“Lalu aku disebut sebagai pembunuh hanya karena aku disuruh atasan mengantar dokumen ke tempat kejadian. Aku ditetapkan sebagai tersangka,” sambung Panjul menceritakan kisah pelik hidupnya. “Hakim, jaksa, oknum pemerintahan, oknum anggota dewan, dan semua orang yang terlibat benar- benar telah mengkondisikan semua ini. Mereka pemain sandiwara yang handal. Aku bisa apa?"Husein kini sadar satu hal, bahwa ternyata dirinya bukanlah satu- satunya manusia paling menyedihkan di dunia ini. Masih ada orang lain yang bahkan mengalami hal jauh lebih menyakitkan dibanding dirinya. Dan hanya dengan mendengarkan saja, Husein merasa pahit sekali. Apa lagi dia yang mengalaminya."Jika di pemberitaan heboh disebut namaku, Panjul si pembunuh saksi kunci mega korupsi, maka itu adalah aku," imbuh pria bernama Panjul itu. "Jauh- jauh aku ke Jakarta untuk mengadu nasib, tapi hasilnya seperti ini.”Panjul menghelna anpas.“Bahkan ayah dan ibuku, serta keluargaku lainnya juga pasti kecewa terhadapku. Sebag
"Kau boleh ceraikan Habiba jika kau mau bebas dari sini. Bagaimana?" tawar Tomy."Kau benar- benar sudah terhasut oleh perasaan benci padaku." husein geleng- geleng kepala."Tidak. Tidak ada kebencian. Ini hanya bentuk konsekuensi atas perbuatanmu yang didominasi oleh emosi.""Tanyakan pada nuranimu, apakah sebatas itu saja alasanku mencelakaimu?" Husein tetap tenang kali ini. "Awalnya aku juga sudah yakin bahwa pilihan adikku adalah orang yang tepat. Aku melihat kau bisa menjaga dan menyayanginya dengan sempurna. Tapi sampai di titik ini, aku mulai berpikir logis, bahwa orang yang aku nikahkan dua kali dengannya adalah calon psikopat.""Penilaianmu terlalu cepat, Tomy." Husein tak ingin bicara banyak lagi, percuma menjelaskan banyak hal. Keyakinan Tomy sudah bulat dan sulit diubah lagi. Jika Husein meminta perdamaian dengan memberikan penjelasan panjang lebar, Tomy hanya akan menertawakan dan mencemeehnya, menganggap Husein sedang mengemis demi kebebasannya. Harga diri Husein tida
Husein dikawal memasuki ruang besuk yang telah membuatnya jemu. Beberapa kali ia harus memasuki ruangan itu, namun tak satu pun sosok yang diharapkan muncul. Husein berhenti di pintu, menatap sosok yang berdiri di tengah- tengah ruangan. Hanya bagian punggung saja yang terjangkau oleh pandangan matanya. “Habiba!” panggil Husein.Wanita yang berdiri memunggunginya itu pun menoleh. Tepat dugaan Husein. Itu adalah Habiba. Tak perlu melihat wajah lawannya untuk bisa menebak postur tubuh istrinya, Husein sudah sangat mengenal postur tubuh itu, bahkan setiap inchinya pun dia tahu. Maka tak perlu mempertanyakan hal itu.Habiba meghambur dan memeluk Husein. Tak perlu aba- aba, tangisnya langsung pecah.Husein mengangkat lengannya dan membalas pelukan itu. Dia elus punggung Habiba.“Jangan menangis! Kau tidak pantas menangisiku!” bisik Husein dengan sangat tenang. Dia mengecup pucuk kepala Habiba.Tidak ada jawaban. Habiba masih terus menangis. Tak bisa berkata- kata. “Kalau
Habiba kecewa. Sendoknya yang sudah mengarah ke mulut Husein hanya tergantung di udara. Rasanya ia baru sebentar saja menghabiskan waktu di sana, tapi waktu sudah habis. Waktu berjlan begitu cepat, sampai ia tak sadar sudah berputar cukup lama.“Bolehkah suamiku menghabiskan makan dulu?” tanya Habiba.“Tidak. Waktu besuk sudah habis, Bu.”Habiba menurunkan tangan dan mengembalikan sendok ke tempatnya. “Mas Husein, bawa rantang ini dan makanlah di dalam.”Husein tersenyum. “Aku sudah memasak untukmu, jangan biarkan aku kecewa karena ini,” ucap Habiba.“Boleh aku bawa makanan ini ke dalam, Pak?” tanya Husein pada penjaga.“Boleh. Silakan, Pak!” jawab polisi itu.Habiba tersenyum senang mendengar jawaban itu. Ia secepatnya mengemas rantang dan menjadikannya dalam satu tumpukan. “Ini, Mas Husein. Kamu makan ya! Aku tidak mau kamu jadi kurus di dalam sana.” Habiba menyerahkan rantang.Disambut oleh Husein. “Baiklah, akan aku makan.”“Ini selimut untukmu!” habiba mengeluark
"Dia pasti tidak akan mau denganku. Aku hanya orang biasa. Mana mungkin pantas dengan wanita cantik rupawan yang notabene adalah adik seorang pengusaha besar sepertimu."Husein menyungging senyum. "Kau minder?""Aku merasa tidak pantas. Aku maunya wanita biasa saja.""Kau boleh menentukan mau atau tidak setelah bertemu dengan Inez.""Namanya Inez?" tanya Panjul."Ya.""Dari namanya, aku bisa bayangkan bahwa dia adalah wanita yang cantik, tubuhnya tinggi, langsing, kulit putih. Dia bukan pekerja keras, dia terbiasa hidup enak. Tapi baik hati."Husein tersenyum kecil. Lumayan, ia mendapat hiburan dengan mengobrol bersama Panjul di sini. Andai saja tak ada Panjul, entah bagaimana ia merasa bosan di sana."Teman satu ruangan denganmu mana? Kulihat sejak tadi tidak ada?" tanya Husein."Sudah mendapat vonis hukuman dan dipindahkan."Husein memejamkan mata. Ingin tidur. Tapi wajah Habiba malah membayang di pelupuk matanya. Wajah sedih yang menangis itu mengganggu pikirannya. Seharusnya ia m
Qasam yang dulu benar- benar sudah hilang dan berganti dengan Qasam yang cerdas, dia memahami kejadian di sekitarnya. Maka Habiba kesulitan menyembunyikannya."Dari mana Qasam bisa bilang begitu?" tanya Habiba, seingatnya Qasam tidak sempat melihat kecelakaan di halaman rumah waktu itu.Jika ia sampai mengetahui kronologis kejadian itu, artinya ada seseorang yang menyampaikan kepadanya. "Bibi Fara yang bilang. Katanya papa menabrak Paman Tomy, jadi papa ditangkap."Dada Habiba tiba- tiba terasa panas sekali. Sudah sesulit ini ia berusaha memberi pengertian dari anak- anaknya, menjauhkan pikiran anak- anak dari pemahaman kriminal, tapi Fara malah dengan gampangnya membahas hal itu."Tidak. Papa tidak bersalah. Yang namanya kecelakaan itu terjadi karena tidak disengaja. Tapi papa harus ditangkap karena ketidak sengajaan. Kasian papa kan?" sahut Habiba dengan lembut meski hatinya menggejolak panas.Qasam mengangguk. "Nanti Qasam akan doakan papa, minta Tuhan kembalikan papa pulang.""Ya
Lampu merah sudah berganti menjadi hijau.Orang- orang di belakang sibuk melambaikan tangan dengan isyarat menghalau Habiba dan Tomy yang masih diam di tempat. Tomy memerintah tukang ojek, “Jalan, Pak!”Tukang ojek menjalankan motor. Habiba menghela napas kasar. Dia ditinggal pergi begitu saja oleh Tomy.Sial! Berderet mobil di belakang mobilnya pun membunyikan klakson, suaranya bertubi- tubi, melengking memekakkan telinga. Habiba berlari mendekati mobilnya menyeberangi jalan, hampir terserempet mobil lain dan membuat pemilik mobil mengumpat.Habiba mengangkat tlapak tangan ke atas sebagai isyarat permintaan maafnya kepada orang- orang di belakangnya yang merasakan akses jalannya terhambat sambil memasuki mobil.Sial sekali nasib Habiba kali ini. Orang- orang pun mengumpatinya.“Sabar! Sabar! Oke, aku akan menjalankan mobil secepatnya."Mobil melesat.***Habiba menghempas duduk di balik meja, di kursi putar tempat kerjanya. Ia memutar- mutar kursinya. Matanya sesekali terpejam, meng
Sebelum semuanya jelas, Habiba tak mau ada yang mengetahui hubungan antara dirinya dengan Husein. takutnya mereka malah salah paham, mengira selama ini memang benar Habiba menjadi selingkuhannya Husein hingga setelah Cindy meninggal, Habiba benar- benar menggantikan posisi itu.Akan ada waktu yang tepat untuk membongkar rahasia itu jika memang perlu dibongkar. Namun jika tidak perlu, maka selamanya tak perlu ada pengkuan di publik. Toh hidup Habiba bukanlah untuk konsumsi publik.“Aku berkata benar bukan?” ucap Ezar dengan senyum simpul.“Maksudmu apa? Aku tidak mengerti.”“Maksudku, kau adalah aktor di balik isahnya Tuan Husein. jadi kau dan dia sudah tahu permasalahan yang sebenarnya. Lalu untuk apa kau merasa kepo sementara kau adalah pelakunya? Sebenarnya aku hanya ingin bilang satu hal kepadamu, aku cukup kecewa jika benar kau adalah sleingkuhannya Tuan Husein. Bahkan saat istrinya Tuan Husein meninggal, aku meyakini bahwa istrinya itu kecelakaan karena di hatinya itu ter