Habiba tertegun menatap pemandangan menakjubkan di depan. Setelah tirai terbuka, tampak sebuah meja yang dihias sangat indah, semuanya serba putih. Ada kue berukuran jumbo dengan ketinggian satu meter di dekat meja yang warnanya juga putih. Kelopak bunga melati bertabur di lantai sekitaran meja dan kursi. Makanan tersaji di atas meja, semuanya masih hangat. Minuman pun juga sudah tersaji. Husein duduk di salah satu kursi. Ekspresinya tetap sama seperti biasanya, datar dan tatapannya seperti elang. Meski demikian, ia tetap memberikan senyum kecil yang tak mengubah ekspresi khasnya.“Selamat datang! Kalian sudah kutunggu!” ucap Husein.Qansha mengangkat wajah, menatap Habiba. Sakha sibuk dengan urusannya sendiri, memainkan kancing baju.Habiba tersipu. Ia mengira akan mendapat omelan dari suaminya gara- gara telat datang, tapi ternyata tidak. Justru sambutan baik yang ia terima. masih banyak sisi lain suaminya yang belum ia ketahui. “Kemarilah!” pinta Husein sambil me
Sejurus pandangan tertuju pada Qansha, semuanya menoleh ke suara kecil yang melengking itu.Wajah Habiba memerah. Meski ia kini di posisi membelakangi Husein, namun ia merasakan kalau ia telah menjadi pusat perhatian semua orang.Qansha melompat- lompat sambil menyentak- nyentak tangannya tak mau dibawa pergi oleh Habiba dari tempat itu. Qansha menjerit histeris dengan muka memerah penuh amarah. "Itu papa! Itu papa kan?" Qansha menunjuk- nunjuk ke arah Husein. Habiba diam di tempat, sedikit pun tak mau menoleh. "Kenapa papa bersama orang lain? Mama ajak ke sini untuk dinner sama papa, lalu kenapa sekarang mengajak Qansha pergi dari sini?" Qansha histeris dan terus memberontak. Kalau sudah begini, Habiba harus berbuat apa? Bukan salah Qansha jika dia protes seperti ini. Habiba pun kasian pada Qansha, tapi ia sama sekali tak bisa berbuat apa- apa."Padahal kita belum makan. Kenapa harus mengajak Qansha kemari jika kemudian langsung pergi begini?"Qansha terus menjerit histeris.
“Ayo, kita balik lagi ke tempat tadi. Tempatnya bagus!” ajak Sakha.Hati Habiba terenyuh mendengar permintaan Sakha. Baru kali ini Sakha dan Qansha bersemangat untuk membaur bersama dengan Husein, tapi kondisinya malah begini. Lalu bagaimana kekecewaan mereka akan teratasi kalau begini? Sebenarnya hati Habiba pun kebas menyaksikan keadaan tadi, tapi ia harus mengesampingkan rasa itu. Ia tidak boleh malah berdrama ria meratapi keadaan karena anak- anaknya membutuhkannya.“Kita akan makan di tempat lain saja. Okey?” bujuk Habiba.Sakha mengangguk, lalu ia masuk ke mobil.Tepat ketika Habiba hendak membuka pintu mobilnya, Amir berlari mendekat ke arahnya sambil berteriak memanggil, “Habiba!”Pandangan Habiba tertuju pada pria berdasi cokelat itu. Wajah Amir dari jauh sudah kelihatan tak sedap, memasang wajah memelas, membuat Habiba tahu maksud kedatangan Amir.“Sebenarnya apa yang terjadi, Biba? Kenapa kau bisa ada di tempat tadi? Apakah Cindy mengundangmu merayakan ulang tahu
“Cukup! Tidak ada party apa pun!” Husein berseru lantang.Inilah yang terjadi di hotel Boliv, tempat dimana Husein tengah mengadakan acara spesial. Sejurus pandangan tertuju ke arah Husein. Eskpresi Husein yang tajam dan dipenuhi kilat amarah membuat semuanya heran. Gegap gempita dan keriuhan yang sejak tadi membahana, seketika membisu. Sepi. Nyaris seperti kuburan.Semua bertanya- tanya. Ada apa dengan Husein? Kenapa mendadak Husein terlihat murka? Wajah pria itu merah padam.Semua saling berbisik, mempertanyakan apa yang telah terjadi."Husein, ada apa denganmu? Ini tidak lucu!" Salah seorang berkemeja cokelat menyeletuk sambil mencuil makanan hangat yang tersaji dan memasukkannya ke mulut.Seorang yang lain menyenggol lengan pria berkemeja cokelat sambil berbisik, "Apa yang kau katakan? Husein tidak sedang bercanda. Dia benar- benar sedang marah sekarang. Lihatlah mukanya sudah seperti orang akan menelan mangsa."Seketika pria berkemeja cokelat berjalan mundur dan menyembun
