“Oh No, papa sudah kekenyangan ini,” sahut Husein berushaa menolak dnegan halus.“Sungguh?” Qansha berusaha meyakinkan.“Apakah papa tidak mau disuapi olehku?” Tatapan Qansha penuh harapan.Ya Tuhan, Husein kalah telak oleh pertanyaan polos itu. Hubungannya dengan Qansha baru saja membaik, ia tidak mau hubungan yang baru saja membaik itu terluka oleh sikap yang membuat Qansha menjadi kecewa.Dengan terpaksa, Husein membuka mulutnya. Lalu menyantap cilok menyebalkan yang menurutnya aneh itu. Sial! Benda itu kembali melintas di tenggorokannya. Segera Husein meneguk minum secepatnya.“Enak kan, Pa?” tanya Qansha.Husein ingin mengatakan kalau dia tidak menyukai makanan itu, namun urung saat melirik wajah Tukimin, takut menyinggung. Meski dia dikenal sebagai bos arogan, namun setidaknya ia masih memiliki nurani untuk menghargai manusia lain.Husein terpaksa mengangguk.“Bungkus empat, pak!” pinta Habiba.Husein membelalak kaget. “Empat? Untuk siapa?”“Untuk Qasam dan ibu di rumah
"Emran dan keluarganya terpaksa harus bertanggung jawab dengan memulangkan kerugian yang Mas Husein alami. Keuntungan dari perusahaannya seluruhnya diberikan kepada Mas Husein sesuai kesepakatan," jelas Inez.Habiba mengangguki perkataan Inez."Saat ini, Mas Husein sedang berusaha membangkitkan kembali perusahaan papa yang sudah tumbang. Dia juga mencoba membangun kepercayaan pada konsumen dengan banyak cara. Memulai dengan membangun kepercayaan inilah maka ia berangsur- angsur membangkitkan kembali perusahaan itu. Pun ia menggandeng pihak yang berwajib untuk memperkuat fakta bahwa perusahaan papa yang kembali dia bangun itu aman dan terjamin. Berbagai usaha dia lakukan. Modalnya juga sangat besar."Habiba tertegun mendengar perkataan Inez. Tak menyangka ternyata suaminya segigih itu. Ada rasa bangga menyelinap dalam benaknya. Husein memang pria yang tangguh. "Emran tidak bisa mengembangkan bisnisnya. Dia kehilangan banyak modal. Kemarin dia datang kemari dan meminta supaya dia bisa
"Kau ingin aku sependapat denganmu juga?" balas Tomy tak kalah menegang."Tidak perlu kita sependapat, tapi perbuatan Irzan tidak bisa dibenarkan. Aku menyalahkan dia dalam hal ini. Kalau aku mau, bahkan aku bisa memberi pelajaran lebih dari hanya sekedar memukulnya. Lalu bagaimana aku bisa menerima pernyataanmu yang membenarkan perbuatan Irzan?” bantah Husein.Tomy menghela napas panjang. Ia ingin menyela perkataan Husein, namun keduluan Husein bicara lagi. "Masalah kelalaian, resikonya itu menjadi bagian kami, dia tidak perlu mencampurinya, apa lagi sampai melakukan penculikan begini. Benar- benar tidak masuk akal," timpal Husein lagi. "Mas Tomy tidak berada di posisi kami, jadi Mas Tomy bisa bicara begitu," lembut Habiba membela sang suami.“Ck ck ck…” Tomy melangkah pergi sambil geleng- geleng kepala. Ekspresinya menunjukkan rasa tidak sependapat dengan keputusan Habiba dan Husein.Habiba hendak mengejar untuk memberikan penjelasan lebih banyak lagi, namun ditahan oleh Husein.
