"Emran dan keluarganya terpaksa harus bertanggung jawab dengan memulangkan kerugian yang Mas Husein alami. Keuntungan dari perusahaannya seluruhnya diberikan kepada Mas Husein sesuai kesepakatan," jelas Inez.Habiba mengangguki perkataan Inez."Saat ini, Mas Husein sedang berusaha membangkitkan kembali perusahaan papa yang sudah tumbang. Dia juga mencoba membangun kepercayaan pada konsumen dengan banyak cara. Memulai dengan membangun kepercayaan inilah maka ia berangsur- angsur membangkitkan kembali perusahaan itu. Pun ia menggandeng pihak yang berwajib untuk memperkuat fakta bahwa perusahaan papa yang kembali dia bangun itu aman dan terjamin. Berbagai usaha dia lakukan. Modalnya juga sangat besar."Habiba tertegun mendengar perkataan Inez. Tak menyangka ternyata suaminya segigih itu. Ada rasa bangga menyelinap dalam benaknya. Husein memang pria yang tangguh. "Emran tidak bisa mengembangkan bisnisnya. Dia kehilangan banyak modal. Kemarin dia datang kemari dan meminta supaya dia bisa
"Kau ingin aku sependapat denganmu juga?" balas Tomy tak kalah menegang."Tidak perlu kita sependapat, tapi perbuatan Irzan tidak bisa dibenarkan. Aku menyalahkan dia dalam hal ini. Kalau aku mau, bahkan aku bisa memberi pelajaran lebih dari hanya sekedar memukulnya. Lalu bagaimana aku bisa menerima pernyataanmu yang membenarkan perbuatan Irzan?” bantah Husein.Tomy menghela napas panjang. Ia ingin menyela perkataan Husein, namun keduluan Husein bicara lagi. "Masalah kelalaian, resikonya itu menjadi bagian kami, dia tidak perlu mencampurinya, apa lagi sampai melakukan penculikan begini. Benar- benar tidak masuk akal," timpal Husein lagi. "Mas Tomy tidak berada di posisi kami, jadi Mas Tomy bisa bicara begitu," lembut Habiba membela sang suami.“Ck ck ck…” Tomy melangkah pergi sambil geleng- geleng kepala. Ekspresinya menunjukkan rasa tidak sependapat dengan keputusan Habiba dan Husein.Habiba hendak mengejar untuk memberikan penjelasan lebih banyak lagi, namun ditahan oleh Husein.
“Apa? Mas Tomy mau penjarakan Mas Husein karena masalah ini?” Habiba terkejut. Pacu jantungnya terasa cepat. “Ini bukan masalah kecil lagi. Ini masalah nyawa.”“Tidak, Mas. Kita bicarakan ini baik- baik dulu. Jangan ambil tindakan gegabah.”“Gegabah? Kalau nyawaku melayang, apakah kau masih anggap ini masalah sepele?” Tomy kesal.“Mas Tomy hanya sedang emosi saja, makanya mengambil keputusan ini. pikirkan dulu matang- matang langkah yang akan Mas Tomy ambil! Jangan hanya mengandalkan emosi semata.”“Kau terlalu menyepelekan aku. Dengan masalah sebesar ini pun, kau masih saja membela suamimu itu.” Tomy beranjak pergi, ia menghentikan taksi yang melintas di depan.“Mas, jangan! Hentikan ini! tolong!” Habiba menarik lengan Tomy saat kakaknya itu hendak masuk ke mobil.“Memang sudah sejak awal aku keliru. Seharusnya aku tidak menikahkanmu dengannya. Setelah kearoganan yang dia lakukan kepadaku, apakah dia masih akan menjadi suami yang baik untukmu? Sekarang dia melakuk
"Kaku sekali mukamu?" tanya Husein."Eh, tidak. Ini hanya efek kepanikan yang tadi." Habiba berusaha mengubah ekspersinya meski sulit."Kau bilang Tomy tidak parah, artinya kai tidak perlu sekhawatir itu.""Iya iya. Aku tidak terlalu khawatir." Habiba tersenyum getir."Aku pun tidak ingin lama berada di sini. Aku ingin pulang. Terutama aku ingin menemui Tomy dan meminta maaf kepadanya. Walau bagaimana pun ini salahku karena lalai.""Dokter bilang apa? Apakah kau harus dirawat?""Tidak. Hanya luka luar saja, dan lebam sedikit. Nanti juga sudah boleh pulang. Jangan menatapku seperti orang lemah. Aku akan baik." Husein menjawil dagu Habiba.Habiba menelan saliva. Bingung menentukan sikap. Beginikah rasanya menelan kekhawatiran seorang diri? Sekarang bagaimana caranya ia mencegah Tomy? "Aku tinggal sebentar," ucap Habiba kemudian keluar kamar. Ia menelepon Fatona dan menjelaskan semua yang telah terjadi. "Bagaimana caranya supaya Mas Tomy tidak melaporkan kasus ini ke meja hijau. Ini a
