"Ayo, suapi aku!" titah Husein datar saja, namun tatapannya sangat berarti."Masih minta disuapi?" tanya Habiba gemas."Hm. Ayo, cepat!" desak Husein."Iya." Habiba lalu menyuapi Husein, menyodorkan garpu yang kali ini ujungnya membawa sepotong omelet.Pria itu akhirnya merasakan bagaimana disuapi istri."Manja sekali," celetuk Habiba."Jangan hanya wanita saja yang bisa manja, lelaki pun sekali- kali boleh manja kan?" Husein mengalungkan lengannya ke sandaran kursi yang diduduki Habiba. Posisi iyu membuat Habiba merasa seperti dipeluk, nyaman sekali.Beberapa kali suap saja, omelet pun ludes.Pria itu menyudahi dengan meneguk air minum. "Aku akan cari keberadaan Irzan," tegas Husein."Kamu ingin interogasi dia tentang kasus kemarin?" tanya Habiba."Perbuatan Irzan yang mengambil Sakha diam- diam bahkan menyembunyikan anak itu di rumahnya, sama saja perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan untuk membuat kita kacau. Dia harus mempertanggung jawabkan ini." "Mas Husein, aku sudah me
"Oh, saya pikir penawaran saya sudah tinggi. Kamu bisa ambil tambahan lima juta lagi jika dalam tiga bulan, pekerjaanmu bagus," sahut si pria berkemeja hitam.Husein tersenyum mendengar pembicaraan palsu itu. Ternyata akting anak buahnya cukup mumpuni. Bahkan sampai harus ambil foto cantik di salah satu toko kue besar dan mempostingnya di sosial media demi memancing Irzan supaya keluar dari persembunyian. "Baiklah. Aku setuju," ucap Irzan setelah berpikir beberapa saat. Kemana lagi ia akan mendapatkan uang dua puluh lima juta dalam sebulan? "Dua puluh lima juta dalam sebulan menurutku terlalu mahal untukmu," ucap Husein sambil duduk di sisi Irzan. Seketika itu, Irzan terkejut dan menatap Husein dengan mata melebar. Husein menaikkan satu kaki ke atas paha kakinya yang lain. Dia santai sekali. Senyum kecil terbit di wajahnya. "Jangan kaget. Aku di sini untukmu."Irzan menelan saliva. Ia berusaha menenangkan diri, mengubah ekspresi wajahnya supaya tetap rileks. Beberapa detik berlalu
"Ini baru peringatan! Jika kau berperilaku lebih dari ini, maka aku dengan senang hati memberikan peringatan bertubi- tubi," tegas Husein kemudian melenggang pergi. "Sial!" Irzan mengumpat sambil meninju udara.Pria berkemeja hitam hanya bisa menatap prihatin, kemudian melengos pergi. Dan yang lebih sial lagi, Irzan menjadi pusat perhatian semua orang. Sejurus pandangan orang- orang di restoran menatap ke arahnya. Entah tatapan prihatin, atau malah tatapan mengejek. Mendapat tatapan menyebalkan itu, Irzan akhirnya kabur dari sana secepatnya.***Husein menghempaskan tubuh duduk ke sofa. Salah satu kakinya naik ke meja. Kedua lengan merentang di sandaran sofa, sedangkan kepala mendongak dan menyandar di sandaran sofa dengan mata terpejam.Pikirannya tertuju pada Irzan. Pria yang sempat dia temui dan mendapat bogem beberapa kali darinya. Tiba- tiba hidung Husein mencium aroma kopi. Ia membuka mata, melihat Habiba yang membawakan segelas kopi untuknya.Senyum di wajah cantik itu mere
"Kenapa kau tidak mau ikut aku menjenguknya bersama denganku?” tanya Husein mendengar Habiba menolak ajakannya."Aku ingin memberikan waktu lapang pada privasimu. Ketika aku ada di sampingmu, gerakanmu pasti terbatas. Bisa saja kamu merasa sungkan kepadaku untuk melakukan hal- hal yang ingin kamu lakukan," ucap Habiba."Contohnya?" tantang Husein."Memotivasi Cindy dengan menggenggam tangannya, membisikkan kata cinta, atau bahkan mencium pipinya." Habiba memutar sedikit posisi duduknya agak miring supaya wajahnya tidak tampak dari penglihatan Husein. "Aku justru tidak mau kau merasa tidak nyaman melihatku sering bolak- balik memasuki kamar Cindy," sahut Husein."Tidak masalah. Memang kita menginginkan dia sembuh, kan?" Habiba sebentar menatap Husein kemudian kembali mengalihkan pandangan lagi ke samping."Satu pertanyaanku, jika Tuhan menghendaki Cindy sembuh, dia kemudian hidup normal kembali seperti dulu. Apakah kasih sayangmu kepada Cindy akan tetap sama seperti sekarang?" tanya H
"Kau mau mendengarkan aku mengatakan cinta kepadamu kan?" bisik Husein. "Iya, Cindy. Aku mencintaimu. Aku minta kau pulih."Cindy meneteskan air mata dengan deras. Ia tidak bisa mengekspresikan kegembiraannya dengan tertawa girang, melompat, menjingkrak, atau memeluk suaminya erat. Cukup dengan mengedipkan mata yang kemudian air mata bertambah deras mengalir, sudah menunjukkan bahwa ia merasa sangat terharu sekaligus bahagia. "Kau mengakuiku sebagai istri?" lirih Cindy."Ya. Kau istriku.""Apakah rasa cintamu padaku sama besarnya dengan rasa cintamu pada Habiba?” lirih Cindy lebih seperti mengelantur, suaranya pun tak begitu jelas. Tatapan matanya juga terkadang kosong.“Tidak ada perbandingan diantara kalian berdua. Sekarang kau harus sembuh dulu. Harus sembuh. Aku akan minta kau membuatkan bubur untukku. Aku akan minta kau memasak dan aku akan memakannya.” Husein ingat, beberapa kali ia menolak masakan buatan Cindy. Dan itu membuatnya seperti mendapat tamparan keras.“Yy ya.
