Setelah melewati beberapa ruangan, Husein masih belum menemukan boneka yang dicari. Dan akhirnya menemukan boneka itu tak jauh dari kamar Cindy.Husein membungkukkan badan untuk memungut boneka itu. Beberapa detik ia menatap boneka yang teronggok di lantai. Boneka itu mirip dengan boneka yang dulu pernah dibkara oleh Husein.Husein membolak- balikkan boneka, meneliti benda itu. memang mirip. Ia teringat, pernah membakar boneka yang hampir mirip, tak lain boneka pemberian Irzan.“Ini untukmu!” Husein memberikan boneka kuda kepada Sakha.Sakha mengangguk dan menenteng boneka itu.Mereka kemudian kembali ke ruang makan.Sakha duduk di kursi, menaruh boneka di kursi sebelahnya. Dia duduk dengan rapi, kedua tangan di atas meja seperti anak sekolah yang menunggu guru datang ke kelas.“Selamat makan!” Husein mengambilkan makan untuk Sakha dan menaruhnya di depan Sakha.Beberapa detik Sakha mengawasi nasi dan lauk yang ada di piringnya.“Kenapa? Apakah ada yang tidak disukai oleh Sakh
Beberapa minggu kemudian, kondisi Cindy akhirnya semakin membaik. Dia sudah bisa lepas dari peralatan medis. Tidak ada lagi selang infus di tangannya, tidak ada lagi monitor yang memantau detak jantungnya, tak ada pula selang oksigen atau pun nebulizer dan lain sebagainya yang mengganggu di wajahnya. Ia sudah bisa duduk di kursi roda. Habiba sangat telaten merawat dan mengobatinya. Urusan obat tidak pernah lalai, bahkan makan pun disuapi oleh Habiba. Tak lain makanan spesial buatan Fara yang menunya khusus resep dari Habiba."Kenapa kau bersedia menyembuhkan aku? Bukankah aku adalah sainganmu? Bukankah kau justru akan merasa bahagia saat aku tiada?" tanya Cindy pada Habiba dengan lirih, suaranya masih sangat lemah sekali. Kepalanya yang gundul tanpa rambut itu masih dalam balutan perban. Saat itu, Cindy tengah duduk di kursi roda "Aku sama sekali tidak menganggapmu sebagai saingan," jawab Habiba berusaha menampilkan ekspresi tenang dan datar, tanpa harus menonjolkan ekspresi te
Husein mengangkat tubuh Cindy dan membaringkannya ke kasur. Tangan Cindy memegangi lengan Husein, membuat tubuh pria itu tertahan di posisi membungkuk, sikunya menahan di atas kasur.“Aku boleh tidur?” lirih Cindy lemah sekali. “Tidurlah. Kau harus banyak beristirahat. Jangan banyak bicara! Itu akan memforsir tenagamu. Kau harus menahan untuk beraktifitas.” Perhatian Husein membuat Cindy terharu, hingga wajahnya terus saja menampilkan senyum meski lemah. Bibirnya memucat.“Husein, aku merasa sakit,” lirih Cindy.“Sakit?” Husein bingung.“Aku merasa sesak.” Cindy merintih.Husein menghambur keluar kamar. “Biba! Biba, coba kau lihat kondisi Cindy! Terjadi sesuatu terhadapnya.”Sialnya, Habiba sudah tidak ada di ruangan tadi. Husein mencari Habiba ke ruangan lain sambil berteriak memanggil.“Ada apa ini?” Fatona yang mendengar teriakan Husein pun keluar kamar dan menghampiri Husein yang melintas di depan kamarnya.“Mana Habiba?”“Ibu sudah tertidur dan terjaga karena ter
Lima hari telah berlalu semenjak pemakaman Cindy. Masa berkabung masih terasa. Husein merasa kehilangan, perasaan itu muncul karena ia merasa banyak bersalah kepada Cindy. Dosanya menumpuk tinggi dan belum sempat ditebus. Kepergian Cindy membuatnya semakin merasa bersalah. Tapi setidaknya ia sudah memberikan yang terbaik di hari- hari terakhirnya Cindy, dengan memberikan kasih sayang dan harapan seperti yang diinginkan Cindy.Beberapa hari terakhir ini, Husein juga mengumpulkan semua barang- barang milik Cindy yang ada di rumahnya. Dibantu oleh Inez. Kemudian barang- barang itu dikemas rapi dan ditaruh di gudang.Sering kali Husein menuju ke gudang untuk melihat barang- barang milik Cindy, sekedar mengingat wanita itu. Penyesalan membuatnya jadi merasa sangat bersalah sudah menyia- nyiakan wanita yang sebenarnya tidak pernah bersalah itu. Butuh waktu beberapa hari untuk Husein menyadarkan diri bahwa sebenarnya ia hanya sedang merasa bersalah pada Cindy hingga rasa kehilang
“Jadi, sekarang bolehkah aku tahu dimana keberadaan Habiba?” tanya Husein.“Aku juga tidak tahu dimana tepatnya. Sudah dua hari dia pergi dan belum pulang.”“Dua hari? Dia tidak ijin kepadaku meninggalkan rumah selama dua hari.”“Kau marah?” ancam Fatona.Loh, Fatona sekarang sudah berani menunjukkan taringnya. Mentang- mentang naik jabatan jadi mertua. Duuh… Husein harus kuat- kuat sabar ini.“Tidak. Aku tidak marah,” jawab Husein meski giginya menggemeletuk.“Habiba sudah menghubungimu beberapa kali, tapi kau tidak mengangkatnya. Lalu, apakah dia harus terus meneleponmu sampai jempolnya keriting?” tanya Fatona.“Oh baiklah, aku yang salah. Okey, aku ingat dia sudah menghubungiku beberapa kali dan aku sedang sangat sibuk sehingga tidak sempat menjawabnya.”“Kau sudah mengabaikannya.”“Ya ya, aku salah.” Oh Tuhan, Husein benar- benar tidak kuat menghadapi Fatona yang terus saja menghakiminya. Tapi ia masih mampu menahan diri mengingat wanita ini adalah mertuanya."Apakah Hab
Husein berpikir kemana Habiba pergi. Fatona mengatakan bahwa ia tidak tahu dimana keberadaan Habiba, bahkan mengaku kalau ia tidak pernah dihubungi oleh Habiba, padahal mereka tetap berkomunikasi. Artinya, Fatona berbohong kalau dia tidak tahu keberadaan Habiba.Sebenarnya Husein bisa saja mengabaikan Habiba seperti yang dikatakan Amir, sebab Habiba pasti juga bakalan pulang. Namun Husein tidak seperti itu. Husein memanggil Fara, meminta supaya asisten rumah tangganya itu menemuinya di kamar."Kau tahu dimana keberadaan Habiba?" tanya Husein tegas."Mm... Tidak tahu, Tuan," jawab Fara menunduk."Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Kau kan menunggu rumah ini dua puluh empat jam, apakah Habiba tidak mengatakan kepadamu kemana dia pergi?""Tidak. Saya kan hanya pembantu, mana mungkin Non Biba pamitan sama saya.""Setidaknya kau pernah mendengar pembicaraan antara Habiba dan Bu Fatona mengenai keberadaan Habiba," selidik Husein."Mm tidak," jawab Fara."Yakin?""Yy yakin.""Kok, gugup?""
Husein memacu mobilnya menuju apartemen. Cilok ditaruh di kursi sampingnya. Semoga saja tidak menggelinding dan tumpah mengenai alas mobil saat Husein mengerem. Gara- gara si Tukimin, Husein jadi was- was menyetir mobil dan sesekali pandangannya tertuju ke arah kursi di sebelahnya, takut si cilok akan jatuh. Sesampainya di apartemen, Husein langsung membawa plastik beriisi empat kotak cilok keluar dan memasuki area apartemen. Ia melangkah gontai menuju tempat istrinya berada. Ia sangat hafal dengan posisi itu meski jarang ke sana.Dengan menggunakan kartu cadangan, Husein memasuki pintu kokoh itu. Di dalam sana, Habiba dan anak- anak pasti akan terkejut atas kedatangannya. Husein sudah membayangkan bagaimana ekspresi Habiba saat melihat kedatangannya. Wajah wanita itu pasti ditekuk. Ah, menggemaskan sekali. Husien tak sabar ingin menatap wajah sang istri.Terdengar suara saling sahut di dalam, suara anak- anak bermain, menjerit, tertawa renyah. Husein berhenti di balik dinding pem
“Aku minta maaf jika sikapku menyebalkan,” bujuk Husein kemudian memeluk Habiba dari arah belakang. “Jangan marah.”Habiba meletakkan kain lap. “Aku tidak marah.”“Tapi sikapmu berbeda. Wanita memang selalu begitu. Mengaku tidak marah, tapi nyatanya ngambek.”Habiba diam.“Kalau kau tidak marah, kenapa kau bisa ada di apartemen ini? Kau sengaja menghindariku bukan? Bahkan ibumu pun diajak sekongkol untuk membohongiku. Ini cara wanita ngambek. Iya, kan?”Habiba melepas lengan kekar Husein dari perutnya, ia balik badan, hingga mereka berhadapan. “Jujur, aku kecewa sama kamu,” ucap Habiba dengan wajah datarnya.Nah, akhirnya Habiba mengaku juga.“Aku sedih kehilangan Cindy. Di tengah rasa bersalah, aku masih harus kehilangan dia. Ditambah lagi sikapmu yang menyebalkan. Kita sama- sama kehilangan, tapi seolah- olah cuma kamu yang paling tersakiti.”Husein mendengarkan dengan setia. Semua yang dikatakan Habiba itu benar. “Aku maklum saat kamu pergi meninggalkanku dan bahkan