Husein memacu mobilnya menuju apartemen. Cilok ditaruh di kursi sampingnya. Semoga saja tidak menggelinding dan tumpah mengenai alas mobil saat Husein mengerem. Gara- gara si Tukimin, Husein jadi was- was menyetir mobil dan sesekali pandangannya tertuju ke arah kursi di sebelahnya, takut si cilok akan jatuh. Sesampainya di apartemen, Husein langsung membawa plastik beriisi empat kotak cilok keluar dan memasuki area apartemen. Ia melangkah gontai menuju tempat istrinya berada. Ia sangat hafal dengan posisi itu meski jarang ke sana.Dengan menggunakan kartu cadangan, Husein memasuki pintu kokoh itu. Di dalam sana, Habiba dan anak- anak pasti akan terkejut atas kedatangannya. Husein sudah membayangkan bagaimana ekspresi Habiba saat melihat kedatangannya. Wajah wanita itu pasti ditekuk. Ah, menggemaskan sekali. Husien tak sabar ingin menatap wajah sang istri.Terdengar suara saling sahut di dalam, suara anak- anak bermain, menjerit, tertawa renyah. Husein berhenti di balik dinding pem
“Aku minta maaf jika sikapku menyebalkan,” bujuk Husein kemudian memeluk Habiba dari arah belakang. “Jangan marah.”Habiba meletakkan kain lap. “Aku tidak marah.”“Tapi sikapmu berbeda. Wanita memang selalu begitu. Mengaku tidak marah, tapi nyatanya ngambek.”Habiba diam.“Kalau kau tidak marah, kenapa kau bisa ada di apartemen ini? Kau sengaja menghindariku bukan? Bahkan ibumu pun diajak sekongkol untuk membohongiku. Ini cara wanita ngambek. Iya, kan?”Habiba melepas lengan kekar Husein dari perutnya, ia balik badan, hingga mereka berhadapan. “Jujur, aku kecewa sama kamu,” ucap Habiba dengan wajah datarnya.Nah, akhirnya Habiba mengaku juga.“Aku sedih kehilangan Cindy. Di tengah rasa bersalah, aku masih harus kehilangan dia. Ditambah lagi sikapmu yang menyebalkan. Kita sama- sama kehilangan, tapi seolah- olah cuma kamu yang paling tersakiti.”Husein mendengarkan dengan setia. Semua yang dikatakan Habiba itu benar. “Aku maklum saat kamu pergi meninggalkanku dan bahkan
Habiba meletakkan punggung telapak tangannya ke kening Husein."Salah minum obat?" lirih Habiba memberanikan diri. Sebab ia tak yakin akan baik- baik saja setelah ini.Husein mengambil tangan Habiba yang ada di keningnya dan menurunkannya, memasangkannya ke pangkal pahanya.Seketika Habiba menegang merasakan sesuatu yang disentuh. Crazy!"Dari pada kau pegang keningku yang tidak memberikan manfaat apa pun, mendingan kau pegang bagian yang dapat memberikan banyak manfaat." Husein menaikkan alis, namun arti alis yang naik itu berbeda dengan naiknya alis Habiba."Hei, bagaimana kalau anak- anak lihat? Pemandangan dua puluh satu plus plus tidak baik jika dilihat mereka." Habiba menarik tangannya cepat."Nah, rupanya kau kalah juga. Itulah sebabnya kau jangan macam- macam pada suami. Lelaki bisa saja melakukan apa pun untuk dapat melumpuhkan wanita, termasuk yang itu tadi."Habiba memalingkan wajah. Suaminya benar- benar sudah aneh. Wajahnya memanas dan memerah. "Aku juga bisa membuatmu t
Habiba terpaku. Ah, benar juga. Apa ia hanya terobsesi saja? Namun perhatian matanya terus saja tertuju pada Sakha. Berharap memang tuduhannya itu benar seperti yang diprediksi oleh Cindy."Dokter sudah melakukan pemeriksaan dengan peralatan canggih, bahkan perilaku Sakha selama ini juga kelihatan jelas sebagai anak abnormal. Menurutku itu sudah jelas," ucap Husein.Habiba tak mau menanggapi. Ia hanya mengusap- usap lengan putranya. "Sakha, ini ada jam tangan untukmu, pembelian dari Tante Cindy." Husein melepas jam di tangan Sakha dan menggantinya dengan jam yang baru.Sakha menurut saja. Qansha menghentikan permainannya, menoleh kepada Sakha yang diberi jam tangan baru oleh Husein."Kau suka?" tanya Husein.Sakha mengangguk."Sekarang bicaralah pada papa.""Bicara apa?" tanya Sakha bingung."Bagaimana keseharianmu di sini selama tidak ada papa. Apakah kau senang? Dan apa saja kegiatanmu selama di sini?" Husein sengaja memancing Sakha bicara untuk melihat perubahan dan perkembangan