"Mama!"Teriakan Qansha mengalihkan perhatian Habiba.Senyum Habiba melebar menatap Qansha yang tersenyum ke arahnya. "Kemarilah, Ma!" Qansha melambaikan tangan.Habiba pun mendekat ke arah putrinya."Lihat, Ma. Papa katanya sudah sembuh. Kakinya yang terluka ini sudah membaik. Papa sudah boleh pulang!" Qansha menunjuk kakinya Husein yang dibalut perban."Iya, papa sudah membaik. Hanya tinggal pemulihan saja. Itu paling hanya sekedar nyeri saja, tidak parah kok," sahut Habiba mencoba membuat putrinya tidak cemas."Baiklah, kalau begitu Qansha bisa minta gendong papa, dong!" sahut Qansha."Hei, jangan dulu. Nanti kalau papa.sudha bisa berlari dengan kencang, barulah Qansha minta gendong," balas Habiba sambil membayangkan rasa ngilu jika Husein mengikuti kemauan Qansha yang minta digendong saat kaki Husein dalam keadaan terluka begini."Sungguh? Benarkah papa tidak bisa menggendongku saat kaki papa terluka sedikit begini? Papa bilang tadi ini hanya luka sedikit kan?" tanya Qansha polos
Husein tersenyum. Berusaha menampilkan ekspresi serileks mungkin supaya tidak menimbulkan keresahan pada anak- anaknya."Pak Polisi sedang bertamu, menemui papa dan mengajak papa. Mereka sedang bekerja," jawab Husein."Oh... Apakah papa sangat dibutuhkan pak Polisi? Mereka bekerja tapi malah menemui papa. Mereka menjenguk papa juga, ya?" Qansha benar- benar merasa penasaran atas kedatangan polisi. Husein hanya tersenyum singkat. Lalu menurunkan tubuh Qansha dari gendongan."Kasian papa ya, kasian sekali. Capek dan sakit tapi masih harus ditemui polisi," celetuk Qansha polos sekali. "Mari, Pak. Kami harus membawa bapak," ucap Polisi sambil menyodorkan sebuah borgol."Jangan lakukan ini!" tegas Husein dengan sorot mata yang juga tegas. "Aku akan kooperatif. Di depan anak- anakku, ini tidak boleh dilakukan. Aku bukan pembunuh atau bahkan koruptor yang menjijikkan."Para pria berseragam menatap dua anak yang terus mengawasi dengan serius. Mereka memahami. Kemudian mengangguk."Aku pamit
"Pak Pol, tolong jangan bawa papa!" Qasam terus menjerit.Melihat tangisan dan teriakan Qasam, Qansha pun baru menyadari bahwa ternyata papanya ditangkap dan akan dibawa pergi seperti yang pernah dia lihat di televisi. Ia telat menyadari kejadian yang sebenarnya.Qansha lalu berlari mengejar Husein. "Papaaaaa..... Jangan pergi! Jangan tinggalkan Qansha."Tidak ada respon dari Husein dan para pria yang mengawalnya. Hanya punggung yang semakin menjauh saja yang kini menjadi pemandangan Qansha. Bocah itu terus berlari sambil memohon pada polisi agar tidak membawa papanya pergi. Namun naas, ia terjatuh akibat tersandung. Tubuhnya yang kecil terjerembab dan menghantam lantai. Saat itulah Husein berhenti, lalu menoleh melihat anaknya yang terjatuh sambil melambaikan tangan ke arahnya.Husein terpaku di tempat.Qansha bangkit dan berlari mengejar papanya. Demikian Qasam yang juga berlari mengejar. Keduanya menghambur. Husein memposisikan tubuhnya jongkok supaya bisa menangkap dan merengkuh
"Kau tahu Mas Tomy pergi kemana?" tanya Habiba tanpa ingin menanggapi kalimat yang diucapkan Irzan. Itu terlalu sensitif untuk dibahas dengan Irzan. Pria ini tidak menyukai Husein, maka tidak baik membicarakan hal itu."Tomy yidak bilang pergi kemana. Terakhir, aku lihat dia di kantor polisi, setelah itu aku tidak melihatnya lagi.""Irzan, aku harap masalah ini tidak ada campur tangan darimu.""Maksudmu? Kau mengira ada dalang dari masalah ini? Dan aku mendalanginya? Aku bisa berbuat apa?""Aku tidak bilang begitu. Aku hanya tidak mau ada campur tanganmu dalam masalah ini. Misalnya, menghasut Mas Tomy, atau mempengaruhi dia hingga Mas Tomy berseberangan pendapat denganku."Irzan menyungging senyum. "Biba, sejak dulu sampai sekarang, aku tidak pernah punya niat buruk terhadapmu, juga terbadap Husein. Kalau pun ada masalah antara kita saat Qasam bersamaku, itu sudah aku jelaskan, bahwa itu hanya salah paham. Dan aku tidak punya niat hutuk, hanya ingin memberika perhatian khusus kepadamu