“Bu, maafkan aku!” lirih Habiba tanpa berani menatap wajah sang ibu, takut mendapatkan raut marah. “Aku tidak bisa mengikuti kamuan ibu untuk berpisah dari Mas Husein dan menikah dengan lelaki pilihan ibu.”Fatona diam saja.“Aku mencintai Mas Husein. Aku yakin Mas Husein bisa membahagiakan aku. Tolong ibu pahami ini. kami bahagia, Bu. Meski ada Cindy diantara kami, tapi itu tetap tidak mengurangi kebahagiaanku,” imbuh Habiba.Hanya terdengar suara mulut Fatona mengunah makanan.“Baru saja terjadi hal buruk pada Cindy. Dia mengorbankan dirinya demi Skaha. Dia kecelakaan parah setelah menyelamatkan Sakha dari tabrakan mobil. Malah dia yang tertabrak, sekarang kondisinya kritis. Dia sebenarnya orang baik,” lirih Habiba dengan suara bergetar. Tak tega mengenang kondisi Cindy.Fatona menatap Habiba yang tertunduk.“Kemarin malam, Sakha hilang. Aku dan Mas Husein panik mencari keberadaan Sakha. Keesokan hari, kebetulan Cindy menemukan Sakha, hingga akhirnya perintiwa kecelakaan
Saat senja tiba, mereka pulang ke rumah bersama. Husein menyetir di bagian kemudi, sedangkan Habiba dan Fatona duduk di kursi belakang. Terlibat pembicaraan hangat antara Habiba dan Fatona sepanjang jalan. Sedangkan Husein diam saja menjadi pengamat sekaligus pendengar saja."Cindy sudah berkorban besar untuk Sakha. Aku menyesal pernah membencinya," ucap Habiba dengan mata berembun mengenang tangannya yang pernah menampar Cindy. "Aku bahkan menuduh Cindy menculik Sakha. Padahal Sakha bersama Irzan. Pantas saja Cindy terus menyangkal tuduhan itu, ternyata memang bukan Cindy pelakunya."Fatona mengelus pundak Habiba. "Kau melakukan itu bukan karena kebencian, semua ada alasannya. Jika kau tidak mengira Cindy pelakunya, pasti kau tidak akan melakukannya bukan?""Tapi aku benar- benar menyesal dan terpukul.""Kau boleh merasa bersalah, tapi bukan untuk menyakiti perasaanmu sendiri."Habiba menyandarkan kepalanya ke pundak ibunya. Nyaman sekali posisi itu. Sudah lama ia tidak menyandar se
"Mas Husein, lakukan sesuatu! Jangan sampai mama dan papa pergi!" rengek Habiba pada Husien."Sudahlah, biarkan mama dan papa meninggalkan rumah ini. Aku yakin mama dan papa merasa sungkan pada ibumu. Mereka beranggapan bahwa mereka tidak pantas berada di sini," sahut Husein enteng saja."Tapi mereka akan tinggal di mana? Di rumah mereka yang lama? Berdua saja? Kamu tega biarkan mereka di sana?" Habiba panik. "Tidak. Aku akan bawa mereka tinggal bersamaku. Di rumahku. Ada Inez yang bisa membantu merawat ibu. Jadi kau tenang saja." Senyum Husein tercetak simpul.Ya ampun, Habiba baru ingat kalau Husein juga bisa membawa kedua orang tuanya ke rumahnya. Habiba pun lega. Artinya, mertuanya tidak akan terlantar. "Apakah mama dan papa tidak ingin bermalam terlebih dahulu di sini? Setidaknya semalam saja, besok pagi baru kita pulang," saran Husein."Tidak. Di sini, aku dan suamiku hanyalah menumpang selama sakit. Dan sekarang sudah membaik. Maka secepatnya kita harus beranjak pergi," sahut
Pagi itu, Habiba memasangkan seragam Qansha. Meski sudah ada Fara yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di rumah itu, namun ia tetap mengurus anak- anak. Ada kepuasan tersendiri saat tangannya yang mengurus anak- anak.Manik mata Habiba melirik ke ponsel yang bergetar menandakan pesan masuk. Tampak pesan dari Husein yang bisa dia baca di layar atas..‘Aku sudah berangkat kerja jam lima tadi. Kau masih tertidur. Jangan mencariku saat merasa kehilangan ketika bangun dari tidur.’.Habiba hanya tersenyum saja tanpa membalasnya. Ia sudah tertidur ketika Husein pergi mengantar Amira dan Alka. Bahkan ia tak sadar saat Husein kembali ke rumah dan tidur seranjang dengannya tadi malam. Paginya, ia bahkan tidak menemukan suaminya di sisinya. Waktu terasa begitu singkat.“Ma, tadi malam Qansha bermain dengan Opa. Asik sekali. Opa ternyata orangnya asik,” ucap Qansha dengan raut gembira mengenang permainannya dengan Alka malam tadi.“Oh ya? Memangnya Qansha main apa sama opa?”
"Qansha, kemari sayang!" Habiba memeluk bungsunya. Dia elus pundak putrinya dengan lembut. Lalu Menggendongnya keluar kamar, membawa kembali ke ruang utama dimana Fatona dan Sakha tengah menunggu. "Kenapa Qansha menangis?" tanya Fatona cemas."Terlanjur sayang pada opanya. Dia menangisi opanya karena merasa kehilangan," jawab Habiba. Kemudian ia menurunkan Qansha dan menatap lekat wajah yang sembab itu. "Qansha sayang, Qansha masih bisa ketemu opa kok. Opa kan tidak jauh dari sini. Naik mobil sebentar pun bisa langsung ketemu. Nanti, sepulang dari sekolah, Qansha bisa langsung temui opa. Okey?" Tangis Qansha terhenti. Namun sesenggukkannya masih berlanjut. "Sungguh?"Habiba mengangguk dengan senyum."Baiklah. Qansha tidak akan menangis lagi. Janji ya nanti pulang sekolah langsung mampir tempat opa.""Tentu. Opa pasti senang sekali kalau ditemui sama Qansha.""Terus, kenapa opa pergi diam- diam tanpa bilang sama Qansha?""Qansha sudah tidur dan opa tidak mungkin membangunkan Qansha.
“Kenapa kau berada di sana?” Nada bicara Husein terdengar berbeda.“Aku harus tahu alasan apa yang membuat Irzan menyembunyikan Sakha dariku. Dia harus bertanggung jawab atas kepanikan dan kecelakaan Cindy. Akibat kelakuannya yang menyembunyikan Sakha, akhirnya Sakha hampir ketabrak mobil dan malah Cindy yang kecelakaan demi menyelamatkan Sakha. Ini semua terjadi karena ulah Irzan.”“Sudah! Jangan diteruskan lagi,” tegas Husein dengan suara tinggi, membuat Habiba terkesiap.“Aku hanya…”“Pergi dari situ! Sekarang!” potong Husein tegas. “Tempat itu berbahaya. Irzan bisa saja mencelakimu kapan pun dia mau. Sekarang ini Irzan seperti sedang ingin melakukan hal- hal gila padamu. Kemarin ibumu yang celaka karena ulahnya, sekarang Sakha. Jangan sampai kemudian kau yang menjadi korban selanjutnya.”Oh… Rupanya Husein sedang mencemaskan Habiba. Habiba salah kaprah, mengira Husein akan salah paham atas kedatangannya ke rumah Irzan.“Baiklah!” Habiba segera menyetir mobil meninggal
"Tante Cindy itu sama seperti mama, sama- sama pendamping papa Husein. Jadi mama dan tante Cindy memiliki hak yang sama,” ucap Habiba sambil mengelus singkat dagu putrinya."Hak itu apa?" polos Qansha.Nah, kalau sudah begini, Habiba bingung harus menjelaskan dari mana. "Hak itu ya sesuatu yang kita terima."Meski masih bingung, Qansha hanya diam."Lain kali Qansha tidak boleh masuk ke kamar ini ya. Qansha hanya boleh masuk kalau ada mama," pesan Habiba.Qansha mengangguk. "Takutnya Qansha akan mengganggu Tante Cindy ya, Ma?"Habiba mengangguk. "Ayo, kita keluar."Tepat saat itu, Husein muncul. Mendekat pada Habiba.Qansha langsung berlari pergi saat melihat Husein muncul. Melewati Husein begitu saja.Husein menatap kepergian Qansha dengan mata sedikit menyipit. "Dia belum bisa menerimaku.""Dia akan dengan mudah menerima siapa saja yang bisa mengambil hatinya. Bahkan dia sudah sangat mencintai opanya. Kamu juga sudah pernah diharapkan olehnya meski kemudian ia kembali berpaling darim
"Non, saya tadi barusan selesai mengepel dan membersihkan kamar Non Cindy." Fara melapor pada Habiba sambil menaruh peralatan pel dan ember ke teras luar dekat dapur. Habiba tengah membuat omelet khusus untuk suaminya. Celemek menempel di permukaan tubuhnya. "Non, maaf nih, boleh tanya?" Fara akhirnya luwes memanggil Habiba dengan sebutan 'non' setelah selama ini kaku sekali karena enggan menyebutnya. "Itu kamu sudah tanya.""Maksud saya, saya mau nanya sama Non Biba.""Tanya saja.""Non Cindy pasien kan ya?""Iya.""Terus, setahu saya dia istrinya Tian Husein. Dan Non Biba juga istrinya. Jadi kan Mas Husein poligami nih. Kok, Non Biba masih mau statusnya dirahasiakan sedangkan Non Cindy mendapat keistimewaan sebagai istri Tuan Husein di publik. Non Biba kan sudah bukan lagi orang miskin seperti dulu, tentu punya taring dong untuk mendapatkan hak sebagai istri yang dikenal banyak orang?" Habiba meletakkan hasil masakan ke piring. Ia sudah selesai memasak. "Mbak Fara tidak beruba