“Aku baru tahu kalau kamu itu ternyata terkenal. Sampai- sampai mereka semua mengenali wajahmu," ucap Habiba tersenyum. "Bahkan mereka tahu bahwa kamu itu adalah Tuan Husein, pemilik rumah sakit ini. apa seterkenal itu seorang owner di rumah sakit? Bukankah mereka itu hanyalah orang yang sekali- kali saja berada di rumah sakit hanya saat keluarga mereka sedang sakit saja? lalu bagaimana bisa mereka mengenalimu sedekat ini?”Pertanyaan cerdas!Husein mulai memikirkan perkataan Habiba.“Ya, aku juga berpikir begitu,” sahut Husein. “Tapi… Bisa jadi mereka mengenalku karena aku sering melakukan kunjungan di rumah sakit ini.”“Meski begitu, mereka bukan orang- orang yang menetap di rumah sakit ini. Mereka silih berganti dan tidak semuanya mengenalimu.”“Ini jaman digital. Mudah saja informasi itu menyebar.”“Kalau begitu, kita berpisah saja. kamu keluar di lantai dua. Biar aku turun ke lantai satu,” usul Habiba.Ekspresi wajah Husein langsung berubah. Pandangan matanya pun tajam
"Mas, aku buatkan kopi panas untukmu!" Inez meletakkan kopi ke meja, tepat di hadapan Husein yang baru saja pulang dan kini duduk di sofa dengan tubuh setengah berbaring.Mata Husein yang terpejam itu tampak berat dan masih dalam keadaan tertutup saat ia menggumam, "Hm.""Capek?" tanya Inez."Lebih dari itu. Aku besok harus melakukan banyak hal untuk satu urusan.""Kalau capek, Mas Husein bisa kasih kerjaannya ke Amir supaya dia yang handle kerjaan di luar kota.""Kau benar. Aku akan andalkan Amir. Dia selalu bisa diandalkan." Husein menegakkan punggung, mengambil gelas dan meneguknya sedikit demi sedikit. Ia berhenti meminum dan dahinya bertaut tajam sambil menatap kopi. "Rasanya aneh.""Kenapa?""Seperti... Entahlah. Tidak enak."Muka Inez langsung memucat disebut kopi buatannya tidak enak."Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa kopi buatanmu tidak sedap, tapi sepertinya memang kopinya yang tidak enak. Kau pakai kopi apa?""Tidak tahu merknya apa. Tapi yang jelas bawaan Kak Cindy."H
"Halo, Bro!" sahut Amir di seberang."Hei, kau sedang bicara dengan siapa? Bra bro bra bro!" geram Husein sambil mencengkeram erat ponsel dalam genggaman tangannya. Begitu saja rasanya sudah seperti mencengkeram mukanya Amir. Asistennya itu memang suka khilaf."Eh, maaf. Kupikir tadi si Bejo yang menelepon. Aku kurang fokus melihat nama di layar," sahut Amir. "Ada tugas apa? Kau meneleponku pasti ada tugas bukan?""Atur jadwal supaya aku bisa bertemu dengan Tuan Asahi. Sekarang. No debat!""Baik. Gampang. Akan aku cari tempat yang nyaman untuk kalian saling tinju.""Sepertinya kau harus segera kawin supaya otakmu yang eror itu tidak terus- terusan mencederai jantung orang lain.""He hee....""Segera hubungi aku setelah semua selesai." Husein melempar ponselnya ke kasur. Ia menghambur ke kamar mandi untuk menjalankan ritual mandi.Kali ini Husein tidak memakai shower. Ia mandi di bath tub dengan busa, berendam beberapa menit supaya tubuh terasa rileks. Kletek.Tiba- tiba handle pintu k
“Ini bukan masalah pelopor taik kucing, tapi ini terjadi karena Anda merasa tersingkir atas hubunganku dengan Habiba mengingat Anda telah ditolak olehnya karena saya.”Tuan Asahi terdiam membenarkan kata- kata Husein. Dia merasa marah melihat wanita yang sempat dia lamar itu menolaknya karena ternyata memiliki hubungan khusus dengan Husein. Tuan Asahi mengedutkan bibir seraya berkata, “Apa pun itu, saya merasa aneh pada Nyonya Habiba yang jelas sudah mengetahui bahwa Anda memiliki istri, tapi dia malah bersedia disentuh oleh Anda. Jadi sebegini luar biasanyakah kemapanan lelaki, sampai bisa membeli wanita?”Brak!Husein memukul meja. “Jaga bicara Anda!” Jika masih berkaitan dengan harga dirinya, mungkin Husein tidak semarah ini. Tapi Tuan Asahi telah menghina harga diri Habiba.“Anda marah?” tanya Tuan Asahi tenang. Tak terpengaruh oleh kemarahan Huseinm“Habiba bukan wanita rendahan seperti yang Anda tuduhkan!”“Lalu apa namanya wanita yang rela disentuh lelaki beristri jika
Melihat Fara yang masih gagap itu, Habiba akhirnya mengalah. Ia pun bertanya, "Ada apa, Mbak? Kalau tidak ada urusan, mendingan jangan ganggu aku. Saat ini aku sedang pusing. Mbak Fara selesaikan saja dulu masak supnya.""Mm... Itu... Saya mau bilang kalau tulang iga yang mau dibikin sup malah digondol kucing."Habiba memebelalak kaget. Digondol kucing? Haduh, tumben sekali Fara teledor. Padahal biasanya dia selalu bekerja dengan teliti."Kok, bisa dibawa kucing? Maksudnya Moty yang bawa kabur tulangnya?" tanya Habiba menyebut nama kucing peliharaan Qansha."I ii iya.""Moty itu kan kucing Anggora, dia tidak doyan makan tulang. Makanannya ada sendiri. Mana mungkin dia membawa lari tulang?""Dia gigit plastik berisi tulang iga yang saya taruh di baskom lantai dapur, lalu dibawa kabur keluar. Dia hanya bermain saja dengan benda itu, eeh di luar malah dimakan kucing lain.""Mbak Fara kok bisa teledor begitu?" Inilah saatnya Habiba memberikan pelajaran kecil kepada Fara. Sebenarnya ia bis
“Istriku, turunkan egomu. Ini hanya perkara ego dan keangkuhan saja. Aku ingin kita hidup damai dalam kasih sayang. Aku mencintaimu.”Habiba masih membeku di tempat, menyaksikan kemesraan dibalut kesedihan antara Alka dan Amira. Keduanya bersitatap layaknya pasangan suami istri yang saling melengkapi. Posisi Alka yang sedikit menyamping enam puluh derajat ke arah Habiba, kini sudut matanya menangkap keberadaan Habiba yang berdiri di ambang pintu, namun ia sengaja diam seolah tak melihat keberadaan menantunya itu."Istriku, kau menyayangi Habiba bukan?" "Dia menantuku. Dialah wanita yang pantas mendampingi Husein. Ini terlalu berat untuk aku katakan." Amira terisak. "Lihatlah, aku miskin. Aku buruk. Aku memalukan. Dan inilah yang diami Habiba dulu. Sekarang keadaan itu telah menimpaku. Aku telah miskin dan menjijikkan.""Alam memang adil, roda itu berputar dan tidak selamanya kita ada di atas.""Tuhan sedang menghukumku. Aku sampai tidak kuat mengakui kebaikan Habiba hanya karena
Merasa seperti dililit ular, Habiba memundurkan tubuh. Lebih baik melepas pelukan dadi pada nyawanya lewat dan bertemu malaikat maut. Eh?"Uhuk uhuk...." Habiba terbatuk- batuk, efek dari pelukan kuat itu jadinya begini. "Minumlah!" Amira mengambil minum yang disediakan Habiba untuknya."Aku bisa mengambil sendiri." Habiba meraih gelas dari tangan Amira sebelum gelas itu mengarah kepadanya.Setelah meneguk sedikit, Habiba mengembalikan gelas ke meja.Amira menatap lekat wajah Habiba, meraih tangan menantunya dan menggenggam erat. "Kau menantuku!" Nyess...Hati Habiba basah mendengar pengakuan itu. Setelah perjuangan yang tak mengenal kata lelah merawat mertuanya, perjuangan sambil merasa jijik pada saat berkali- kali membersihkan kotoran mertua, akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. "Bu, terima kasih sudah mau mengakui aku sebagai menantumu," lirih Habiba terharu."Aku tidak tahu kenapa kau masih mau berbuat baik kepadaku meski perilakuku seperti ini." Amira takjub.Habiba hany
“Hei, bagaimana cara kerjamu? Kenapa tidak berhati- hati?” tegur Husein sambil menjauhkan tangan Fara dari piring. Sayangnya tetesan darah sudah mengenai buah. “Itu adalah efek dari ketidak hati- hatianmu, akibatnya jarimu terluka. Lain kali kau harus lebih berhati- hati.”“Baik, Tuan.”“Sini, biar aku obati!” Habiba mengambil kotak obat dan dengan cekatan mengobati luka di jari Fara. Memberikan obat dan membalut dengan perban. “Lukanya tidak terlalu dalam. Hanya luka luar saja. Untuk beberapa menit, letakkan bagian yang terluka di atas jantung!” Fara mengangguk. Benaknya membatin, sebenarnya Habiba ini orang baik, tapi kenapa Fara merasa kesal setiap kali melihat Habiba? Sebenarnya simpel saja, alasan yang membuat Fara menjadi iri terhadap Habiba adalah karena awalnya Habiba dan Fara stau level, namun kemudian Habiba naik kelas dengan berhasil menjadi istri majikan. Dan sekarang, Habiba pun berbalik menjadi majikan sungguhan bagi Fara. Beginilah yang namanya hati busuk