Sambil menyetir, Habiba mengetik pesan singkat kepada Husein..‘Jangan lupa menghadiri acara pertunjukan menari. Qansha menunggumu.’.Tidak ada balasan dari Husein. Bahkan pesan pun belum dibaca. Pagi- pagi sekali Husein sudah pergi bekerja. Habiba bahkan tidak sempat bertatap mata dnegan suaminya sejak pagi. Sebab saat ia bangun dan langsung mengurus anak, Husein pun tengah mandi. Lalu berngkat kerja tanpa sempat cipika cipiki dengan Habiba karena terburu- buru.Habiba terpaksa harus mengingatkan Husein mengenai jadwal menari yang akan diikuti oleh Qansha supaya Husein tidak lupa. Ia berharap momen ini akan menjadi momen bagi Qansha mengakui Husein sebagai papanya.Qasam ditinggal di rumah bersama dengan Fatona. Di hari libur begini, anak- anak menghabiskan waktu dengan kegiatan ringan tanpa harus bepergian jauh untuk liburan.“Ayo, Mom. Jangan lambat! Kita harus cepat sampai!” Gadis kecil yang duduk di sisi Habiba tampak sangat bersemangat. Kelesuanny tadi sudah hilang
"Ngosh ngosh...."Napas si tukang ojek benar- benar ngap- ngapan.Sudah sampai di area parkiran gedung. Husein langsung berlari menuju ke pintu gedung dengan tergesa- gesa. "Mas, Mas, uangnya belum dibayar," teriak tukang ojek membuat Husein menepuk keningnya sendiri. Lalu Husein balik lagi sambil mengeluarkan uang dan memberikannya kepada si tukang ojek."Loh, Mas...?""Apa lagi?" kesal Husein."Ini banyak sekali." Si tukang ojek menghitung uang lembaran warna merah yang baru saja diberikan Husein. "Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima ratus ribu. Waah... Ini kebanyakan.""Sudah. Untukmu." Husein tak mau banyak tanggapan. Ia langsung pergi begitu saja. Anggap saja uang itu adalah ganti rugi atas jantung si bapak yang sepanjang jalan hampir copot gara- gara Husein ngebut di jalan tadi. Sampai- sampai kedua tangan si bapak melingkar erat di perut Husein. Sepanjang jalan bapak itu teriak- teriak, dan akhirnya mukanya nyaris seperti mayat saat sudah sampai alamat tujuan, pucat pias sepe
Tangan mungil itu melingkar di tubuh besar Husein meski kedua tangan kecil itu tak sampai untuk saling bertaut.Tiba- tiba saja Husein memaku, balasan pelukan dari Qansha membuatnya seperti terhipnotis. Rasanya benar- benar berbeda. Jantungnya berdegup keras. Ada sisi bahagia yang membuncah dalam benaknya. Qansha melepas pelukan. Menatap Husein dengan wajah yang berbinar.“Ini papa, Nak!” ucap Husein yang hanya didengar oleh Qansha seorang.Keramaian di sekitar menelan suara yang tak begitu keras.Qansha tersenyum kemudian berucap, “Makasih, Papa.”Nyess…Ada yang mengalir deras dan terasa dingin mengalir di kalbu. Panggilan ‘papa’ yang diucapkan Qansha mengaduk- aduk perasaan Husein.“Kau sebutaku papa?” HUsein menatap lekat putrinya.Senyum Qansha melebar. “Papa.” Ia mengulang panggilannya.“Papa mau lihat kau tersenyum lebih lebar lagi.”“Ya, Pa.” Qansha tersenyum lebar seperti yang diminta. Lesung pipit di ekdua pipinya pun tampak. Kepalanya mengangguk hingga kuciran
“Oh No, papa sudah kekenyangan ini,” sahut Husein berushaa menolak dnegan halus.“Sungguh?” Qansha berusaha meyakinkan.“Apakah papa tidak mau disuapi olehku?” Tatapan Qansha penuh harapan.Ya Tuhan, Husein kalah telak oleh pertanyaan polos itu. Hubungannya dengan Qansha baru saja membaik, ia tidak mau hubungan yang baru saja membaik itu terluka oleh sikap yang membuat Qansha menjadi kecewa.Dengan terpaksa, Husein membuka mulutnya. Lalu menyantap cilok menyebalkan yang menurutnya aneh itu. Sial! Benda itu kembali melintas di tenggorokannya. Segera Husein meneguk minum secepatnya.“Enak kan, Pa?” tanya Qansha.Husein ingin mengatakan kalau dia tidak menyukai makanan itu, namun urung saat melirik wajah Tukimin, takut menyinggung. Meski dia dikenal sebagai bos arogan, namun setidaknya ia masih memiliki nurani untuk menghargai manusia lain.Husein terpaksa mengangguk.“Bungkus empat, pak!” pinta Habiba.Husein membelalak kaget. “Empat? Untuk siapa?”“Untuk Qasam dan ibu di rumah