Habiba menggeliat. Dan terkejut saat merasakan kepalan tangannya yang merentang itu mengenai sesuatu yang keras.Bukankah benda- benda di atas kasur mayoritas empuk semua? Mulai dari bantal, guling, kasur, selimut, semuanya empuk. Lalu apa yang keras- keras ini?Habiba masih terpejam, lalu ia kembali menonjok lagi, dan ternyata benda itu masih terasa. Artinya memang ada benda keras di atas kasurnya.Segera Habiba membuka mata. Loh, kok Husein ada di kasurnya? Bagaimana bisa pria itu ada di sana? Apakah Husein tidak pulang ke rumahnya untuk menemui Cindy? Sejak tadi, kepalan tinjunyabitu menonjok- nonjok dada bidang Husein yang tertidur miring menghadap ke arahnya. Untungnya Husein tidur lelap dan tidak terganggu oleh tonjokkan Habiba.Habiba langsung duduk. Dia tatap wajah Husein yang terlelap. Wajah tampan itu tetap menawan disaat tertidur pulas begini. Mulutnya tertutup rapat, aman. Tidak akan ada pulau yang membentang di bantal. Melihat Husien yang terbaring di sana, Habiba ja
“Mbak Fara?” Habiba mengerutkan dahi, menatap wanita yang kini memegangi handle pintu.Tak kalah terkejut, Fara yang berdiri di pintu pun terbengong. Mulutnya membulat membentuk huruf O.Kenapa wanita ini bisa nyasar sampai di sini? Apa yang dia lakukan di sini? Benak Habiba bertanya- tanya dengan bingung. “Mbak Fara! Keluarlah!” titah Habiba tegas, setengah kesal. Bagaimana mungkin Fara malah terdiam di pintu saat melihatnya dalam keadaan begini? bukannya cepat ambil tindakan dengan berlalu pergi, dia malah menjadi penonton seperti kesetrum begitu?Sebelum beringsut pergi, Fara sempat menoleh ke arah kasur, menatap sosok yang terbaring dengan posisi menelungkup seperti bayi. Husein.Wajah kaget makin tampak di mukanya yang pas- pasan itu. Muka yang sayangnya makin unik dengan lipstik yang warnanya merah merona.Bleb.Pintu kembali ditutup.“Hei, aku suruh keluar, kok malah masuk?” Habiba gemas sekali melihat Fara yang kini malah berada di kamar sesaat setelah masuk dan menutup pintu
Tak mungkin Habiba mempekerjakan wanita bermulut ember seperti Fara, bisa- bisa bawaannya gedeg terus setiap hari karena harus melihat wanita bermulut nyinyir itu."Mbak Fara dengar aku kan? Silakan Mbak Fara pulang saja. Aku akan cari pembantu lain," ucap Habiba membuat Fara makin lemas."Hei, kenapa Fara diusir?" Suara bariton Husein membuat sejurus pandangan tertuju ke sumber suara.Husein melangkah memasuki dapur. Tampilannya masih sama seperti ketika ia ditinggalkan oleh Habiba, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana tidur panjang saja. Kemudian dengan entengnya tubuh gagah itu mendekat pada Habiba, lengan berotot itu bahkan mudah sekali merangkul perut Habiba dari arah belakang. Sangat erat lengan itu memeluk perut Habiba. Aroma tubuh Husein tersengat ke hidung Habiba. Dagu pria itu pun mengusap lekat di pundak Habiba dengan santai, tanpa peduli tingkahnya itu menjadi perhatian Fara."Dia pembantumu sekarang, sayang!" ucap Husein sambil menatap wajah sang istri yang sangat
"Baiklah. Kalau begitu, Mbak Fara segera selesaikan tugas. Kalau sudah selesai memasak, Mbak Fara langsung kasih tahu aku. Soalnya aku akan bawa makannya kepada Tuan Alka dan Bu Amira!” titah Habiba."Baik." Fara patuh. Sebenarnya Fara masih bingung dengan situasi di rumah itu, kenapa Alka dan Amira bisa berada di rumah Habiba dalam keadaan sakit parah semua? Kenapa Husein juga tinggal di sana bersama Habiba, bukannya tinggal di rumah Husein yg diketahui berada di alamat lain? Bagaimana bisa keadaan Habiba berbalik sukses seratus delapan puluh derajat? Semua pertanyaan itu menyumpal benaknya. Awalnya Amir menghubunginya dan mengatakan bahwa Husein menawarkan pekerjaan dengan gaji besar, tanpa memberitahu bahwa calon majikan adalah Habiba. Dan Fara menerima pekerjaan itu. Ternyata majikannya adalah sosok yang dulu pernah sama- sama bekerja di rumah Husein. Ini membingungkan sekali.Tidak butuh waktu lama bagi Fara menyelesaikan tugasnya memasak untuk majikan, dia sudah sangat hafal
"Tidak ada hal apa pun yang lebih baik dari memuliakan orang yang jahat. Kau memilikinya. Entahlah, aku tidak tahu harus bicara apa lagi." Alka menatap lekat menantunya, haru.Habiba tersenyum lagi sambil mengusap pipinya yang sejak tadi dilelehi air mata. "Bolehkah aku mencium tanganmu?" tanya Habiba."Tidak ada yang tidak aku ijinkan untukmu."Habiba mengambil tangan kanan Alka, lalu menyalami dan mencium punggung tangannya penuh takzim. Beberapa detik berlalu, Habiba melepas tangan itu. "Jika setiap berlebaran orang- orang bersilaturahmi dan mencium tangan mertua, aku tidak pernah melakukan ini. Ini adalah suatu kebanggaan bagiku," ungkap Habiba dengan wajah berbinar.Alka menghela napas. Ia sudah mulai terlihat lebih tenang. Tak ada lagi tangis di matanya. "Saat Husein mengambil keputusan untuk mempertahankanmu, aku sungguh sangat marah waktu itu. Aku melaknatnya, aku tidak mau mengakuinya sebagai anak, bahkan aku meminta dia mengembalikan semua biaya yang pernah aku berikan ke
“Mommy!” Qansha berlari menghambur mendekati Habiba yang tengah duduk berhadapan dengan Alka.Menantu dan mertua itu tampak kompak dengan saling mengobrol hangat.“Hua huaaaa…” Tangis Qansha tiba- tiba pecah sejadi- jadinya. Ia menubruk paha Habiba, menelungkupkan wajah ke paha itu.“Loh, ada apa ini? qansha kenapa menangis?” tanya Habiba. “Qansha, ada apa? ayo, bicaralah!”“Mama kenapa tidak bangunkan Qansha? Ini sudah siang dan Qansha akan telat ke sekolah. Huu huuuuaaa…”Mndengar hal itu, Habiba malah tersenyum. “Hei hei, sayang. Jangan menangis.”“Qansha mau sekolah. Qansha sudah telat. Qansha alpa jadinya. Nilai Qansha akan jelek.”Betapa takut Qansha kehilangan satu hari saja dalam bersekolah. Sampai- sampai nangis kejer begini.“Qansha sayang, ini hari libur. Qansha tidak bersekolah sekarang. Makanya mama tidak bangunkan Qansha,” jelas Habiba.Seketika Qansha terbengong. Tangisnya lenyap. Bibirnya yang melebar akibat tangis itu pun langsung terkatup rapat. Pi
"Opa peluk kamu ya?" tanya Alka sambil mengawasi wajah Sakha dengan haru.Sakha diam saja, tangannya menggaruk- garuk pipi. Dia cenderung tak mau peduli dengan semua yang ada di sekitarnya, termasuk orang yang bicara dengannya pun tak pernah dia mengerti. Namun berbeda halnya saat Habiba yang bicara, dia seolah memahaminya. Alka memeluk Sakha dengan erat. Yang dipeluk tak ada respon."Terima kasih, Habiba. Kau sudah ijinkan aku mengakui mereka." Alka mengusap pipi Sakha yang dia bingkai dengan kedua tangannya, dia tatap wajah cucunya itu dengan lekat dan mata berembun. Hatinya basah menyaksikan hal ini. Inilah pertama kalinya ia merasa sangat terharu.Habiba menoleh saat mendengar deheman kecil. Husein menganggukkan kepala sambil mengayunkan alis, memberikan sinyal kode supaya Habiba mendekat kepadanya. Namun sayangnya Habiba tidak menangkap kode yang dimaksud oleh Husein. Habiba hanya tersenyum saja dan kembali mengalihkan pandangan pada dua anaknya yang tengah berinteraksi dengan
Habiba terburu- buru melangkah keluar sambil menggandeng tangan Sakha dan Qansha di kiri kanannya. Mereka mengenakan pakaian bagus. Semuanya mengenakan pakaian putih- putih. Dres panjang membuat langkah Habiba cukup sulit, dipadu sepatu heels tinggi yang menambah langkah jadi semakin repot saja. “Kita mau kemana, Mom?” Qansha mengangkat wajah, menatap Habiba yang terlihat terburu- buru sekali. “Kenapa hars buru- buru?” “Kita hampir telat,” jawab Habiba. Ia paham betul Husein sangat membenci kata telat. Disiplin waktu adalah kata kunci di hidup Husein. Kalau ia sampai telat, pasti Husein akan menatapnya dengan tajam, lalu entah akan melakukan apa setelah itu. “Tapi ini bukan urusan sekolah, telat pun tidak mengapa,” sahut Qansha lagi.Mereka masuk ke mobil.Kedua bocah itu duduk berdampingan di kursi belakang.Habiba terburu- buru menyetir mobil meninggalkan rumah.Duh, kenapa ia bisa terlambat mempersiapkan semua ini? Seharusnya ia bisa pergi lebih awal. Ia pasti akan mem