada kunci yang diletakkan di meja.“Ini kunci mobil. Aku kembalikan. Aku sudah bukan CEO lagi di perusahaan papa. Tidak seharusnya memakai fasilitas Dari papa,” tegas Husein.Alka menatap tajam pada sulungnya. “Kau yakin ingin melepaskan jabatan itu?”“Bukankah itu kemauan papa?”“Sebenarnya kau hanya tinggal memilih, pertahankan jabatanmu itu, atau Habiba? Tapi ternyata kau lebih memilih wanita itu.” Alka geleng- geleng kepala.“Bedakan antara masalah pekerjaan dan masalah pribadi. Papa sudah terlalu jauh memasuki urusan pribadiku.”“Hidupmu bersangkutan dnegan pekerjaan, tentu kau harus diatur supaya pekerjaanmu juga baik.” “Maaf, aku tidak bisa. Dan satu hal yang perlu mama dan papa ketahui, meski aku tidak bisa membuktikan siapa dalang di balik penculikan Habiba, tapi aku meyakini bahwa orang tuaku sendiri yang mendalanginya.”Wajah Alka makin merah padam. Dia bangkit
Habiba pulang membawa setentang plastik berisi barang belanjaan. Disambut oleh baby sitter yang langsung menggendong Sakha ke dalam rumah. Bocah itu memegangi dua boneka pemberian Irzan. Dia ternyata menyukai boneka yang menjadi mainan baru baginya. Menghilang ke ruangan lain.Habiba memasuki ruang tamu, duduk di sofa mengupas apel. Tak lama kemudian, baby sitter muncul kembali.“Non, saya minta obat merah untuk Sakha. Sakha terjatuh dan lututnya terluka sedikit,” ucap baby sitter yang tergopoh menggendong Sakha.Habiba meletakkan pisau dan membawa potongan apel.“Ambil di lemari dekat vas di ruangan sebelah!” titah Habiba kemudian mengambil alih tubuh Sakha dari gendongan baby sitter. “Sakha mau apel? Ayo makan!”Habiba memberikan potongan apel.Sakha mengambil dan langsung memakannya. Habiba mendudukkan tubuh Sakha ke sofa. Bocah itu mengunyah potongan apel. Sesekali matanya menatap ke atas, ke dinding dan ke bajunya sendiri.Ternyata vonis dokter tidak salah. Habiba tidak
Habiba sontak menatap Inez dengan tatapan canggung. Kangen? Entahlah... Habiba tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Yang jelas dia sangat ingin bertemu dengan Husein. Ingin melihat wajah pria yang selama ini menjadi penyemangat dan pelindungnya. "Apa tidak ada perasaan cinta yang tumbuh?" sambung Inez lagi."Kamu mau minum? Akan aku ambilkan." Habiba mengalihkan pembicaraan."Tidak. Aku tidak lama. Aku tidak bisa mampir ke sini karena dilarang oleh mama. Mama marah kalau tahu aku ke sini.""Okey. Aku tahu itu.""Kamu sudah lama mogok kuliah setelah melahirkan Sakha. Aku harap tahun depan kamu bisa kejar cita- citamu untuk melanjutkan kuliah.""Ya. Aku pasti akan lanjutkan."Inez kemudian jongkok dan mengusap pipi Sakha. Bocah itu tampan sekali, membawa wajah Husein, hanya saja dia memiliki kekurangan.“Jadi… anak seperti ini yang dipertahankan dan diakui oleh Husein sebagai darah daging?”Suara itu membuat perhatian Habiba dan Inez mengarah ke sumber suara. Amira melangkah mend
Jauh sebelum Husein pulang, Habiba merasakan sesuatu yang berbeda, entah kangen atau apa. Yang jelas sangat ingin bertemu. Dan sekarang dia bahagia sekali saat Husien sudah ada di depan mata. "Popo sudah pulang?" Habiba tersenyum lebar. Dia meletakkan apel dan pisau ke meja begitu saja. "Saya bikinkan susu hangat ya?"Habiba dengan cekatan menuju rak dan membuat susu sesuai takaran. Sekarang dia sudah tahu bagaimana membuat susu untuk suaminya. Saat balik badan, ia terkejut melihat Husein sudah ada di dekatnya. "Hampir saja susunya tumpah. Popo tidak bilang kalau sudah di sini." Habiba menyodorkan gelas susu.Husein mengambil susu dan meneguknya sampai habis. Mengembalikan gelas ke tangan Habiba.Habiba tersenyum melihat di kedua sudut atas bibir Husein berwarna putih seperti ada kumisnya. Tak lain susu yang membekas.Dia menyambar tisu dan mengelap atas bibir Husein. Entah dari mana keberanian itu muncul melakukan hal itu. Sedangkan dia tidak pernah berani menyentuh Husein. Kegem
