"Tante Cindy itu sama seperti mama, sama- sama pendamping papa Husein. Jadi mama dan tante Cindy memiliki hak yang sama,” ucap Habiba sambil mengelus singkat dagu putrinya."Hak itu apa?" polos Qansha.Nah, kalau sudah begini, Habiba bingung harus menjelaskan dari mana. "Hak itu ya sesuatu yang kita terima."Meski masih bingung, Qansha hanya diam."Lain kali Qansha tidak boleh masuk ke kamar ini ya. Qansha hanya boleh masuk kalau ada mama," pesan Habiba.Qansha mengangguk. "Takutnya Qansha akan mengganggu Tante Cindy ya, Ma?"Habiba mengangguk. "Ayo, kita keluar."Tepat saat itu, Husein muncul. Mendekat pada Habiba.Qansha langsung berlari pergi saat melihat Husein muncul. Melewati Husein begitu saja.Husein menatap kepergian Qansha dengan mata sedikit menyipit. "Dia belum bisa menerimaku.""Dia akan dengan mudah menerima siapa saja yang bisa mengambil hatinya. Bahkan dia sudah sangat mencintai opanya. Kamu juga sudah pernah diharapkan olehnya meski kemudian ia kembali berpaling darim
"Non, saya tadi barusan selesai mengepel dan membersihkan kamar Non Cindy." Fara melapor pada Habiba sambil menaruh peralatan pel dan ember ke teras luar dekat dapur. Habiba tengah membuat omelet khusus untuk suaminya. Celemek menempel di permukaan tubuhnya. "Non, maaf nih, boleh tanya?" Fara akhirnya luwes memanggil Habiba dengan sebutan 'non' setelah selama ini kaku sekali karena enggan menyebutnya. "Itu kamu sudah tanya.""Maksud saya, saya mau nanya sama Non Biba.""Tanya saja.""Non Cindy pasien kan ya?""Iya.""Terus, setahu saya dia istrinya Tian Husein. Dan Non Biba juga istrinya. Jadi kan Mas Husein poligami nih. Kok, Non Biba masih mau statusnya dirahasiakan sedangkan Non Cindy mendapat keistimewaan sebagai istri Tuan Husein di publik. Non Biba kan sudah bukan lagi orang miskin seperti dulu, tentu punya taring dong untuk mendapatkan hak sebagai istri yang dikenal banyak orang?" Habiba meletakkan hasil masakan ke piring. Ia sudah selesai memasak. "Mbak Fara tidak beruba
Tamparan napas hangat Husein mengenai wajah Habiba.“Mas Husein, ini satanya makan!” ucap Habiba dengan wajah menegang. Tatapan Husein tampak menusuk.“Sjak tadi kau mengerjaiku. Sekarang giliranku mengerjaimu,” bisik Husein sambil menggerakkan tangannya merayap turun ke bawah, berhenti di pinggang Habiba. Sentuhan itu membuat kulit Habiba meremang hebat. Sentuhan Husein memang dahsyat dan membangkitkan gelora. “Bangkitlah! Aku tidak bisa bernapas,” pinta Habiba yang merasa kalah telakoleh tatapan dan sentuhan Husein. “Dadamu terlalu menekan dadaku!”Habiba beralasan. Namun Husein tak mau peduli. Ia tidak beranjak dari posisinya. Bahkan kakinya malah naik ke atas paha Habiba, menyilang untuk mengunci kaki wanita itu.Tubuh Habiba makin menegang. Sebenarnya apa yang diinginkan Husien pagi- pagi begini? Apakah pria ini menginginkan olah raga ranjang? Tapi kenapa Habiba harus deg- degan begini? Bukankah mereka sudah sering melakukannya?Sebelum sempat pertanyaan di kepala
"Ayo, suapi aku!" titah Husein datar saja, namun tatapannya sangat berarti."Masih minta disuapi?" tanya Habiba gemas."Hm. Ayo, cepat!" desak Husein."Iya." Habiba lalu menyuapi Husein, menyodorkan garpu yang kali ini ujungnya membawa sepotong omelet.Pria itu akhirnya merasakan bagaimana disuapi istri."Manja sekali," celetuk Habiba."Jangan hanya wanita saja yang bisa manja, lelaki pun sekali- kali boleh manja kan?" Husein mengalungkan lengannya ke sandaran kursi yang diduduki Habiba. Posisi iyu membuat Habiba merasa seperti dipeluk, nyaman sekali.Beberapa kali suap saja, omelet pun ludes.Pria itu menyudahi dengan meneguk air minum. "Aku akan cari keberadaan Irzan," tegas Husein."Kamu ingin interogasi dia tentang kasus kemarin?" tanya Habiba."Perbuatan Irzan yang mengambil Sakha diam- diam bahkan menyembunyikan anak itu di rumahnya, sama saja perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan untuk membuat kita kacau. Dia harus mempertanggung jawabkan ini." "Mas Husein, aku sudah me
"Oh, saya pikir penawaran saya sudah tinggi. Kamu bisa ambil tambahan lima juta lagi jika dalam tiga bulan, pekerjaanmu bagus," sahut si pria berkemeja hitam.Husein tersenyum mendengar pembicaraan palsu itu. Ternyata akting anak buahnya cukup mumpuni. Bahkan sampai harus ambil foto cantik di salah satu toko kue besar dan mempostingnya di sosial media demi memancing Irzan supaya keluar dari persembunyian. "Baiklah. Aku setuju," ucap Irzan setelah berpikir beberapa saat. Kemana lagi ia akan mendapatkan uang dua puluh lima juta dalam sebulan? "Dua puluh lima juta dalam sebulan menurutku terlalu mahal untukmu," ucap Husein sambil duduk di sisi Irzan. Seketika itu, Irzan terkejut dan menatap Husein dengan mata melebar. Husein menaikkan satu kaki ke atas paha kakinya yang lain. Dia santai sekali. Senyum kecil terbit di wajahnya. "Jangan kaget. Aku di sini untukmu."Irzan menelan saliva. Ia berusaha menenangkan diri, mengubah ekspresi wajahnya supaya tetap rileks. Beberapa detik berlalu
"Ini baru peringatan! Jika kau berperilaku lebih dari ini, maka aku dengan senang hati memberikan peringatan bertubi- tubi," tegas Husein kemudian melenggang pergi. "Sial!" Irzan mengumpat sambil meninju udara.Pria berkemeja hitam hanya bisa menatap prihatin, kemudian melengos pergi. Dan yang lebih sial lagi, Irzan menjadi pusat perhatian semua orang. Sejurus pandangan orang- orang di restoran menatap ke arahnya. Entah tatapan prihatin, atau malah tatapan mengejek. Mendapat tatapan menyebalkan itu, Irzan akhirnya kabur dari sana secepatnya.***Husein menghempaskan tubuh duduk ke sofa. Salah satu kakinya naik ke meja. Kedua lengan merentang di sandaran sofa, sedangkan kepala mendongak dan menyandar di sandaran sofa dengan mata terpejam.Pikirannya tertuju pada Irzan. Pria yang sempat dia temui dan mendapat bogem beberapa kali darinya. Tiba- tiba hidung Husein mencium aroma kopi. Ia membuka mata, melihat Habiba yang membawakan segelas kopi untuknya.Senyum di wajah cantik itu mere
"Kenapa kau tidak mau ikut aku menjenguknya bersama denganku?” tanya Husein mendengar Habiba menolak ajakannya."Aku ingin memberikan waktu lapang pada privasimu. Ketika aku ada di sampingmu, gerakanmu pasti terbatas. Bisa saja kamu merasa sungkan kepadaku untuk melakukan hal- hal yang ingin kamu lakukan," ucap Habiba."Contohnya?" tantang Husein."Memotivasi Cindy dengan menggenggam tangannya, membisikkan kata cinta, atau bahkan mencium pipinya." Habiba memutar sedikit posisi duduknya agak miring supaya wajahnya tidak tampak dari penglihatan Husein. "Aku justru tidak mau kau merasa tidak nyaman melihatku sering bolak- balik memasuki kamar Cindy," sahut Husein."Tidak masalah. Memang kita menginginkan dia sembuh, kan?" Habiba sebentar menatap Husein kemudian kembali mengalihkan pandangan lagi ke samping."Satu pertanyaanku, jika Tuhan menghendaki Cindy sembuh, dia kemudian hidup normal kembali seperti dulu. Apakah kasih sayangmu kepada Cindy akan tetap sama seperti sekarang?" tanya H
"Kau mau mendengarkan aku mengatakan cinta kepadamu kan?" bisik Husein. "Iya, Cindy. Aku mencintaimu. Aku minta kau pulih."Cindy meneteskan air mata dengan deras. Ia tidak bisa mengekspresikan kegembiraannya dengan tertawa girang, melompat, menjingkrak, atau memeluk suaminya erat. Cukup dengan mengedipkan mata yang kemudian air mata bertambah deras mengalir, sudah menunjukkan bahwa ia merasa sangat terharu sekaligus bahagia. "Kau mengakuiku sebagai istri?" lirih Cindy."Ya. Kau istriku.""Apakah rasa cintamu padaku sama besarnya dengan rasa cintamu pada Habiba?” lirih Cindy lebih seperti mengelantur, suaranya pun tak begitu jelas. Tatapan matanya juga terkadang kosong.“Tidak ada perbandingan diantara kalian berdua. Sekarang kau harus sembuh dulu. Harus sembuh. Aku akan minta kau membuatkan bubur untukku. Aku akan minta kau memasak dan aku akan memakannya.” Husein ingat, beberapa kali ia menolak masakan buatan Cindy. Dan itu membuatnya seperti mendapat tamparan keras.“Yy ya.