Tanpa pikir panjang, Habiba berlari masuk ke mobil. Ia menyetir mobil secepatnya, tujuannya adalah rumah sakit.Fix, ia harus mendengarkan saran suaminya, yang harus mengerjakan tugasnya sebagai dokter. Ini tentang kemanusiaan dan tanggung jawab kerja. Ia tidak boleh egois.Mengenai Fatona, ia yakin Tomy akan bisa mengatasi. Toh ia juga tak bisa melakukan apa- apa sekarang. Tanpa sadar air matanya menetes. Sedih dengan situasi yang terjadi. Terutama melihat Husein yang berubah dingin dan kecewa. Ya Tuhan, kenapa Habiba bisa mengucapkan kata- kata seperti tadi? Husein pasti terpukul atas perkataannya itu. Habiba menyesal sekali.Di tengah kondisinya yang merasa cemas akan kondisi sang ibu, ia malah dihadapkan pada situasi seperti ini.Habiba mengambil ponsel dan mengetik pesan sambil menyetir. .'Maaf. Aku memang bermaksud seburuk itu. Aku turuti kamu, aku ke rumah sakit sekarang.'.Habiba membaca ulang pesan yang barusan dia ketik. Loh kok kalimatnya malah begitu? Ah ya ampun, ia
Seketika tatapan Tomy langsung berubah gusar. "Tega kamu menuduh Mas sekejam itu. Apakah mungkin Mas ini kelihatan tega melakukan itu ke ibu?"Habiba memegang punggung tangan kakaknya. "Maaf, Mas. Aku telah menyinggungmu. Aku cemas pada kondisi ibu sampai tidak bisa berpikir normal. Isi kepalaku cukup rumit. Bahkan akhirnya sanggup mempertanyakan hal seperti tadi. Maaf."Tomy menatap Habiba teduh. "Tidak apa- apa. Kau tidak salah. Kau hanya sedang mencemaskan ibu saja. Aku belum sanggup bercerita saat ini.""Tapi aku ingin tahu. Aku cemas, Mas. Apa yang sebenarnya telah terjadi sama ibu? Jangan biarkan pemikiran liar di kepalaku mengelabuiku.""Kau janji tidak marah?""Marah padamu?""Entahlah. Pada siapa saja yang terlibat.""Siapa saja? Jadi ada banyak orang terlibat? Begitukah?" Habiba menelan saliva gusar.Tomy mengusap wajahnya, terlihat gelisah. Kemudian berkata, "Ini semua karena kesalah pahaman.""Jelaskan padaku, kesalahpahaman apa?"Tomy menatap Habiba lekat. Kemudian ia me
"Munafik katamu? Aku yang selama ini berharap kau bisa menikahi adikku pun masih bisa kau tuduh dengan tuduhan sekeji itu," cecar Tomy."Lalu apa namanya jika bukan munafik? Di depanku, kau seolah memihak aku supaya menikahi Habiba. Tapi di belakangku, kau malah sebaliknya, bahkan setelah menikahkan mereka, kau pun masih menghasut ibumu.""Hentikan omong kosongmu itu. Tidakkah kau bisa lebih berlapang dada menghadapi ini? Kita tidak bisa berbuat apa- apa. Habiba lah penentunya." Tomy mendorong dada Irzan."Kau yang seharusnya berhenti bicara!""Sudah! Cukup! Jangan bertengkar!" seru Fatona, berusaha meredakan emosi kedua pemuda itu. Namun, tak ada yang mau mengalah. Keduanya bersitegang."Aku menganggapmu teman, tapi ini sama dengan pengkhianatan," sambung Irzan masih ingin meluapkan kekesalannya."Ya ampun, kau masih juga tidak paham," sahut Tomy."Sudah! Jangan menasihatiku dengan bahasa gilamu lagi!" Irzan mencengkeram kerah baju Tomy."Apa- apaan ini?" Tomy geram mendapat perl
Habiba langsung menarik tangannya dari pegangan Irzan. Lirikan mata Husein hanya sepersekian detik ke arahnya, dan kini pria itu sudah berlalu pergi begitu saja.Posisi Tomy yang duduk bersisian dengan Habiba, cukup jelas melihat Husein yang melintas di depannya.Sedangkan Irzan yang jongkok menghadap Habiba, tentu saja membelakangi Husein. Ia sama sekali tak tahu kalau suaminya Habiba melintas di belakangnya.“Maaf atas semua kekacauan ini,” lirih Irzan. "Aku akan bertanggung jawab atas keadaan Bu Fatona," ungkap Irzan. "Masalah biaya dan lainnya, aku akan pertanggung jawabkan.""Tidak. Biar aku yang akan mengatasi hal itu," sahut Habiba. Ia menyadari bahwa Irzan dan Tomy tidak bermaksud menyakiti Fatona, semua terjadi tanpa disengaja. Maka Habiba tidak akan menuntut apa pun. Selain itu, Irzan sudah mengakui kesalahannya dan bahkan menyesalinya. Secara finansial, kehidupan Irzan tidaklah seberuntung Habiba dan Tomy. Maka Habiba tidak akan memberatkan Irzan dalam hal ini. Habiba