Handuk Husein sudah teronggok di lantai. Menampilkan sosok kokoh yang gagah di depannya. Setelah sekian lama mereka sebagai pasangan suami istri tanpa saling menyentuh, kini akhirnya Husein memulai.Awalnya, Habiba hanya pasif saja, membiarkan Husein melakukan apa saja pada dirinya. Dia terkesan pasrah hingga akhirnya keduanya melepas puncak. Lalu berbaring bersisian dengan selimut menutup sampai ke dada.Beberapa menit keduanya membisu. Sesekali Husein melirik ke arah Habiba yang diam saja. Mungkin Habiba masih merasa canggung. "Aku akan carikan dokter, psikolog, psikiater atau apa saja untuk bisa menyembuhkannya," ucap Husein memecah keheningan.Barulah Habiba menoleh. "Bukankah autis tidak bisa disembuhkan?""Aku tahu. Maksudku, setidaknya mengurangi. Supaya Sakha bisa terapi sehak dini. membantu banyak penderita autisme untuk mencapai potensi maksimal mereka. Langkah-langkah terapi supaya dikonsultasikan kepada psikolog untuk mendapatkan treatment apa saja yang sesuai dengan keb
“Sudah seharusnya kau mencari istri. Rumah sebesar ini kau tempati sendiri. Kau juga kerepotan mengurus dirimu sendiri. Alangkah lebih baik kau dilayani istri,” ujar Husein.“Kalau begitu berikan aku satu wanita. Kau tahu sendiri kalau aku selalu kalah selangkah. Semua wanita yang datang, pasti lebih dulu jatuh cinta kepadamu. Tapi aku sekarang sudah jauh lebih percaya diri, sebab aku sudah jarang bersamamu lagi. Kau bukan atasanku lagi. Aku bepergian sendirian.”Husein tidak menanggapi celotehan Amir. Dia ke sana bukan untuk itu.“Meski kau bukan atasanku lagi, tapi aku masih tetap menjalankan tugas yang kau berikan, yaitu mencari pelaku penculikan Habiba.” Amir duduk di sisi Husein, dia sudah mengenakan celana jeans dan kaos hitam ketat. “Lalu bagaimana dengan bonus seratus juta yang pernah kau tawarkan, apakah masih bisa aku dapatkan?”“Ya. Akan aku carikan uang itu meski aku punya banyak hutang sekarang. Aku berkomitmen dalam bicara.”“Good.”“Jadi bagaimana dengan ka
Agatha terkejut, menatap Husein dengan mata melebar. Bily melepaskan lingkaran lengan tangannya dari pundak Agatha.Husein menarik lengan Agatha dan menyeretnya keluar dari sederet orang yang duduk berjejer di sofa."Husein, sudah! Cukup! Jangan sakiti Agatha. Ini salahku. Aku yang mengajak Agatha kemari!" Bily memohon, bangkit berdiri menatap Husein dengan canggung.Bily pasti salah paham, mengira Husein marah karena Agatha dianggap selingkuh dengan Bily. Husein tidak peduli dengan pemikiran itu. Terserah Bily mau berpikir apa."Bukankah kau dan Agatha sudah selesai? Tidak ada alasan untukmu marah pada Agatha. Lepaskan dia!" Bily memohon."Aku tidak ada urusan denganmu!" Husein menyeret Agatha keluar. Bily mengejar, namun dihadang oleh Amir."Kau diam disitu! Tidak perlu ikut campur!" seru Amir."Cuih!" Bily meludahi Amir namun hanya mengenai udara. Bily tidak akan berani melakukan hal itu pda Husein, namun pada Amir, dia berani melakukannya. "Shit!"Amir melengos pergi tanpa pedul