Melihat Fara yang masih gagap itu, Habiba akhirnya mengalah. Ia pun bertanya, "Ada apa, Mbak? Kalau tidak ada urusan, mendingan jangan ganggu aku. Saat ini aku sedang pusing. Mbak Fara selesaikan saja dulu masak supnya.""Mm... Itu... Saya mau bilang kalau tulang iga yang mau dibikin sup malah digondol kucing."Habiba memebelalak kaget. Digondol kucing? Haduh, tumben sekali Fara teledor. Padahal biasanya dia selalu bekerja dengan teliti."Kok, bisa dibawa kucing? Maksudnya Moty yang bawa kabur tulangnya?" tanya Habiba menyebut nama kucing peliharaan Qansha."I ii iya.""Moty itu kan kucing Anggora, dia tidak doyan makan tulang. Makanannya ada sendiri. Mana mungkin dia membawa lari tulang?""Dia gigit plastik berisi tulang iga yang saya taruh di baskom lantai dapur, lalu dibawa kabur keluar. Dia hanya bermain saja dengan benda itu, eeh di luar malah dimakan kucing lain.""Mbak Fara kok bisa teledor begitu?" Inilah saatnya Habiba memberikan pelajaran kecil kepada Fara. Sebenarnya ia bis
“Istriku, turunkan egomu. Ini hanya perkara ego dan keangkuhan saja. Aku ingin kita hidup damai dalam kasih sayang. Aku mencintaimu.”Habiba masih membeku di tempat, menyaksikan kemesraan dibalut kesedihan antara Alka dan Amira. Keduanya bersitatap layaknya pasangan suami istri yang saling melengkapi. Posisi Alka yang sedikit menyamping enam puluh derajat ke arah Habiba, kini sudut matanya menangkap keberadaan Habiba yang berdiri di ambang pintu, namun ia sengaja diam seolah tak melihat keberadaan menantunya itu."Istriku, kau menyayangi Habiba bukan?" "Dia menantuku. Dialah wanita yang pantas mendampingi Husein. Ini terlalu berat untuk aku katakan." Amira terisak. "Lihatlah, aku miskin. Aku buruk. Aku memalukan. Dan inilah yang diami Habiba dulu. Sekarang keadaan itu telah menimpaku. Aku telah miskin dan menjijikkan.""Alam memang adil, roda itu berputar dan tidak selamanya kita ada di atas.""Tuhan sedang menghukumku. Aku sampai tidak kuat mengakui kebaikan Habiba hanya karena
Merasa seperti dililit ular, Habiba memundurkan tubuh. Lebih baik melepas pelukan dadi pada nyawanya lewat dan bertemu malaikat maut. Eh?"Uhuk uhuk...." Habiba terbatuk- batuk, efek dari pelukan kuat itu jadinya begini. "Minumlah!" Amira mengambil minum yang disediakan Habiba untuknya."Aku bisa mengambil sendiri." Habiba meraih gelas dari tangan Amira sebelum gelas itu mengarah kepadanya.Setelah meneguk sedikit, Habiba mengembalikan gelas ke meja.Amira menatap lekat wajah Habiba, meraih tangan menantunya dan menggenggam erat. "Kau menantuku!" Nyess...Hati Habiba basah mendengar pengakuan itu. Setelah perjuangan yang tak mengenal kata lelah merawat mertuanya, perjuangan sambil merasa jijik pada saat berkali- kali membersihkan kotoran mertua, akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. "Bu, terima kasih sudah mau mengakui aku sebagai menantumu," lirih Habiba terharu."Aku tidak tahu kenapa kau masih mau berbuat baik kepadaku meski perilakuku seperti ini." Amira takjub.Habiba hany
“Hei, bagaimana cara kerjamu? Kenapa tidak berhati- hati?” tegur Husein sambil menjauhkan tangan Fara dari piring. Sayangnya tetesan darah sudah mengenai buah. “Itu adalah efek dari ketidak hati- hatianmu, akibatnya jarimu terluka. Lain kali kau harus lebih berhati- hati.”“Baik, Tuan.”“Sini, biar aku obati!” Habiba mengambil kotak obat dan dengan cekatan mengobati luka di jari Fara. Memberikan obat dan membalut dengan perban. “Lukanya tidak terlalu dalam. Hanya luka luar saja. Untuk beberapa menit, letakkan bagian yang terluka di atas jantung!” Fara mengangguk. Benaknya membatin, sebenarnya Habiba ini orang baik, tapi kenapa Fara merasa kesal setiap kali melihat Habiba? Sebenarnya simpel saja, alasan yang membuat Fara menjadi iri terhadap Habiba adalah karena awalnya Habiba dan Fara stau level, namun kemudian Habiba naik kelas dengan berhasil menjadi istri majikan. Dan sekarang, Habiba pun berbalik menjadi majikan sungguhan bagi Fara. Beginilah yang namanya hati busuk
Husein mengusap pipi halus istrinya. Hatinya kagum oada wanita ini, yang masih bisa berlapang dada pada istri yang lain. Padahal Husein sendiri justru merasa ingin secepatnya melepaskan Cindy. Bahkan Husein juga sudah mendekati kata tak adil dalam memperlakukan dua istrinya.Husein memundurkan tubuh, menjauh dari Habiba. Ekspresinya berubah tak nyaman. Ia lalu mengambil air mineral dan meneguknya. Butuh asupan air mineral untuk menetralkan pikirannya yang mulai keruh."Kamu marah padaku?" lirih Habiba."Tidak. Kenapa harus marah? Aku justru merasa kalah olehmu." Husein menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke sisi kasur. "Sudahlah, biar Cindy menjadi urusanku. Kau tidak perlu memikirkannya."Husein menatap jam di pergelangan tangannya. "Ini masih jam segini, bisa dianggap masih petang. Bagaimana kalau kau temani aku ke luar? Aku ingin membelikan jam tangan untuk anak- anak."Habiba tersenyum. Husein sedang ingin dekat dengan anak- anak. Ia sedang ingin mengambil hati anak- anak de
"Lama sekali? Aku keburu kedinginan," kata Habiba merasakan kulitnya meremang."Sebentar lagi.""Tapi ini sudah lama.""Bisa sabar sedikit?""Tidak."Jawaban Habiba enteng sekali. Membuat Husein gemas. Dan dengan kuat, pria itu menyentak tali bra hingga tubuh Habiba terhuyung mundur. "Aduh!" Habiba meringis."Sakit?""Tidak. Cuma kaget, takut jatuh tadi. Tarikan talinya juga cukup kuat, agak sakit sih."Husein sudah selesai menyangkutkan pengaitnya, ia memutar badan Habiba hingga menghadap kepadanya. Wanita berpakaian mini itu memang menggodanya. Dengan tatapan intens, Husein bertanya, "Mana yang sakit? Ini?" Ia menyentuh dada Habiba."Ke samping sedikit."Husein menggeser tangan sesuai petunjuk istrinya. "Ini?""Tepat."Pria itu memijit ringan pada benda kenyal itu. "Apa rasanya?""Geli."Husein pun tersenyum. Senyuman manis yang membuat Habiba jadi ikut-ikutan tersenyum. Tak mau terpikat ke dalam senyuman Habiba terlalu jauh, Husein langsung mengambil pakaian dan memasangkannya
"Baiklah, kalau begitu kita pergi sekarang. Ayo!" Husein menggandeng Sakha. Kemudian, ia menatap Qansha. "Kau tunggu di rumah ya. Papa akan membelikan sesuatu yang kau mau. Kau mau dibelikan apa?"Qansha diam saja, kemudian memalingkan wajah."Baiklah, tunggu di rumah ya!" pesan Husein. Ia menggandeng Sakha berlalu keluar kamar, melewati Habiba yang terpaku di tengah- tengah ruangan. "Qansha, mama akan pergi bersama papa dan Kak Sakha, apa kau yakin tidak mau ikut?" bujuk Habiba dengan senyum."Mama mengajakku?""Ya, tentu. Mama akan sangat senang jika kau ikut. Tanpamu, mama merasa tidak berarti apa- apa.""Qansha ikut, Ma!" Qansha menghambur mendekat pada Habiba. Habiba mengangguk senang. Bocah itu tidak mau saat diajak oleh Husein, namun segera beranjak saat Habiba yang mengajaknya. "Tapi Qansha tidak mau ganti baju, biar saja pakai baju ini. Toh ini tidak buruk," ucap Qansha sambil menatap bajunya sendiri, sepasang kaos dan celana selutut. Bukan merupakan baju tidur, lebih te
"Hai!" sapa Habiba melihat Cindy yang menatap ke arahnya.Cindy mengangguk kaku sambil tersenyum canggung. Tatapan Cindy kembali fokus pada Husein. "Kamu di sini ngapain? Beli jam juga?" "Kau belum jawab pertanyaanku. Kau yakin membeli barang seharga itu?" Husein melirik ke kotak yang baru saja dikemas oleh pramuniaga dan disodorkan ke arah Cindy."Mm... Iya. Kamu yang bilang kalau aku boleh beli apa saja kebutuhanku bukan? Dan ini adalah salah satu kebutuhanku. Makasih ya kamu sudah memberiku kesempatan untuk aku menabung dan membeli barang- barang bagus." Cindy mengusap lengan Husein bangga. Habiba sengaja mengalihkan perhatiannya ke arah lain, tak ingin memperhatikan interaksi antara Husein dan Cindy."Kali ini kau bisa membelinya, tapi lain kali jangan. Jam itu tidak begitu bermanfaat saat harganya kemahalan. Selain kau akan merasa sayang saat memakainya, juga tidak sehat untuk pergaulan.""Teman- teman sosialitaku kan kelas atas semua, maka tidak akan ada yang merasa insecure s
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu