Sakha diam saja berada dalam pelukan Husein. Kepalanya menyandar di dada bidang papanya.Pelukan Husein hangat sekali. Elusan kecil sesekali diusap di punggung Sakha.“Terima kasih! Terima kasih sudah memanggilku papa,” lirih Husein bangga. Ia melepas pelukan, menjauhkan jarak wajah supaya bisa bertukar pandang.Tidak ada respon dari Sakha. Namun yang jelas anak itu sudah mulai nyaman berdekatan dengan Husein. Artinya, usaha Husein sudah maju selangkah.Mendapat sambutan baik dari salah satu anaknya saja, Husein sudah merasa bahagia sekali.“Aku pergi dulu. Jaga diri! Dan jangan lupa tingkatkan prestasi!” Husein berpamitan pada istrinya. Ia memajukan kepala ke arah Habiba dan mengecup singkat kening istrinya.Bibir Husein yang mendarat singkat di kening, membuat Habiba tersipu. Ternyata begini rasanya dikecup suami. Menggelora dan getarannya sampai ke jantung.“Cepaaaat! Jadi ke sekolah apa tidaaaaak?” Jeritan Qansha terdengar cukup keras di luar sana.Husein bergegas melan
Pagi itu, setelah mandi, Husein memakai kemeja dan jas yang baru saja dia ambil dari lemari.Cindy yang tengah menyisir rambut di depan cermin itu pun menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan sisir ke meja sembari menoleh ke arah baju yang sudah dia sediakan di atas kasur. Baju itu teronggok begitu saja tanpa disentuh oleh Husein. Pria itu malah memakai baju lain."Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu," pungkas Cindy menatap sedih pada pakaian yang tak tersentuh."Aku sedang ada meeting dan rasanya tidak pantas memakai kemeja warna maroon. Itu buruk!" sahut Husein. Meskipun Husein tidak tahu dimana letak buruknya pakaian itu, namun ia mengatakannya tanpa alasan. Intinya, ia tidak mau menyenangkan hati Cindy. Entahlah, apakah ia salah besar dalam hal ini. Tapi yang jelas ia sedang merasa kesal pada Cindy. Husein langsung keluar setelah selesai merapikan diri.Cindy mengikuti, menjajari langkah Husein yang secepat kilat. Ia kewalahan mengimbangi, namun tetap menjajarinya.Mereka menuru
'Ibu dalam masalah. Temui aku, plis!'.Demikian pesan singkat yang dikirim oleh Habiba, membuat Husein mengernyit kaget dan memutar arah haluan mobilnya.Setelah memacu mobilnya cukup kencang, Husein kini telah tiba di rumah Habiba. Ia melihat istrinya itu keluar rumah dengan panik. Tas menggayut di pundak kiri. Untung saja perjalanan menuju ke rumah Habiba tidak jauh sejak ia meninggalkan rumah, sehingga tak butuh waktu lama untuknya sampai di rumah istrinya.“Habiba, ada apa?” Husein langsung meraih pundak Habiba, menangkap tubuh mungil yang berjalan terburu- buru.Melihat kedatangan Husein, Habiba tampak lebih lega. “Mas Tomy mengabariku kalau ibu kenapa- napa. Dan aku belum sempat ke sana.”“Maksudmu? Ibu sakit?” tanya Husein.Tiba- tiba tubuh Habiba bergetar melihat kedatangan Husein. Tangisnya pecah. Tak tahu mengapa, ia merasa seperti kedatangan sosok yang memanjakannya hingga hatinya terasa sensitive setiap kali ada Husein. Sisi manjanya muncul begitu saja. Apakah
Bantal sofa terjatuh ke lantai. Hiasan yang seharusnya ada di meja juga berserakan ke lantai. Pecahan benda- benda hiasan itu memenuhi lantai. Vas bunga di meja tergeletak, tidak di posisi berdiri lagi.Husein mengikuti kemana langkah istrinya. Hingga sampai memasuki ruangan lain.Ada percikan darah, yang sepertinya muncrat dan mengenai lantai. Kemudian, di dinding ada darah yang terseret. Seperti tangan yang terkena darah dan kemudian terseret hingga membentuk baret di dinding berwarna merah.Darah apa ini? Kenapa jadi sedramatis ini?Apa yang sebenarnya telah terjadi?Tubuh Habiba terasa lemas sekali. Hingga saat tulangnya seperti melebur, tubuhnya terhuyung mundur. Husein dengan sigap menangkap tubuh Habiba, lengan kekarnya menjadi sandaran punggung wanita itu, lalu mendekap erat. Pria itu benar- benar menjadi sandaran bagi Habiba.“Darah apa ini? Darah siapa? Apa yang sudah terjadi?” Habiba mengusap rambutnya frustasi. Bayangan buruk menerjang tempurung kepalanya.