“Apa? Mas Tomy mau penjarakan Mas Husein karena masalah ini?” Habiba terkejut. Pacu jantungnya terasa cepat. “Ini bukan masalah kecil lagi. Ini masalah nyawa.”“Tidak, Mas. Kita bicarakan ini baik- baik dulu. Jangan ambil tindakan gegabah.”“Gegabah? Kalau nyawaku melayang, apakah kau masih anggap ini masalah sepele?” Tomy kesal.“Mas Tomy hanya sedang emosi saja, makanya mengambil keputusan ini. pikirkan dulu matang- matang langkah yang akan Mas Tomy ambil! Jangan hanya mengandalkan emosi semata.”“Kau terlalu menyepelekan aku. Dengan masalah sebesar ini pun, kau masih saja membela suamimu itu.” Tomy beranjak pergi, ia menghentikan taksi yang melintas di depan.“Mas, jangan! Hentikan ini! tolong!” Habiba menarik lengan Tomy saat kakaknya itu hendak masuk ke mobil.“Memang sudah sejak awal aku keliru. Seharusnya aku tidak menikahkanmu dengannya. Setelah kearoganan yang dia lakukan kepadaku, apakah dia masih akan menjadi suami yang baik untukmu? Sekarang dia melakuk
"Kaku sekali mukamu?" tanya Husein."Eh, tidak. Ini hanya efek kepanikan yang tadi." Habiba berusaha mengubah ekspersinya meski sulit."Kau bilang Tomy tidak parah, artinya kai tidak perlu sekhawatir itu.""Iya iya. Aku tidak terlalu khawatir." Habiba tersenyum getir."Aku pun tidak ingin lama berada di sini. Aku ingin pulang. Terutama aku ingin menemui Tomy dan meminta maaf kepadanya. Walau bagaimana pun ini salahku karena lalai.""Dokter bilang apa? Apakah kau harus dirawat?""Tidak. Hanya luka luar saja, dan lebam sedikit. Nanti juga sudah boleh pulang. Jangan menatapku seperti orang lemah. Aku akan baik." Husein menjawil dagu Habiba.Habiba menelan saliva. Bingung menentukan sikap. Beginikah rasanya menelan kekhawatiran seorang diri? Sekarang bagaimana caranya ia mencegah Tomy? "Aku tinggal sebentar," ucap Habiba kemudian keluar kamar. Ia menelepon Fatona dan menjelaskan semua yang telah terjadi. "Bagaimana caranya supaya Mas Tomy tidak melaporkan kasus ini ke meja hijau. Ini a
"Mama!"Teriakan Qansha mengalihkan perhatian Habiba.Senyum Habiba melebar menatap Qansha yang tersenyum ke arahnya. "Kemarilah, Ma!" Qansha melambaikan tangan.Habiba pun mendekat ke arah putrinya."Lihat, Ma. Papa katanya sudah sembuh. Kakinya yang terluka ini sudah membaik. Papa sudah boleh pulang!" Qansha menunjuk kakinya Husein yang dibalut perban."Iya, papa sudah membaik. Hanya tinggal pemulihan saja. Itu paling hanya sekedar nyeri saja, tidak parah kok," sahut Habiba mencoba membuat putrinya tidak cemas."Baiklah, kalau begitu Qansha bisa minta gendong papa, dong!" sahut Qansha."Hei, jangan dulu. Nanti kalau papa.sudha bisa berlari dengan kencang, barulah Qansha minta gendong," balas Habiba sambil membayangkan rasa ngilu jika Husein mengikuti kemauan Qansha yang minta digendong saat kaki Husein dalam keadaan terluka begini."Sungguh? Benarkah papa tidak bisa menggendongku saat kaki papa terluka sedikit begini? Papa bilang tadi ini hanya luka sedikit kan?" tanya Qansha polos
Husein tersenyum. Berusaha menampilkan ekspresi serileks mungkin supaya tidak menimbulkan keresahan pada anak- anaknya."Pak Polisi sedang bertamu, menemui papa dan mengajak papa. Mereka sedang bekerja," jawab Husein."Oh... Apakah papa sangat dibutuhkan pak Polisi? Mereka bekerja tapi malah menemui papa. Mereka menjenguk papa juga, ya?" Qansha benar- benar merasa penasaran atas kedatangan polisi. Husein hanya tersenyum singkat. Lalu menurunkan tubuh Qansha dari gendongan."Kasian papa ya, kasian sekali. Capek dan sakit tapi masih harus ditemui polisi," celetuk Qansha polos sekali. "Mari, Pak. Kami harus membawa bapak," ucap Polisi sambil menyodorkan sebuah borgol."Jangan lakukan ini!" tegas Husein dengan sorot mata yang juga tegas. "Aku akan kooperatif. Di depan anak- anakku, ini tidak boleh dilakukan. Aku bukan pembunuh atau bahkan koruptor yang menjijikkan."Para pria berseragam menatap dua anak yang terus mengawasi dengan serius. Mereka memahami. Kemudian mengangguk."Aku pamit
"Pak Pol, tolong jangan bawa papa!" Qasam terus menjerit.Melihat tangisan dan teriakan Qasam, Qansha pun baru menyadari bahwa ternyata papanya ditangkap dan akan dibawa pergi seperti yang pernah dia lihat di televisi. Ia telat menyadari kejadian yang sebenarnya.Qansha lalu berlari mengejar Husein. "Papaaaaa..... Jangan pergi! Jangan tinggalkan Qansha."Tidak ada respon dari Husein dan para pria yang mengawalnya. Hanya punggung yang semakin menjauh saja yang kini menjadi pemandangan Qansha. Bocah itu terus berlari sambil memohon pada polisi agar tidak membawa papanya pergi. Namun naas, ia terjatuh akibat tersandung. Tubuhnya yang kecil terjerembab dan menghantam lantai. Saat itulah Husein berhenti, lalu menoleh melihat anaknya yang terjatuh sambil melambaikan tangan ke arahnya.Husein terpaku di tempat.Qansha bangkit dan berlari mengejar papanya. Demikian Qasam yang juga berlari mengejar. Keduanya menghambur. Husein memposisikan tubuhnya jongkok supaya bisa menangkap dan merengkuh
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu