Seharian, Habiba tidak melihat keberadaan Fatona setelah kemarahan ibunya itu beberapa waktu lalu. Bahkan tidak terlihat di sekitaran rumah. Apakah mungkin fatona berdiam di dalam kamar seharian?Tidak ada bekas piring kotor milik Fatona, tidak ada tanda- tanda Fatona melakukan aktifitas keseharian di rumah.Kemana Fatona?Habiba merindukan ibunya. Setidaknya sehari bertemu sekali saja. itu sudah cukup melepas rasa rindu.Bagi Habiba, sehari tidak melhat wajah ibunya, seperti ada yang kurang dalam hidupnya. Mungkin ini karena sudah menjadi kebiasaan dalam kesehariannya, selalu menatap wajah sang ibu meski hanya beberapa menit saja.Alangkah mengejutkan, Habiba bahkan tidak menemukan ibunya itu di kamar. Kamar dalam keadaan kosong. Loh, ibu kemana? Habiba mulai panik. Apakah sekesal itu Fatona terhadapnya sampai mendiamkannya begini?Habiba terduduk di sisi kasur. ‘Ibu… Aku masih bisa menahan jika suami, anak, kakak atau siapa pun marah kepadaku. Tapi jika ibu yang marah,
Habiba terdiam. Lidahnya kaku sekali, kelu rasanya untuk mengungkapkan kata sesuai permintaan Husein. Kenapa jadi drama begini? Padahal dulu ia mudah saja mengatakannya? Bahkan beberapa kali kata- kata itu meluncur keluar dari mulutnya, sekarang kenapa jadi sesulit ini?Apa dia malu?Iya, fix Habiba merasa canggung dan malu mengatakannya."Jadi tidak mau mengatakannya?" tanya Husein.Jantung Habiba seperti diremas merasakan mobil yang melaju kencang."Aku mencintaimu." Habiba berseru cepat.Husein tersenyum dan berangsur mengurangi kecepatan mobil. Sebab jika kecepatannya dikurangi secara mendadak, maka akibatnya Habiba bisa saja terantuk dashboard. Habiba menghela napas panjang. Sedikit gugup ia berkata, "Ternyata kamu masih bisa ngerjain aku disaat begini.""Supaya kau tidak begitu tegang, rileks sedikit." Suara bariton Husein terdengar sangat memanjakan. Sebelumnya pria ini tak pernah bersikap begini, tapi sekarang terlihat sangat berbeda."Tapi tetap saja bikin tegang, aku beras
"Bu!" Tangis Habiba pecah, ia menghambur dan bersimpuh di hadapan sang ibu. Ia menyentuh kaki Fatona dengan pundak yang bergetar hebat. Semarah itukah Fatona terhadapnya hingga kekesalannya meledak letup? Bahkan kata- kata yang menunjukkan kemurkaan itu sampai terucap dari lidahnya. "Ibu, maafkan aku!" Habiba terisak, ia bahkan tak sanggup lagi melanjutkan kata- katanya. Seharusnya ia mengucapkan kalimat yang lebih dari sekedar minta maaf, tapi isak tangis membuatnya tak sanggup melanjutkan kalimat.Fatona pun hanya diam. Wajahnya bahkan diangkat dengan ekspresi marah. Husein mendekat. Meraih pundak Habiba, mengangkatnya naik hingga kini berdiri. Husein merangkul pundak istrinya. Ia menatap Fatona lekat. Dengan suara tegas namun tetap pada konteks sopan, Husein berkata, "Ibu, di sini bukan Habiba yang salah. Tapi aku. Jangan hakimi Habiba. Hukumlah aku. Keadaan yang dialami Habiba saat ini, adalah aku penyebabnya. Tapi lihatlah bagaimana aku merangkul pundaknya, seperti inilah aku
Habiba menggeliat. Dan terkejut saat merasakan kepalan tangannya yang merentang itu mengenai sesuatu yang keras.Bukankah benda- benda di atas kasur mayoritas empuk semua? Mulai dari bantal, guling, kasur, selimut, semuanya empuk. Lalu apa yang keras- keras ini?Habiba masih terpejam, lalu ia kembali menonjok lagi, dan ternyata benda itu masih terasa. Artinya memang ada benda keras di atas kasurnya.Segera Habiba membuka mata. Loh, kok Husein ada di kasurnya? Bagaimana bisa pria itu ada di sana? Apakah Husein tidak pulang ke rumahnya untuk menemui Cindy? Sejak tadi, kepalan tinjunyabitu menonjok- nonjok dada bidang Husein yang tertidur miring menghadap ke arahnya. Untungnya Husein tidur lelap dan tidak terganggu oleh tonjokkan Habiba.Habiba langsung duduk. Dia tatap wajah Husein yang terlelap. Wajah tampan itu tetap menawan disaat tertidur pulas begini. Mulutnya tertutup rapat, aman. Tidak akan ada pulau yang membentang di bantal. Melihat Husien yang terbaring di sana, Habiba ja
“Mbak Fara?” Habiba mengerutkan dahi, menatap wanita yang kini memegangi handle pintu.Tak kalah terkejut, Fara yang berdiri di pintu pun terbengong. Mulutnya membulat membentuk huruf O.Kenapa wanita ini bisa nyasar sampai di sini? Apa yang dia lakukan di sini? Benak Habiba bertanya- tanya dengan bingung. “Mbak Fara! Keluarlah!” titah Habiba tegas, setengah kesal. Bagaimana mungkin Fara malah terdiam di pintu saat melihatnya dalam keadaan begini? bukannya cepat ambil tindakan dengan berlalu pergi, dia malah menjadi penonton seperti kesetrum begitu?Sebelum beringsut pergi, Fara sempat menoleh ke arah kasur, menatap sosok yang terbaring dengan posisi menelungkup seperti bayi. Husein.Wajah kaget makin tampak di mukanya yang pas- pasan itu. Muka yang sayangnya makin unik dengan lipstik yang warnanya merah merona.Bleb.Pintu kembali ditutup.“Hei, aku suruh keluar, kok malah masuk?” Habiba gemas sekali melihat Fara yang kini malah berada di kamar sesaat setelah masuk dan menutup pintu
Tak mungkin Habiba mempekerjakan wanita bermulut ember seperti Fara, bisa- bisa bawaannya gedeg terus setiap hari karena harus melihat wanita bermulut nyinyir itu."Mbak Fara dengar aku kan? Silakan Mbak Fara pulang saja. Aku akan cari pembantu lain," ucap Habiba membuat Fara makin lemas."Hei, kenapa Fara diusir?" Suara bariton Husein membuat sejurus pandangan tertuju ke sumber suara.Husein melangkah memasuki dapur. Tampilannya masih sama seperti ketika ia ditinggalkan oleh Habiba, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana tidur panjang saja. Kemudian dengan entengnya tubuh gagah itu mendekat pada Habiba, lengan berotot itu bahkan mudah sekali merangkul perut Habiba dari arah belakang. Sangat erat lengan itu memeluk perut Habiba. Aroma tubuh Husein tersengat ke hidung Habiba. Dagu pria itu pun mengusap lekat di pundak Habiba dengan santai, tanpa peduli tingkahnya itu menjadi perhatian Fara."Dia pembantumu sekarang, sayang!" ucap Husein sambil menatap wajah sang istri yang sangat
"Baiklah. Kalau begitu, Mbak Fara segera selesaikan tugas. Kalau sudah selesai memasak, Mbak Fara langsung kasih tahu aku. Soalnya aku akan bawa makannya kepada Tuan Alka dan Bu Amira!” titah Habiba."Baik." Fara patuh. Sebenarnya Fara masih bingung dengan situasi di rumah itu, kenapa Alka dan Amira bisa berada di rumah Habiba dalam keadaan sakit parah semua? Kenapa Husein juga tinggal di sana bersama Habiba, bukannya tinggal di rumah Husein yg diketahui berada di alamat lain? Bagaimana bisa keadaan Habiba berbalik sukses seratus delapan puluh derajat? Semua pertanyaan itu menyumpal benaknya. Awalnya Amir menghubunginya dan mengatakan bahwa Husein menawarkan pekerjaan dengan gaji besar, tanpa memberitahu bahwa calon majikan adalah Habiba. Dan Fara menerima pekerjaan itu. Ternyata majikannya adalah sosok yang dulu pernah sama- sama bekerja di rumah Husein. Ini membingungkan sekali.Tidak butuh waktu lama bagi Fara menyelesaikan tugasnya memasak untuk majikan, dia sudah sangat hafal
"Tidak ada hal apa pun yang lebih baik dari memuliakan orang yang jahat. Kau memilikinya. Entahlah, aku tidak tahu harus bicara apa lagi." Alka menatap lekat menantunya, haru.Habiba tersenyum lagi sambil mengusap pipinya yang sejak tadi dilelehi air mata. "Bolehkah aku mencium tanganmu?" tanya Habiba."Tidak ada yang tidak aku ijinkan untukmu."Habiba mengambil tangan kanan Alka, lalu menyalami dan mencium punggung tangannya penuh takzim. Beberapa detik berlalu, Habiba melepas tangan itu. "Jika setiap berlebaran orang- orang bersilaturahmi dan mencium tangan mertua, aku tidak pernah melakukan ini. Ini adalah suatu kebanggaan bagiku," ungkap Habiba dengan wajah berbinar.Alka menghela napas. Ia sudah mulai terlihat lebih tenang. Tak ada lagi tangis di matanya. "Saat Husein mengambil keputusan untuk mempertahankanmu, aku sungguh sangat marah waktu itu. Aku melaknatnya, aku tidak mau mengakuinya sebagai anak, bahkan aku meminta dia mengembalikan semua biaya yang pernah aku berikan ke