"Baiklah. Kalau begitu, Mbak Fara segera selesaikan tugas. Kalau sudah selesai memasak, Mbak Fara langsung kasih tahu aku. Soalnya aku akan bawa makannya kepada Tuan Alka dan Bu Amira!” titah Habiba."Baik." Fara patuh. Sebenarnya Fara masih bingung dengan situasi di rumah itu, kenapa Alka dan Amira bisa berada di rumah Habiba dalam keadaan sakit parah semua? Kenapa Husein juga tinggal di sana bersama Habiba, bukannya tinggal di rumah Husein yg diketahui berada di alamat lain? Bagaimana bisa keadaan Habiba berbalik sukses seratus delapan puluh derajat? Semua pertanyaan itu menyumpal benaknya. Awalnya Amir menghubunginya dan mengatakan bahwa Husein menawarkan pekerjaan dengan gaji besar, tanpa memberitahu bahwa calon majikan adalah Habiba. Dan Fara menerima pekerjaan itu. Ternyata majikannya adalah sosok yang dulu pernah sama- sama bekerja di rumah Husein. Ini membingungkan sekali.Tidak butuh waktu lama bagi Fara menyelesaikan tugasnya memasak untuk majikan, dia sudah sangat hafal
"Tidak ada hal apa pun yang lebih baik dari memuliakan orang yang jahat. Kau memilikinya. Entahlah, aku tidak tahu harus bicara apa lagi." Alka menatap lekat menantunya, haru.Habiba tersenyum lagi sambil mengusap pipinya yang sejak tadi dilelehi air mata. "Bolehkah aku mencium tanganmu?" tanya Habiba."Tidak ada yang tidak aku ijinkan untukmu."Habiba mengambil tangan kanan Alka, lalu menyalami dan mencium punggung tangannya penuh takzim. Beberapa detik berlalu, Habiba melepas tangan itu. "Jika setiap berlebaran orang- orang bersilaturahmi dan mencium tangan mertua, aku tidak pernah melakukan ini. Ini adalah suatu kebanggaan bagiku," ungkap Habiba dengan wajah berbinar.Alka menghela napas. Ia sudah mulai terlihat lebih tenang. Tak ada lagi tangis di matanya. "Saat Husein mengambil keputusan untuk mempertahankanmu, aku sungguh sangat marah waktu itu. Aku melaknatnya, aku tidak mau mengakuinya sebagai anak, bahkan aku meminta dia mengembalikan semua biaya yang pernah aku berikan ke
“Mommy!” Qansha berlari menghambur mendekati Habiba yang tengah duduk berhadapan dengan Alka.Menantu dan mertua itu tampak kompak dengan saling mengobrol hangat.“Hua huaaaa…” Tangis Qansha tiba- tiba pecah sejadi- jadinya. Ia menubruk paha Habiba, menelungkupkan wajah ke paha itu.“Loh, ada apa ini? qansha kenapa menangis?” tanya Habiba. “Qansha, ada apa? ayo, bicaralah!”“Mama kenapa tidak bangunkan Qansha? Ini sudah siang dan Qansha akan telat ke sekolah. Huu huuuuaaa…”Mndengar hal itu, Habiba malah tersenyum. “Hei hei, sayang. Jangan menangis.”“Qansha mau sekolah. Qansha sudah telat. Qansha alpa jadinya. Nilai Qansha akan jelek.”Betapa takut Qansha kehilangan satu hari saja dalam bersekolah. Sampai- sampai nangis kejer begini.“Qansha sayang, ini hari libur. Qansha tidak bersekolah sekarang. Makanya mama tidak bangunkan Qansha,” jelas Habiba.Seketika Qansha terbengong. Tangisnya lenyap. Bibirnya yang melebar akibat tangis itu pun langsung terkatup rapat. Pi
"Opa peluk kamu ya?" tanya Alka sambil mengawasi wajah Sakha dengan haru.Sakha diam saja, tangannya menggaruk- garuk pipi. Dia cenderung tak mau peduli dengan semua yang ada di sekitarnya, termasuk orang yang bicara dengannya pun tak pernah dia mengerti. Namun berbeda halnya saat Habiba yang bicara, dia seolah memahaminya. Alka memeluk Sakha dengan erat. Yang dipeluk tak ada respon."Terima kasih, Habiba. Kau sudah ijinkan aku mengakui mereka." Alka mengusap pipi Sakha yang dia bingkai dengan kedua tangannya, dia tatap wajah cucunya itu dengan lekat dan mata berembun. Hatinya basah menyaksikan hal ini. Inilah pertama kalinya ia merasa sangat terharu.Habiba menoleh saat mendengar deheman kecil. Husein menganggukkan kepala sambil mengayunkan alis, memberikan sinyal kode supaya Habiba mendekat kepadanya. Namun sayangnya Habiba tidak menangkap kode yang dimaksud oleh Husein. Habiba hanya tersenyum saja dan kembali mengalihkan pandangan pada dua anaknya yang tengah berinteraksi dengan