Demikian Habiba yang tak kalah kaget. Degup jantungnya langsung berlarian. Waduh, mereka kepergok sedang beginian di tempat sembunyi.Wajah putih Husein mendadak memerah menatap sosok yang berdiri di ambang pintu itu. tak lain Tuan Asahi, menyusul beberapa orang lainnya yang merupakan keluarga pasien.“Bagaimana ini? Coba jelaskan kepada saya kenapa Anda berciuman dengan Nyonya Habiba?” Tuan Asahi menatap tajam. “Saya di sini termasuk salah satu orang yang menghargai pernikahan. Anda malah main wanita di belakang istri.”Tuan Asahi kesal, tempo hari ia dilarang oleh Husein melamar Habiba di tempat umum, sekarang malah Husein sendiri yang mengembat Habiba. Dugaannya, Husein melarang Tuan Asahi dekat dengan Habiba karena Husein memiliki hati untuk Habiba. Oleh sebab itu Husein berushaa keras menjauhkan Tuan Asahi dari Habiba.Bahkan membuat Habiba yang makan gaji dari Husein terpaksa harus patuh pada owner karena tuntutan kerja. “Tidak ada ciuman!” jelas Husein.“Saya jelas
“Aku baru tahu kalau kamu itu ternyata terkenal. Sampai- sampai mereka semua mengenali wajahmu," ucap Habiba tersenyum. "Bahkan mereka tahu bahwa kamu itu adalah Tuan Husein, pemilik rumah sakit ini. apa seterkenal itu seorang owner di rumah sakit? Bukankah mereka itu hanyalah orang yang sekali- kali saja berada di rumah sakit hanya saat keluarga mereka sedang sakit saja? lalu bagaimana bisa mereka mengenalimu sedekat ini?”Pertanyaan cerdas!Husein mulai memikirkan perkataan Habiba.“Ya, aku juga berpikir begitu,” sahut Husein. “Tapi… Bisa jadi mereka mengenalku karena aku sering melakukan kunjungan di rumah sakit ini.”“Meski begitu, mereka bukan orang- orang yang menetap di rumah sakit ini. Mereka silih berganti dan tidak semuanya mengenalimu.”“Ini jaman digital. Mudah saja informasi itu menyebar.”“Kalau begitu, kita berpisah saja. kamu keluar di lantai dua. Biar aku turun ke lantai satu,” usul Habiba.Ekspresi wajah Husein langsung berubah. Pandangan matanya pun tajam
"Mas, aku buatkan kopi panas untukmu!" Inez meletakkan kopi ke meja, tepat di hadapan Husein yang baru saja pulang dan kini duduk di sofa dengan tubuh setengah berbaring.Mata Husein yang terpejam itu tampak berat dan masih dalam keadaan tertutup saat ia menggumam, "Hm.""Capek?" tanya Inez."Lebih dari itu. Aku besok harus melakukan banyak hal untuk satu urusan.""Kalau capek, Mas Husein bisa kasih kerjaannya ke Amir supaya dia yang handle kerjaan di luar kota.""Kau benar. Aku akan andalkan Amir. Dia selalu bisa diandalkan." Husein menegakkan punggung, mengambil gelas dan meneguknya sedikit demi sedikit. Ia berhenti meminum dan dahinya bertaut tajam sambil menatap kopi. "Rasanya aneh.""Kenapa?""Seperti... Entahlah. Tidak enak."Muka Inez langsung memucat disebut kopi buatannya tidak enak."Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa kopi buatanmu tidak sedap, tapi sepertinya memang kopinya yang tidak enak. Kau pakai kopi apa?""Tidak tahu merknya apa. Tapi yang jelas bawaan Kak Cindy."H
"Halo, Bro!" sahut Amir di seberang."Hei, kau sedang bicara dengan siapa? Bra bro bra bro!" geram Husein sambil mencengkeram erat ponsel dalam genggaman tangannya. Begitu saja rasanya sudah seperti mencengkeram mukanya Amir. Asistennya itu memang suka khilaf."Eh, maaf. Kupikir tadi si Bejo yang menelepon. Aku kurang fokus melihat nama di layar," sahut Amir. "Ada tugas apa? Kau meneleponku pasti ada tugas bukan?""Atur jadwal supaya aku bisa bertemu dengan Tuan Asahi. Sekarang. No debat!""Baik. Gampang. Akan aku cari tempat yang nyaman untuk kalian saling tinju.""Sepertinya kau harus segera kawin supaya otakmu yang eror itu tidak terus- terusan mencederai jantung orang lain.""He hee....""Segera hubungi aku setelah semua selesai." Husein melempar ponselnya ke kasur. Ia menghambur ke kamar mandi untuk menjalankan ritual mandi.Kali ini Husein tidak memakai shower. Ia mandi di bath tub dengan busa, berendam beberapa menit supaya tubuh terasa rileks. Kletek.Tiba- tiba handle pintu k