“No. Jadikan pekerjaan sebagai teman, termasuk bos. Saya juga mempekerjakan pegawai begitu. Tidak perlu ada kesenjangan antara bawahan dan atasan,” timpal Tuan Asahi. “Tuan Husein, bermitralah dengan pekerja Anda. Nyonya Habiba butuh rileks untuk menghadapi dunia. Biarkan saya yang menjadi calon suaminya. Saya jatuh cinta dan saya tidak mau menunda lagi untuk mengungkapkan ini.”Habiba makin membungkam. Ternyata segila ini lelaki yang berhadapan dengannya sekarang. Dia jelas seorang yang ambisius, tak mau menunda waktu untuk kemauannya. Tapi dia adalah lelaki yang bersungguh- sungguh.Meski gila, namun kesungguhannya tidak diragukan lagi.“Saya takut kesempatan ini tidak akan terulang lagi. Beginilah saya adanya, langsung pada topiknya tanpa harus mengulur waktu. Apa yang menjadi harapan saya, maka akan langsung saya sampaikan tanpa harus menunggu waktu,” ungkap Tuan Asahi penuh percaya diri.Jika dilihat dari cara bicaranya yang dipenuhi dengan kepercayadirian penuh, dia terbiasa deng
"Maaf," lembut Husein sambil meraih tangan Habiba dan menggenggamnya erat. Tatapannya lekat ke mata hitam Habiba. Yang ditatap merasa seperti terhunus sesuatu yang tajak hingga mengalihkan pandangan. Selalu saja Habiba kalah saat bersitatap dengan pria itu. "Aku telah membuatmu berada di posisi ini. Aku suamimu, tapi aku harus menyaksikanmu dilamar oleh pria lain di hadapanku. Sialnya, aku tidak bisa berbuat lebih." Husein mempererat genggamannya. Genggaman itu mengantarkan sesuatu yang hangat sampai ke jantung Habiba. Dan entah kenapa Habiba mampu memaklumi situasi itu. Hanya satu hal yang membuatnya bertahan, ia yakin suatu saat Tuhan akan memberikan jalan untuk Habiba lepas dari status istri rahasia. Disembunyikan itu tidak enak. Namun, ia saat ini menikmati keadaan itu. Ia menjalani dengan lapang hati selagi Husein berada di pihaknya.Tidak banyak tuntutan Habiba, cukup Tuhan menyatukan keluarga mereka seperti sekarang ini, meski ada Cindy diantara mereka."Kau harus mencari
Seharian, Habiba tidak melihat keberadaan Fatona setelah kemarahan ibunya itu beberapa waktu lalu. Bahkan tidak terlihat di sekitaran rumah. Apakah mungkin fatona berdiam di dalam kamar seharian?Tidak ada bekas piring kotor milik Fatona, tidak ada tanda- tanda Fatona melakukan aktifitas keseharian di rumah.Kemana Fatona?Habiba merindukan ibunya. Setidaknya sehari bertemu sekali saja. itu sudah cukup melepas rasa rindu.Bagi Habiba, sehari tidak melhat wajah ibunya, seperti ada yang kurang dalam hidupnya. Mungkin ini karena sudah menjadi kebiasaan dalam kesehariannya, selalu menatap wajah sang ibu meski hanya beberapa menit saja.Alangkah mengejutkan, Habiba bahkan tidak menemukan ibunya itu di kamar. Kamar dalam keadaan kosong. Loh, ibu kemana? Habiba mulai panik. Apakah sekesal itu Fatona terhadapnya sampai mendiamkannya begini?Habiba terduduk di sisi kasur. ‘Ibu… Aku masih bisa menahan jika suami, anak, kakak atau siapa pun marah kepadaku. Tapi jika ibu yang marah,
Habiba terdiam. Lidahnya kaku sekali, kelu rasanya untuk mengungkapkan kata sesuai permintaan Husein. Kenapa jadi drama begini? Padahal dulu ia mudah saja mengatakannya? Bahkan beberapa kali kata- kata itu meluncur keluar dari mulutnya, sekarang kenapa jadi sesulit ini?Apa dia malu?Iya, fix Habiba merasa canggung dan malu mengatakannya."Jadi tidak mau mengatakannya?" tanya Husein.Jantung Habiba seperti diremas merasakan mobil yang melaju kencang."Aku mencintaimu." Habiba berseru cepat.Husein tersenyum dan berangsur mengurangi kecepatan mobil. Sebab jika kecepatannya dikurangi secara mendadak, maka akibatnya Habiba bisa saja terantuk dashboard. Habiba menghela napas panjang. Sedikit gugup ia berkata, "Ternyata kamu masih bisa ngerjain aku disaat begini.""Supaya kau tidak begitu tegang, rileks sedikit." Suara bariton Husein terdengar sangat memanjakan. Sebelumnya pria ini tak pernah bersikap begini, tapi sekarang terlihat sangat berbeda."Tapi tetap saja bikin tegang, aku beras
"Bu!" Tangis Habiba pecah, ia menghambur dan bersimpuh di hadapan sang ibu. Ia menyentuh kaki Fatona dengan pundak yang bergetar hebat. Semarah itukah Fatona terhadapnya hingga kekesalannya meledak letup? Bahkan kata- kata yang menunjukkan kemurkaan itu sampai terucap dari lidahnya. "Ibu, maafkan aku!" Habiba terisak, ia bahkan tak sanggup lagi melanjutkan kata- katanya. Seharusnya ia mengucapkan kalimat yang lebih dari sekedar minta maaf, tapi isak tangis membuatnya tak sanggup melanjutkan kalimat.Fatona pun hanya diam. Wajahnya bahkan diangkat dengan ekspresi marah. Husein mendekat. Meraih pundak Habiba, mengangkatnya naik hingga kini berdiri. Husein merangkul pundak istrinya. Ia menatap Fatona lekat. Dengan suara tegas namun tetap pada konteks sopan, Husein berkata, "Ibu, di sini bukan Habiba yang salah. Tapi aku. Jangan hakimi Habiba. Hukumlah aku. Keadaan yang dialami Habiba saat ini, adalah aku penyebabnya. Tapi lihatlah bagaimana aku merangkul pundaknya, seperti inilah aku
Habiba menggeliat. Dan terkejut saat merasakan kepalan tangannya yang merentang itu mengenai sesuatu yang keras.Bukankah benda- benda di atas kasur mayoritas empuk semua? Mulai dari bantal, guling, kasur, selimut, semuanya empuk. Lalu apa yang keras- keras ini?Habiba masih terpejam, lalu ia kembali menonjok lagi, dan ternyata benda itu masih terasa. Artinya memang ada benda keras di atas kasurnya.Segera Habiba membuka mata. Loh, kok Husein ada di kasurnya? Bagaimana bisa pria itu ada di sana? Apakah Husein tidak pulang ke rumahnya untuk menemui Cindy? Sejak tadi, kepalan tinjunyabitu menonjok- nonjok dada bidang Husein yang tertidur miring menghadap ke arahnya. Untungnya Husein tidur lelap dan tidak terganggu oleh tonjokkan Habiba.Habiba langsung duduk. Dia tatap wajah Husein yang terlelap. Wajah tampan itu tetap menawan disaat tertidur pulas begini. Mulutnya tertutup rapat, aman. Tidak akan ada pulau yang membentang di bantal. Melihat Husien yang terbaring di sana, Habiba ja
“Mbak Fara?” Habiba mengerutkan dahi, menatap wanita yang kini memegangi handle pintu.Tak kalah terkejut, Fara yang berdiri di pintu pun terbengong. Mulutnya membulat membentuk huruf O.Kenapa wanita ini bisa nyasar sampai di sini? Apa yang dia lakukan di sini? Benak Habiba bertanya- tanya dengan bingung. “Mbak Fara! Keluarlah!” titah Habiba tegas, setengah kesal. Bagaimana mungkin Fara malah terdiam di pintu saat melihatnya dalam keadaan begini? bukannya cepat ambil tindakan dengan berlalu pergi, dia malah menjadi penonton seperti kesetrum begitu?Sebelum beringsut pergi, Fara sempat menoleh ke arah kasur, menatap sosok yang terbaring dengan posisi menelungkup seperti bayi. Husein.Wajah kaget makin tampak di mukanya yang pas- pasan itu. Muka yang sayangnya makin unik dengan lipstik yang warnanya merah merona.Bleb.Pintu kembali ditutup.“Hei, aku suruh keluar, kok malah masuk?” Habiba gemas sekali melihat Fara yang kini malah berada di kamar sesaat setelah masuk dan menutup pintu
Tak mungkin Habiba mempekerjakan wanita bermulut ember seperti Fara, bisa- bisa bawaannya gedeg terus setiap hari karena harus melihat wanita bermulut nyinyir itu."Mbak Fara dengar aku kan? Silakan Mbak Fara pulang saja. Aku akan cari pembantu lain," ucap Habiba membuat Fara makin lemas."Hei, kenapa Fara diusir?" Suara bariton Husein membuat sejurus pandangan tertuju ke sumber suara.Husein melangkah memasuki dapur. Tampilannya masih sama seperti ketika ia ditinggalkan oleh Habiba, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana tidur panjang saja. Kemudian dengan entengnya tubuh gagah itu mendekat pada Habiba, lengan berotot itu bahkan mudah sekali merangkul perut Habiba dari arah belakang. Sangat erat lengan itu memeluk perut Habiba. Aroma tubuh Husein tersengat ke hidung Habiba. Dagu pria itu pun mengusap lekat di pundak Habiba dengan santai, tanpa peduli tingkahnya itu menjadi perhatian Fara."Dia pembantumu sekarang, sayang!" ucap Husein sambil menatap wajah sang istri yang sangat