“Mas Tomy dimana? Aku di rumahmu dan kamu tidak ada.” Habiba hampir menangis, suaranya gemetaran. “Apa yang terjadi dengan ibu?”Tut tut… Sambungan telepon terputus.“Ya Tuhan. Apa yang telah terjadi ini?” Habiba makin panik.Di tengah kepanikan Habiba, Husein mendapat telepon Dari rumah sakit. Ia berbicara dengan serius di telepon.Tak lama kemudian, Husein menyudahi pembicaraan. “Habiba, di rumah sakit sedang urgent. Darurat sekali. Kau dibutuhkan,” ungkap Husein.Habiba menggeleng. “Ibuku bagaimana?”“Kau punya tanggung jawab di rumah sakit. Itu juga penting. Ini menyangkut nyawa manusia. Maka kerjakan tanggung jawabmu!” tegas Husein.“Aku tidak bisa fokus bekerja jika aku belum menemukan ibu.”Mendengar jawaban itu, ekspresi Husein berubah. Tatapan matanya jadi tajam. “Kau harus professional kerja. Tanggung jawabmu harus dikerjakan. Bedakan urusan pribadi dan urusan pekerjaan, jangan dicampur aduk.”“Tapi ini ibuku.” Habiba membantah panik.“Aku tahu itu ibumu.”
Tanpa pikir panjang, Habiba berlari masuk ke mobil. Ia menyetir mobil secepatnya, tujuannya adalah rumah sakit.Fix, ia harus mendengarkan saran suaminya, yang harus mengerjakan tugasnya sebagai dokter. Ini tentang kemanusiaan dan tanggung jawab kerja. Ia tidak boleh egois.Mengenai Fatona, ia yakin Tomy akan bisa mengatasi. Toh ia juga tak bisa melakukan apa- apa sekarang. Tanpa sadar air matanya menetes. Sedih dengan situasi yang terjadi. Terutama melihat Husein yang berubah dingin dan kecewa. Ya Tuhan, kenapa Habiba bisa mengucapkan kata- kata seperti tadi? Husein pasti terpukul atas perkataannya itu. Habiba menyesal sekali.Di tengah kondisinya yang merasa cemas akan kondisi sang ibu, ia malah dihadapkan pada situasi seperti ini.Habiba mengambil ponsel dan mengetik pesan sambil menyetir. .'Maaf. Aku memang bermaksud seburuk itu. Aku turuti kamu, aku ke rumah sakit sekarang.'.Habiba membaca ulang pesan yang barusan dia ketik. Loh kok kalimatnya malah begitu? Ah ya ampun, ia
Seketika tatapan Tomy langsung berubah gusar. "Tega kamu menuduh Mas sekejam itu. Apakah mungkin Mas ini kelihatan tega melakukan itu ke ibu?"Habiba memegang punggung tangan kakaknya. "Maaf, Mas. Aku telah menyinggungmu. Aku cemas pada kondisi ibu sampai tidak bisa berpikir normal. Isi kepalaku cukup rumit. Bahkan akhirnya sanggup mempertanyakan hal seperti tadi. Maaf."Tomy menatap Habiba teduh. "Tidak apa- apa. Kau tidak salah. Kau hanya sedang mencemaskan ibu saja. Aku belum sanggup bercerita saat ini.""Tapi aku ingin tahu. Aku cemas, Mas. Apa yang sebenarnya telah terjadi sama ibu? Jangan biarkan pemikiran liar di kepalaku mengelabuiku.""Kau janji tidak marah?""Marah padamu?""Entahlah. Pada siapa saja yang terlibat.""Siapa saja? Jadi ada banyak orang terlibat? Begitukah?" Habiba menelan saliva gusar.Tomy mengusap wajahnya, terlihat gelisah. Kemudian berkata, "Ini semua karena kesalah pahaman.""Jelaskan padaku, kesalahpahaman apa?"Tomy menatap Habiba lekat. Kemudian ia me
"Munafik katamu? Aku yang selama ini berharap kau bisa menikahi adikku pun masih bisa kau tuduh dengan tuduhan sekeji itu," cecar Tomy."Lalu apa namanya jika bukan munafik? Di depanku, kau seolah memihak aku supaya menikahi Habiba. Tapi di belakangku, kau malah sebaliknya, bahkan setelah menikahkan mereka, kau pun masih menghasut ibumu.""Hentikan omong kosongmu itu. Tidakkah kau bisa lebih berlapang dada menghadapi ini? Kita tidak bisa berbuat apa- apa. Habiba lah penentunya." Tomy mendorong dada Irzan."Kau yang seharusnya berhenti bicara!""Sudah! Cukup! Jangan bertengkar!" seru Fatona, berusaha meredakan emosi kedua pemuda itu. Namun, tak ada yang mau mengalah. Keduanya bersitegang."Aku menganggapmu teman, tapi ini sama dengan pengkhianatan," sambung Irzan masih ingin meluapkan kekesalannya."Ya ampun, kau masih juga tidak paham," sahut Tomy."Sudah! Jangan menasihatiku dengan bahasa gilamu lagi!" Irzan mencengkeram kerah baju Tomy."Apa- apaan ini?" Tomy geram mendapat perl