Habiba terburu- buru melangkah keluar sambil menggandeng tangan Sakha dan Qansha di kiri kanannya. Mereka mengenakan pakaian bagus. Semuanya mengenakan pakaian putih- putih. Dres panjang membuat langkah Habiba cukup sulit, dipadu sepatu heels tinggi yang menambah langkah jadi semakin repot saja. “Kita mau kemana, Mom?” Qansha mengangkat wajah, menatap Habiba yang terlihat terburu- buru sekali. “Kenapa hars buru- buru?” “Kita hampir telat,” jawab Habiba. Ia paham betul Husein sangat membenci kata telat. Disiplin waktu adalah kata kunci di hidup Husein. Kalau ia sampai telat, pasti Husein akan menatapnya dengan tajam, lalu entah akan melakukan apa setelah itu. “Tapi ini bukan urusan sekolah, telat pun tidak mengapa,” sahut Qansha lagi.Mereka masuk ke mobil.Kedua bocah itu duduk berdampingan di kursi belakang.Habiba terburu- buru menyetir mobil meninggalkan rumah.Duh, kenapa ia bisa terlambat mempersiapkan semua ini? Seharusnya ia bisa pergi lebih awal. Ia pasti akan mem
Habiba tertegun menatap pemandangan menakjubkan di depan. Setelah tirai terbuka, tampak sebuah meja yang dihias sangat indah, semuanya serba putih. Ada kue berukuran jumbo dengan ketinggian satu meter di dekat meja yang warnanya juga putih. Kelopak bunga melati bertabur di lantai sekitaran meja dan kursi. Makanan tersaji di atas meja, semuanya masih hangat. Minuman pun juga sudah tersaji. Husein duduk di salah satu kursi. Ekspresinya tetap sama seperti biasanya, datar dan tatapannya seperti elang. Meski demikian, ia tetap memberikan senyum kecil yang tak mengubah ekspresi khasnya.“Selamat datang! Kalian sudah kutunggu!” ucap Husein.Qansha mengangkat wajah, menatap Habiba. Sakha sibuk dengan urusannya sendiri, memainkan kancing baju.Habiba tersipu. Ia mengira akan mendapat omelan dari suaminya gara- gara telat datang, tapi ternyata tidak. Justru sambutan baik yang ia terima. masih banyak sisi lain suaminya yang belum ia ketahui. “Kemarilah!” pinta Husein sambil me
Sejurus pandangan tertuju pada Qansha, semuanya menoleh ke suara kecil yang melengking itu.Wajah Habiba memerah. Meski ia kini di posisi membelakangi Husein, namun ia merasakan kalau ia telah menjadi pusat perhatian semua orang.Qansha melompat- lompat sambil menyentak- nyentak tangannya tak mau dibawa pergi oleh Habiba dari tempat itu. Qansha menjerit histeris dengan muka memerah penuh amarah. "Itu papa! Itu papa kan?" Qansha menunjuk- nunjuk ke arah Husein. Habiba diam di tempat, sedikit pun tak mau menoleh. "Kenapa papa bersama orang lain? Mama ajak ke sini untuk dinner sama papa, lalu kenapa sekarang mengajak Qansha pergi dari sini?" Qansha histeris dan terus memberontak. Kalau sudah begini, Habiba harus berbuat apa? Bukan salah Qansha jika dia protes seperti ini. Habiba pun kasian pada Qansha, tapi ia sama sekali tak bisa berbuat apa- apa."Padahal kita belum makan. Kenapa harus mengajak Qansha kemari jika kemudian langsung pergi begini?"Qansha terus menjerit histeris.
“Ayo, kita balik lagi ke tempat tadi. Tempatnya bagus!” ajak Sakha.Hati Habiba terenyuh mendengar permintaan Sakha. Baru kali ini Sakha dan Qansha bersemangat untuk membaur bersama dengan Husein, tapi kondisinya malah begini. Lalu bagaimana kekecewaan mereka akan teratasi kalau begini? Sebenarnya hati Habiba pun kebas menyaksikan keadaan tadi, tapi ia harus mengesampingkan rasa itu. Ia tidak boleh malah berdrama ria meratapi keadaan karena anak- anaknya membutuhkannya.“Kita akan makan di tempat lain saja. Okey?” bujuk Habiba.Sakha mengangguk, lalu ia masuk ke mobil.Tepat ketika Habiba hendak membuka pintu mobilnya, Amir berlari mendekat ke arahnya sambil berteriak memanggil, “Habiba!”Pandangan Habiba tertuju pada pria berdasi cokelat itu. Wajah Amir dari jauh sudah kelihatan tak sedap, memasang wajah memelas, membuat Habiba tahu maksud kedatangan Amir.“Sebenarnya apa yang terjadi, Biba? Kenapa kau bisa ada di tempat tadi? Apakah Cindy mengundangmu merayakan ulang tahu
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu