"Hai!" sapa Habiba melihat Cindy yang menatap ke arahnya.Cindy mengangguk kaku sambil tersenyum canggung. Tatapan Cindy kembali fokus pada Husein. "Kamu di sini ngapain? Beli jam juga?" "Kau belum jawab pertanyaanku. Kau yakin membeli barang seharga itu?" Husein melirik ke kotak yang baru saja dikemas oleh pramuniaga dan disodorkan ke arah Cindy."Mm... Iya. Kamu yang bilang kalau aku boleh beli apa saja kebutuhanku bukan? Dan ini adalah salah satu kebutuhanku. Makasih ya kamu sudah memberiku kesempatan untuk aku menabung dan membeli barang- barang bagus." Cindy mengusap lengan Husein bangga. Habiba sengaja mengalihkan perhatiannya ke arah lain, tak ingin memperhatikan interaksi antara Husein dan Cindy."Kali ini kau bisa membelinya, tapi lain kali jangan. Jam itu tidak begitu bermanfaat saat harganya kemahalan. Selain kau akan merasa sayang saat memakainya, juga tidak sehat untuk pergaulan.""Teman- teman sosialitaku kan kelas atas semua, maka tidak akan ada yang merasa insecure s
“Halo! Ada apa, sayang?” sahut Cindy di seberang dengan suaranya yang khas, manja.“Dimana Sakha? Putra sulungku bersamamu ya?” tanya Husein penuh penekanan.“Sakha? Tidak. Aku tidak bersama siapa- siapa. Aku di dalam mobil sendirian sekarang.”“Jangan bercanda, Cindy. Aku akan melakukan hal paling gila jika kau macam- macam pada putraku.”“Husein, apa maksudmu? Aku tidak tahu apa- apa tentang itu. Tolong, jangan tuduh aku sejahat itu. Ini artinya kamu sednag kehilangan anak, dan kamu menuduh aku yang membawanya pergi, begitukah?”“Aku tidak akan menuduhmu jika kau berkata jujur.”“Kejujuran apa lagi yang harus aku katakan? Aku tidak berbohong padamu,” sangkal Cindy.“Jika kau tidak berbohong, maka tunjukkan dimana kau sekarang? Aku akan menemuimu.”“Baiklah, aku berhenti sekarang.” Cindy kemudian menyebutkan alamat yang sedang dia tempuh.“Kau tunggu di sana, aku akan menemuimu.” Husein mempercepat kelajuan mobilnya. Arah jalan yang dia tempuh searah, jadi ia tinggal
Mobil berhenti tepat melintang di depan mobil milik Cindy."Cindy!" Husein menghambur mendekati mobil yang bertengger di tepi jalan. Ekspresi emosi berbaur panik mencuat di wajahnya. "Tunggu di sini! Jangan kemana- mana!" titah Habiba sambil menoleh pada Qansha.Anak itu mengangguk patuh dengan raut datarnya.Habiba menyusul Husein keluar. Dan ia melihat Cindy keluar dari mobil, seorang diri. Tidak ada Sakha."Dimana Sakha?" hardik Habiba tanpa berbasa- basi. Jantungnya sudah berpacu cepat sejak tadi. Ia tak mau bermain lagi dengan waktu. "Tenanglah, Biba. Kau bisa bicara baik- baik," celetuk Cindy yang terlihat rileks sekali. Habiba menyingkirkan tubuh Cindy yang menghalangi pandangannya, ia lalu membuka pintu mobil belakang dan ternyata semua kursi di mobil Cindy kosong, ia tidak mendapati Sakha di sana. "Kau tidak akan menemukan apa pun. Aku tidak membawa Sakha," ucap Cindy sambil menarik lengan Habiba supaya menjauh dari mobilnya."Aku tahu kamu membawa Sakha pergi. Kamu sembun
Husein mendorong tubuh Cindy masuk ke kamar kecil. Wanita itu meringkuk ke dinding. dorongan tangan Husein cukup kuat, membuat lengannya terasa sakit.“Kau akan mendekam di sini sampai batas waktu yang aku tentukan. Polisi akan menjemputmu!” ancam Husein.“Tidak, Husein. Jangan lakukan ini kepadaku. Aku mencintaimu. Mana mungkin aku menyakiti perasaanmu, apa lagi sampai memisahkanmu dari anakmu.” Cindy menangis.Husein tak peduli. Ia balik badan, urung menutup pintu kamar mandi saat melihat ada Habiba yang muncul dan kini berdiri di hadapannya.“Biarkan aku bicara pada Cindy dulu,” ungkap Habiba.“Ya.” Husein kemudian pergi.Kini Habiba dan Cindy bertukar pandang. Habiba menatap intens dengan ekspresi tenang. “Plis, tolong beri tahu aku dimana Sakha. Jangan pancing emosiku, Cindy. Aku tahu kau mengetahui keberadaan Sakha. Jangan sampai masalah ini ke meja hijau hanya karena kau memenangkan keegoisanmu itu,” pinta Habiba.“Tidak, Habiba. Jangan tuduh aku lagi. Aku tid
