Sambil menyetir, Habiba mengetik pesan singkat kepada Husein..‘Jangan lupa menghadiri acara pertunjukan menari. Qansha menunggumu.’.Tidak ada balasan dari Husein. Bahkan pesan pun belum dibaca. Pagi- pagi sekali Husein sudah pergi bekerja. Habiba bahkan tidak sempat bertatap mata dnegan suaminya sejak pagi. Sebab saat ia bangun dan langsung mengurus anak, Husein pun tengah mandi. Lalu berngkat kerja tanpa sempat cipika cipiki dengan Habiba karena terburu- buru.Habiba terpaksa harus mengingatkan Husein mengenai jadwal menari yang akan diikuti oleh Qansha supaya Husein tidak lupa. Ia berharap momen ini akan menjadi momen bagi Qansha mengakui Husein sebagai papanya.Qasam ditinggal di rumah bersama dengan Fatona. Di hari libur begini, anak- anak menghabiskan waktu dengan kegiatan ringan tanpa harus bepergian jauh untuk liburan.“Ayo, Mom. Jangan lambat! Kita harus cepat sampai!” Gadis kecil yang duduk di sisi Habiba tampak sangat bersemangat. Kelesuanny tadi sudah hilang
"Ngosh ngosh...."Napas si tukang ojek benar- benar ngap- ngapan.Sudah sampai di area parkiran gedung. Husein langsung berlari menuju ke pintu gedung dengan tergesa- gesa. "Mas, Mas, uangnya belum dibayar," teriak tukang ojek membuat Husein menepuk keningnya sendiri. Lalu Husein balik lagi sambil mengeluarkan uang dan memberikannya kepada si tukang ojek."Loh, Mas...?""Apa lagi?" kesal Husein."Ini banyak sekali." Si tukang ojek menghitung uang lembaran warna merah yang baru saja diberikan Husein. "Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima ratus ribu. Waah... Ini kebanyakan.""Sudah. Untukmu." Husein tak mau banyak tanggapan. Ia langsung pergi begitu saja. Anggap saja uang itu adalah ganti rugi atas jantung si bapak yang sepanjang jalan hampir copot gara- gara Husein ngebut di jalan tadi. Sampai- sampai kedua tangan si bapak melingkar erat di perut Husein. Sepanjang jalan bapak itu teriak- teriak, dan akhirnya mukanya nyaris seperti mayat saat sudah sampai alamat tujuan, pucat pias sepe
Tangan mungil itu melingkar di tubuh besar Husein meski kedua tangan kecil itu tak sampai untuk saling bertaut.Tiba- tiba saja Husein memaku, balasan pelukan dari Qansha membuatnya seperti terhipnotis. Rasanya benar- benar berbeda. Jantungnya berdegup keras. Ada sisi bahagia yang membuncah dalam benaknya. Qansha melepas pelukan. Menatap Husein dengan wajah yang berbinar.“Ini papa, Nak!” ucap Husein yang hanya didengar oleh Qansha seorang.Keramaian di sekitar menelan suara yang tak begitu keras.Qansha tersenyum kemudian berucap, “Makasih, Papa.”Nyess…Ada yang mengalir deras dan terasa dingin mengalir di kalbu. Panggilan ‘papa’ yang diucapkan Qansha mengaduk- aduk perasaan Husein.“Kau sebutaku papa?” HUsein menatap lekat putrinya.Senyum Qansha melebar. “Papa.” Ia mengulang panggilannya.“Papa mau lihat kau tersenyum lebih lebar lagi.”“Ya, Pa.” Qansha tersenyum lebar seperti yang diminta. Lesung pipit di ekdua pipinya pun tampak. Kepalanya mengangguk hingga kuciran
“Oh No, papa sudah kekenyangan ini,” sahut Husein berushaa menolak dnegan halus.“Sungguh?” Qansha berusaha meyakinkan.“Apakah papa tidak mau disuapi olehku?” Tatapan Qansha penuh harapan.Ya Tuhan, Husein kalah telak oleh pertanyaan polos itu. Hubungannya dengan Qansha baru saja membaik, ia tidak mau hubungan yang baru saja membaik itu terluka oleh sikap yang membuat Qansha menjadi kecewa.Dengan terpaksa, Husein membuka mulutnya. Lalu menyantap cilok menyebalkan yang menurutnya aneh itu. Sial! Benda itu kembali melintas di tenggorokannya. Segera Husein meneguk minum secepatnya.“Enak kan, Pa?” tanya Qansha.Husein ingin mengatakan kalau dia tidak menyukai makanan itu, namun urung saat melirik wajah Tukimin, takut menyinggung. Meski dia dikenal sebagai bos arogan, namun setidaknya ia masih memiliki nurani untuk menghargai manusia lain.Husein terpaksa mengangguk.“Bungkus empat, pak!” pinta Habiba.Husein membelalak kaget. “Empat? Untuk siapa?”“Untuk Qasam dan ibu di rumah
"Emran dan keluarganya terpaksa harus bertanggung jawab dengan memulangkan kerugian yang Mas Husein alami. Keuntungan dari perusahaannya seluruhnya diberikan kepada Mas Husein sesuai kesepakatan," jelas Inez.Habiba mengangguki perkataan Inez."Saat ini, Mas Husein sedang berusaha membangkitkan kembali perusahaan papa yang sudah tumbang. Dia juga mencoba membangun kepercayaan pada konsumen dengan banyak cara. Memulai dengan membangun kepercayaan inilah maka ia berangsur- angsur membangkitkan kembali perusahaan itu. Pun ia menggandeng pihak yang berwajib untuk memperkuat fakta bahwa perusahaan papa yang kembali dia bangun itu aman dan terjamin. Berbagai usaha dia lakukan. Modalnya juga sangat besar."Habiba tertegun mendengar perkataan Inez. Tak menyangka ternyata suaminya segigih itu. Ada rasa bangga menyelinap dalam benaknya. Husein memang pria yang tangguh. "Emran tidak bisa mengembangkan bisnisnya. Dia kehilangan banyak modal. Kemarin dia datang kemari dan meminta supaya dia bisa
"Kau ingin aku sependapat denganmu juga?" balas Tomy tak kalah menegang."Tidak perlu kita sependapat, tapi perbuatan Irzan tidak bisa dibenarkan. Aku menyalahkan dia dalam hal ini. Kalau aku mau, bahkan aku bisa memberi pelajaran lebih dari hanya sekedar memukulnya. Lalu bagaimana aku bisa menerima pernyataanmu yang membenarkan perbuatan Irzan?” bantah Husein.Tomy menghela napas panjang. Ia ingin menyela perkataan Husein, namun keduluan Husein bicara lagi. "Masalah kelalaian, resikonya itu menjadi bagian kami, dia tidak perlu mencampurinya, apa lagi sampai melakukan penculikan begini. Benar- benar tidak masuk akal," timpal Husein lagi. "Mas Tomy tidak berada di posisi kami, jadi Mas Tomy bisa bicara begitu," lembut Habiba membela sang suami.“Ck ck ck…” Tomy melangkah pergi sambil geleng- geleng kepala. Ekspresinya menunjukkan rasa tidak sependapat dengan keputusan Habiba dan Husein.Habiba hendak mengejar untuk memberikan penjelasan lebih banyak lagi, namun ditahan oleh Husein.
“Apa? Mas Tomy mau penjarakan Mas Husein karena masalah ini?” Habiba terkejut. Pacu jantungnya terasa cepat. “Ini bukan masalah kecil lagi. Ini masalah nyawa.”“Tidak, Mas. Kita bicarakan ini baik- baik dulu. Jangan ambil tindakan gegabah.”“Gegabah? Kalau nyawaku melayang, apakah kau masih anggap ini masalah sepele?” Tomy kesal.“Mas Tomy hanya sedang emosi saja, makanya mengambil keputusan ini. pikirkan dulu matang- matang langkah yang akan Mas Tomy ambil! Jangan hanya mengandalkan emosi semata.”“Kau terlalu menyepelekan aku. Dengan masalah sebesar ini pun, kau masih saja membela suamimu itu.” Tomy beranjak pergi, ia menghentikan taksi yang melintas di depan.“Mas, jangan! Hentikan ini! tolong!” Habiba menarik lengan Tomy saat kakaknya itu hendak masuk ke mobil.“Memang sudah sejak awal aku keliru. Seharusnya aku tidak menikahkanmu dengannya. Setelah kearoganan yang dia lakukan kepadaku, apakah dia masih akan menjadi suami yang baik untukmu? Sekarang dia melakuk
"Kaku sekali mukamu?" tanya Husein."Eh, tidak. Ini hanya efek kepanikan yang tadi." Habiba berusaha mengubah ekspersinya meski sulit."Kau bilang Tomy tidak parah, artinya kai tidak perlu sekhawatir itu.""Iya iya. Aku tidak terlalu khawatir." Habiba tersenyum getir."Aku pun tidak ingin lama berada di sini. Aku ingin pulang. Terutama aku ingin menemui Tomy dan meminta maaf kepadanya. Walau bagaimana pun ini salahku karena lalai.""Dokter bilang apa? Apakah kau harus dirawat?""Tidak. Hanya luka luar saja, dan lebam sedikit. Nanti juga sudah boleh pulang. Jangan menatapku seperti orang lemah. Aku akan baik." Husein menjawil dagu Habiba.Habiba menelan saliva. Bingung menentukan sikap. Beginikah rasanya menelan kekhawatiran seorang diri? Sekarang bagaimana caranya ia mencegah Tomy? "Aku tinggal sebentar," ucap Habiba kemudian keluar kamar. Ia menelepon Fatona dan menjelaskan semua yang telah terjadi. "Bagaimana caranya supaya Mas Tomy tidak melaporkan kasus ini ke meja hijau. Ini a