Husein tersenyum. Berusaha menampilkan ekspresi serileks mungkin supaya tidak menimbulkan keresahan pada anak- anaknya."Pak Polisi sedang bertamu, menemui papa dan mengajak papa. Mereka sedang bekerja," jawab Husein."Oh... Apakah papa sangat dibutuhkan pak Polisi? Mereka bekerja tapi malah menemui papa. Mereka menjenguk papa juga, ya?" Qansha benar- benar merasa penasaran atas kedatangan polisi. Husein hanya tersenyum singkat. Lalu menurunkan tubuh Qansha dari gendongan."Kasian papa ya, kasian sekali. Capek dan sakit tapi masih harus ditemui polisi," celetuk Qansha polos sekali. "Mari, Pak. Kami harus membawa bapak," ucap Polisi sambil menyodorkan sebuah borgol."Jangan lakukan ini!" tegas Husein dengan sorot mata yang juga tegas. "Aku akan kooperatif. Di depan anak- anakku, ini tidak boleh dilakukan. Aku bukan pembunuh atau bahkan koruptor yang menjijikkan."Para pria berseragam menatap dua anak yang terus mengawasi dengan serius. Mereka memahami. Kemudian mengangguk."Aku pamit
"Pak Pol, tolong jangan bawa papa!" Qasam terus menjerit.Melihat tangisan dan teriakan Qasam, Qansha pun baru menyadari bahwa ternyata papanya ditangkap dan akan dibawa pergi seperti yang pernah dia lihat di televisi. Ia telat menyadari kejadian yang sebenarnya.Qansha lalu berlari mengejar Husein. "Papaaaaa..... Jangan pergi! Jangan tinggalkan Qansha."Tidak ada respon dari Husein dan para pria yang mengawalnya. Hanya punggung yang semakin menjauh saja yang kini menjadi pemandangan Qansha. Bocah itu terus berlari sambil memohon pada polisi agar tidak membawa papanya pergi. Namun naas, ia terjatuh akibat tersandung. Tubuhnya yang kecil terjerembab dan menghantam lantai. Saat itulah Husein berhenti, lalu menoleh melihat anaknya yang terjatuh sambil melambaikan tangan ke arahnya.Husein terpaku di tempat.Qansha bangkit dan berlari mengejar papanya. Demikian Qasam yang juga berlari mengejar. Keduanya menghambur. Husein memposisikan tubuhnya jongkok supaya bisa menangkap dan merengkuh
"Kau tahu Mas Tomy pergi kemana?" tanya Habiba tanpa ingin menanggapi kalimat yang diucapkan Irzan. Itu terlalu sensitif untuk dibahas dengan Irzan. Pria ini tidak menyukai Husein, maka tidak baik membicarakan hal itu."Tomy yidak bilang pergi kemana. Terakhir, aku lihat dia di kantor polisi, setelah itu aku tidak melihatnya lagi.""Irzan, aku harap masalah ini tidak ada campur tangan darimu.""Maksudmu? Kau mengira ada dalang dari masalah ini? Dan aku mendalanginya? Aku bisa berbuat apa?""Aku tidak bilang begitu. Aku hanya tidak mau ada campur tanganmu dalam masalah ini. Misalnya, menghasut Mas Tomy, atau mempengaruhi dia hingga Mas Tomy berseberangan pendapat denganku."Irzan menyungging senyum. "Biba, sejak dulu sampai sekarang, aku tidak pernah punya niat buruk terhadapmu, juga terbadap Husein. Kalau pun ada masalah antara kita saat Qasam bersamaku, itu sudah aku jelaskan, bahwa itu hanya salah paham. Dan aku tidak punya niat hutuk, hanya ingin memberika perhatian khusus kepadamu
“Lalu aku disebut sebagai pembunuh hanya karena aku disuruh atasan mengantar dokumen ke tempat kejadian. Aku ditetapkan sebagai tersangka,” sambung Panjul menceritakan kisah pelik hidupnya. “Hakim, jaksa, oknum pemerintahan, oknum anggota dewan, dan semua orang yang terlibat benar- benar telah mengkondisikan semua ini. Mereka pemain sandiwara yang handal. Aku bisa apa?"Husein kini sadar satu hal, bahwa ternyata dirinya bukanlah satu- satunya manusia paling menyedihkan di dunia ini. Masih ada orang lain yang bahkan mengalami hal jauh lebih menyakitkan dibanding dirinya. Dan hanya dengan mendengarkan saja, Husein merasa pahit sekali. Apa lagi dia yang mengalaminya."Jika di pemberitaan heboh disebut namaku, Panjul si pembunuh saksi kunci mega korupsi, maka itu adalah aku," imbuh pria bernama Panjul itu. "Jauh- jauh aku ke Jakarta untuk mengadu nasib, tapi hasilnya seperti ini.”Panjul menghelna anpas.“Bahkan ayah dan ibuku, serta keluargaku lainnya juga pasti kecewa terhadapku. Sebag
"Kau boleh ceraikan Habiba jika kau mau bebas dari sini. Bagaimana?" tawar Tomy."Kau benar- benar sudah terhasut oleh perasaan benci padaku." husein geleng- geleng kepala."Tidak. Tidak ada kebencian. Ini hanya bentuk konsekuensi atas perbuatanmu yang didominasi oleh emosi.""Tanyakan pada nuranimu, apakah sebatas itu saja alasanku mencelakaimu?" Husein tetap tenang kali ini. "Awalnya aku juga sudah yakin bahwa pilihan adikku adalah orang yang tepat. Aku melihat kau bisa menjaga dan menyayanginya dengan sempurna. Tapi sampai di titik ini, aku mulai berpikir logis, bahwa orang yang aku nikahkan dua kali dengannya adalah calon psikopat.""Penilaianmu terlalu cepat, Tomy." Husein tak ingin bicara banyak lagi, percuma menjelaskan banyak hal. Keyakinan Tomy sudah bulat dan sulit diubah lagi. Jika Husein meminta perdamaian dengan memberikan penjelasan panjang lebar, Tomy hanya akan menertawakan dan mencemeehnya, menganggap Husein sedang mengemis demi kebebasannya. Harga diri Husein tida
Husein dikawal memasuki ruang besuk yang telah membuatnya jemu. Beberapa kali ia harus memasuki ruangan itu, namun tak satu pun sosok yang diharapkan muncul. Husein berhenti di pintu, menatap sosok yang berdiri di tengah- tengah ruangan. Hanya bagian punggung saja yang terjangkau oleh pandangan matanya. “Habiba!” panggil Husein.Wanita yang berdiri memunggunginya itu pun menoleh. Tepat dugaan Husein. Itu adalah Habiba. Tak perlu melihat wajah lawannya untuk bisa menebak postur tubuh istrinya, Husein sudah sangat mengenal postur tubuh itu, bahkan setiap inchinya pun dia tahu. Maka tak perlu mempertanyakan hal itu.Habiba meghambur dan memeluk Husein. Tak perlu aba- aba, tangisnya langsung pecah.Husein mengangkat lengannya dan membalas pelukan itu. Dia elus punggung Habiba.“Jangan menangis! Kau tidak pantas menangisiku!” bisik Husein dengan sangat tenang. Dia mengecup pucuk kepala Habiba.Tidak ada jawaban. Habiba masih terus menangis. Tak bisa berkata- kata. “Kalau
Habiba kecewa. Sendoknya yang sudah mengarah ke mulut Husein hanya tergantung di udara. Rasanya ia baru sebentar saja menghabiskan waktu di sana, tapi waktu sudah habis. Waktu berjlan begitu cepat, sampai ia tak sadar sudah berputar cukup lama.“Bolehkah suamiku menghabiskan makan dulu?” tanya Habiba.“Tidak. Waktu besuk sudah habis, Bu.”Habiba menurunkan tangan dan mengembalikan sendok ke tempatnya. “Mas Husein, bawa rantang ini dan makanlah di dalam.”Husein tersenyum. “Aku sudah memasak untukmu, jangan biarkan aku kecewa karena ini,” ucap Habiba.“Boleh aku bawa makanan ini ke dalam, Pak?” tanya Husein pada penjaga.“Boleh. Silakan, Pak!” jawab polisi itu.Habiba tersenyum senang mendengar jawaban itu. Ia secepatnya mengemas rantang dan menjadikannya dalam satu tumpukan. “Ini, Mas Husein. Kamu makan ya! Aku tidak mau kamu jadi kurus di dalam sana.” Habiba menyerahkan rantang.Disambut oleh Husein. “Baiklah, akan aku makan.”“Ini selimut untukmu!” habiba mengeluark
"Dia pasti tidak akan mau denganku. Aku hanya orang biasa. Mana mungkin pantas dengan wanita cantik rupawan yang notabene adalah adik seorang pengusaha besar sepertimu."Husein menyungging senyum. "Kau minder?""Aku merasa tidak pantas. Aku maunya wanita biasa saja.""Kau boleh menentukan mau atau tidak setelah bertemu dengan Inez.""Namanya Inez?" tanya Panjul."Ya.""Dari namanya, aku bisa bayangkan bahwa dia adalah wanita yang cantik, tubuhnya tinggi, langsing, kulit putih. Dia bukan pekerja keras, dia terbiasa hidup enak. Tapi baik hati."Husein tersenyum kecil. Lumayan, ia mendapat hiburan dengan mengobrol bersama Panjul di sini. Andai saja tak ada Panjul, entah bagaimana ia merasa bosan di sana."Teman satu ruangan denganmu mana? Kulihat sejak tadi tidak ada?" tanya Husein."Sudah mendapat vonis hukuman dan dipindahkan."Husein memejamkan mata. Ingin tidur. Tapi wajah Habiba malah membayang di pelupuk matanya. Wajah sedih yang menangis itu mengganggu pikirannya. Seharusnya ia m