“Halo!”Suara sapaan itu membuat kepala Sakha terangkat, menatap sosok pria yang menghampirinya. Wajah Sakha tetap tenang. Tidak takut, juga tidak cemas. Bahkan malah santai sekali.Pria dewasa berkaos hitam memberikan sebungkus roti. “Makanlah!” Sakha menatap roti dalam kemasan plastik yang diletakkan di lantai depan tempatnya duduk. Ia tak mau menyentuh. “Kau lapar bukan?” Pria itu mengusap kepala Sakha.Sakha tidak merespon.“Atau… kau mau ini?” Pria itu menyerahkan sebuah roti sosis dengan saus dan mayones.Sakha mengangguk.Pria itu memberikan roti yang ditawarkan. Dan langsung diambil oleh Sakha. Anak itu memakannya sampai habis.Ada banyak roti di dalam plastik yang ia tenteng. Dan ia mengambil salah satu roti kemudian menyantapnya bersama dengan Sakha.“Mau lagi?” tanya pria itu.Sakha menggeleng.Pria itu mengusap kepala Sakha. “Baiklah, kau ambil saja roti ini kalau mau.” Pria itu meletakkan kantong plastik putih berisi roti ke meja. Lengkap ada minumannya ju
Bruk bruk bruk...Pintu kamar mandi digedor- gedor dari dalam. Fara yang melintasi kamar mandi umum itu pun terkejut. Suara apa itu?"Tolong buka pintunya!" Suara dari dalam kamar mandi terdengar agak lemas. "Siapa di dalam?" Fara mendekati pintu. "Jin? Setan? Iblis?""Tolong. Tolong buka pintunya." Suara di dalam kamar mandi terdengar bersemangat setelah mendengar sahutan dari Fara."Kamu siapa? Kekunci di dalam ya?" tanya Fara."I iya. Aku terkunci di dalam. Tolong, siapa pun di luar, tolong bukakan pintunya.""Oh... Sebentar. Aku ambil kunci serap." Fara pergi sebentar dan kembali membawa kunci kamar mandi. lalu ia memutar kunci. Berhasil. Pintu terbuka. Cindy langsung menyembul keluar."Loh, ini Non Cindy kan?" Fara kaget."Iya. Makasih kamu sudah bukakan pintu." Cindy langsung menghambur pergi, dan berhenti di ruang tamu saat melihat kunci mobilnya tergeletak di meja. Ia menyambar kunci tersebut dan berlari ngibrit keluar rumah. Secepat kilat, ia menyetir mobil dan berhasil k
Kepala Cindy tergeletak di atas aspal, ceceran warna merah itu menggenang di sekeliling kepalanya. Keluar pula cairan merah dari hidung dan mulutnya. Demikian juga dari bagian perut yang juga merembes warna merah dari kulitnya yang terluka. Matanya masih terbuka. Ia mengerang seperti hendak bicara, namun kesulitan."Tante!" Sakha menggenggam erat jemari Cindy. Tak disangka, Cindy malah tersenyum. Membalas genggaman tangan Sakha. "Aa aanak baik. Kk kau harus tumbuh besar. Pp pulanglah. O oo orang tuamu mencarimu. Aakh..." Tak ada lagi kata- kata yang keluar dari mulut Cindy. Dia hanya bisa mengerang, hingga akhirnya tak lagi terdengar suara dari mulutnya. Menyaksikan peristiwa yang terjadi, Habiba ambruk dan bersimpuh ke aspal. Tak peduli lututnya sakit akibat terantuk aspal yang keras. Mendadak ia merasa lemas sekali. "Cindy!" Tangis Habiba pecah. Bahunya bergetar hebat. Kepalanya tertunduk, namun kemudian mendongak menatap langit dalam tangis. "Tan... Tante." Sakha masih menggen
Husein kembali ke kamar membawa satu kotak nasi dan sebotol minuman. Ia tidak langsung memberikan kotak itu kepada Habiba, melainkan ia duduk di kursi berhadapan dengan Habiba dan meletakkan kotak makanan ke meja. Ia membuka kotak dan sejenak menatap lauk yang disajikan. Udang sambal ijo. Aromanya lezat.“Cuma satu?” tanya Habiba.Husein tidak menjawab. Ia sibuk menyiduk nasi dengan sendok. Lalu menyodorkan sendok tersebut ke mulut Habiba. “Ayo makan!” Jadi… ini artinya Husein hanya membelikan makan untuk Habiba saja?“Untukmu mana?” tanya Habiba.“Kau sudah pernah merasakan enaknya disuapi suami kan? Kalau begitu sekarang makanlah dengan tangan suapan suami. Rasanya berbeda dengan suapan tanganmu sendiri.”Habiba mengenang suapan Husein beberapa waktu lalu, memang rasa makanannya sama saja. tapi perasaannya berbeda hingga mengubah cita rasa di mulutnya. Kebahagiaan membawa rasa jadi berbeda.Habiba tanpa sadar membuka mulut dan menerimasuapan dari tangan Husein. Dan mem