“Aku tidak ingin kamu minta maaf kepadaku, minta maaflah kepada anak- anak,” kata Habiba dengan malas. “Aku sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.”“Aku tahu kau marah.”“Tidak. Aku tidak marah.”“Tapi sedih dan kecewa.”“Aku sudah tahu resiko istri yang dirahasiakan adalah seperti ini.” Desahan kecil keluar dari mulut Habiba.Husein menempelkan telapak tangannya ke pipi kanan Habiba, berusaha memalingkan wajah itu supaya menghadap ke arahnya, namun gagal. Wajah cantik itu kembali berpaling meski sempat menoleh ke arahnya dengan mata yang menatap ke bawah.“Hei, kau terlihat sangat kesal kepadaku.” Husein berbisik. Kembali mengecup leher Habiba. Meninggalkan rasa yang meremang di kulit wanita itu.Husein menyentuh pinggang istrinya dan memutar tubuh wanita itu supaya menghadap kepadanya.Punggung bawah Habiba menyandar di pinggiran meja, dia menghadap suaminya dengan wajah malas. Pandangan matanya ke arah bawah.Lengan kokoh Husein menapak di meja, membentuk benteng di sisi
Oh Tuhan, tak terbayang oleh Habiba bagaimana seorang Husein Brata Raksa yang ksehariannya duduk di balik meja dan kursi kebesarannya dengan gaya style ala pejabat, berdasi, sifatnya arogan, kelihatan kejam, namun bersedia menginjak dapur untuk memasak.Akhirnya Habiba tersenyum juga, ia tak bisa menahan senyum itu. “Aku sudah kehilangan momen penting dalam hidup ini,” celetuk Habiba datar.“Momen penting?” Husein mengernyit tajam. Alisnya yang tebal sampai hampir bertaut.“Jika aku melihatmu sedang memasak, pasti aku sudah mengambil hp dan mengabadikannya ke rekaman.”Senyum Husein tercetak sempurna. Ia mengusap ubun- ubun Habiba sambil tertawa.Manik mata Habiba berputar dan mengarah ke tempat lain saat mendapati tatapan mata Husein yang dalam. Ah, sial sekali, kenapa Husein menatapnya seperti itu lagi? Memang mata Habiba yang menjadi fokus tatapan Husein, tapi justru hatinya yang rasanya seperti tersengat.“Ayo kita makan!” ajak Husein memfokuskan pandangannya pada wajah is
Pagi itu, setelah sarapan bersama dengan Husein, Habiba langsung menuju ke kamar Sakha untuk membangunkan, memandikan dan memasang baju putranya. Tak lupa menyisir rambut putranya itu serta menyiapkan tas sekolah yang langsung digantungkan di punggung si sulung.Ketika Habiba sibuk mengurus Sakha, Husein berinisiatif ke kamar Qansha. Inilah saatnya ia membujuk Qansha setelah tadi membujuk mamanya, dan berhasil.Langkah Husein terhenti tepat di pinggir kasur. Menatap bungsunya yang tertidur lelap dengan posisi jumpalitan. Bantal jauh sekali dengan kepala. Justru bantal agak dekat dengan kaki. Tak sedikit pun selimut menyentuh badan Qansha, malah menggumpal di pinggir dan hampir terjatuh, sebagian menjuntai ke bawah. Tubuh Qansha menelungkup, kaki tak beraturan, satu ditekuk dan satunya memanjang selonjor. Celana yang seharusnya selutut, tersingkap sampai ke pangkal paha. Husein duduk di pinggir kasur, menatap wajah tembem Qansha lekat. Anak ini berbeda dari anak lain seusianya. Di
Husein tertegun. Ia harus berkata apa sekarang? Menjelaskan hal begini ke anak kecil pasti tak akan bisa dimengerti olehnya."Mungkin mama menyeretku pulang dan membatalkan pesta bersamamu karena melihatmu bersama dengan orang yang menciummu itu," ketus Qansha lagi.Loh? Kok Qansha bisa memahami kejadian yang seharusnya belum bisa dia pahami di umurnya yang sekeceil ini? Ah, sayangnya Husein telat memahami satu hal, bahwa putrinya begitu jeli dan mudah saja baginya memahami kejadian yang ada di sekitarnya. "Kamu bukan papaku. Kalau kamu papaku, tentu kamu bersama mama, bukan bersama tante Cindy," imbuh Qansha lagi. “Sejak dulu, kamu tinggal bersama dengan tante Cindy kan? berarti kamu adalah keluarganya tante Cindy, bukan keluargaku.”"Tidak begitu kesimpulannya, Qansha." Husein jongkok demi bisa menghadap pada Qansha dan menatap sejajar mata bulat bak Barbie itu. "Aku tetap papamu.""Tidak. Kamu tidak seperti papa yang lainnya. Kamu berbeda.”Husein yang kelihatannya arogan, bahkan