Setelah melewati beberapa ruangan, Husein masih belum menemukan boneka yang dicari. Dan akhirnya menemukan boneka itu tak jauh dari kamar Cindy.Husein membungkukkan badan untuk memungut boneka itu. Beberapa detik ia menatap boneka yang teronggok di lantai. Boneka itu mirip dengan boneka yang dulu pernah dibkara oleh Husein.Husein membolak- balikkan boneka, meneliti benda itu. memang mirip. Ia teringat, pernah membakar boneka yang hampir mirip, tak lain boneka pemberian Irzan.“Ini untukmu!” Husein memberikan boneka kuda kepada Sakha.Sakha mengangguk dan menenteng boneka itu.Mereka kemudian kembali ke ruang makan.Sakha duduk di kursi, menaruh boneka di kursi sebelahnya. Dia duduk dengan rapi, kedua tangan di atas meja seperti anak sekolah yang menunggu guru datang ke kelas.“Selamat makan!” Husein mengambilkan makan untuk Sakha dan menaruhnya di depan Sakha.Beberapa detik Sakha mengawasi nasi dan lauk yang ada di piringnya.“Kenapa? Apakah ada yang tidak disukai oleh Sakh
Beberapa minggu kemudian, kondisi Cindy akhirnya semakin membaik. Dia sudah bisa lepas dari peralatan medis. Tidak ada lagi selang infus di tangannya, tidak ada lagi monitor yang memantau detak jantungnya, tak ada pula selang oksigen atau pun nebulizer dan lain sebagainya yang mengganggu di wajahnya. Ia sudah bisa duduk di kursi roda. Habiba sangat telaten merawat dan mengobatinya. Urusan obat tidak pernah lalai, bahkan makan pun disuapi oleh Habiba. Tak lain makanan spesial buatan Fara yang menunya khusus resep dari Habiba."Kenapa kau bersedia menyembuhkan aku? Bukankah aku adalah sainganmu? Bukankah kau justru akan merasa bahagia saat aku tiada?" tanya Cindy pada Habiba dengan lirih, suaranya masih sangat lemah sekali. Kepalanya yang gundul tanpa rambut itu masih dalam balutan perban. Saat itu, Cindy tengah duduk di kursi roda "Aku sama sekali tidak menganggapmu sebagai saingan," jawab Habiba berusaha menampilkan ekspresi tenang dan datar, tanpa harus menonjolkan ekspresi te
Husein mengangkat tubuh Cindy dan membaringkannya ke kasur. Tangan Cindy memegangi lengan Husein, membuat tubuh pria itu tertahan di posisi membungkuk, sikunya menahan di atas kasur.“Aku boleh tidur?” lirih Cindy lemah sekali. “Tidurlah. Kau harus banyak beristirahat. Jangan banyak bicara! Itu akan memforsir tenagamu. Kau harus menahan untuk beraktifitas.” Perhatian Husein membuat Cindy terharu, hingga wajahnya terus saja menampilkan senyum meski lemah. Bibirnya memucat.“Husein, aku merasa sakit,” lirih Cindy.“Sakit?” Husein bingung.“Aku merasa sesak.” Cindy merintih.Husein menghambur keluar kamar. “Biba! Biba, coba kau lihat kondisi Cindy! Terjadi sesuatu terhadapnya.”Sialnya, Habiba sudah tidak ada di ruangan tadi. Husein mencari Habiba ke ruangan lain sambil berteriak memanggil.“Ada apa ini?” Fatona yang mendengar teriakan Husein pun keluar kamar dan menghampiri Husein yang melintas di depan kamarnya.“Mana Habiba?”“Ibu sudah tertidur dan terjaga karena ter
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu