Lima hari telah berlalu semenjak pemakaman Cindy. Masa berkabung masih terasa. Husein merasa kehilangan, perasaan itu muncul karena ia merasa banyak bersalah kepada Cindy. Dosanya menumpuk tinggi dan belum sempat ditebus. Kepergian Cindy membuatnya semakin merasa bersalah. Tapi setidaknya ia sudah memberikan yang terbaik di hari- hari terakhirnya Cindy, dengan memberikan kasih sayang dan harapan seperti yang diinginkan Cindy.Beberapa hari terakhir ini, Husein juga mengumpulkan semua barang- barang milik Cindy yang ada di rumahnya. Dibantu oleh Inez. Kemudian barang- barang itu dikemas rapi dan ditaruh di gudang.Sering kali Husein menuju ke gudang untuk melihat barang- barang milik Cindy, sekedar mengingat wanita itu. Penyesalan membuatnya jadi merasa sangat bersalah sudah menyia- nyiakan wanita yang sebenarnya tidak pernah bersalah itu. Butuh waktu beberapa hari untuk Husein menyadarkan diri bahwa sebenarnya ia hanya sedang merasa bersalah pada Cindy hingga rasa kehilang
“Jadi, sekarang bolehkah aku tahu dimana keberadaan Habiba?” tanya Husein.“Aku juga tidak tahu dimana tepatnya. Sudah dua hari dia pergi dan belum pulang.”“Dua hari? Dia tidak ijin kepadaku meninggalkan rumah selama dua hari.”“Kau marah?” ancam Fatona.Loh, Fatona sekarang sudah berani menunjukkan taringnya. Mentang- mentang naik jabatan jadi mertua. Duuh… Husein harus kuat- kuat sabar ini.“Tidak. Aku tidak marah,” jawab Husein meski giginya menggemeletuk.“Habiba sudah menghubungimu beberapa kali, tapi kau tidak mengangkatnya. Lalu, apakah dia harus terus meneleponmu sampai jempolnya keriting?” tanya Fatona.“Oh baiklah, aku yang salah. Okey, aku ingat dia sudah menghubungiku beberapa kali dan aku sedang sangat sibuk sehingga tidak sempat menjawabnya.”“Kau sudah mengabaikannya.”“Ya ya, aku salah.” Oh Tuhan, Husein benar- benar tidak kuat menghadapi Fatona yang terus saja menghakiminya. Tapi ia masih mampu menahan diri mengingat wanita ini adalah mertuanya."Apakah Hab
Husein berpikir kemana Habiba pergi. Fatona mengatakan bahwa ia tidak tahu dimana keberadaan Habiba, bahkan mengaku kalau ia tidak pernah dihubungi oleh Habiba, padahal mereka tetap berkomunikasi. Artinya, Fatona berbohong kalau dia tidak tahu keberadaan Habiba.Sebenarnya Husein bisa saja mengabaikan Habiba seperti yang dikatakan Amir, sebab Habiba pasti juga bakalan pulang. Namun Husein tidak seperti itu. Husein memanggil Fara, meminta supaya asisten rumah tangganya itu menemuinya di kamar."Kau tahu dimana keberadaan Habiba?" tanya Husein tegas."Mm... Tidak tahu, Tuan," jawab Fara menunduk."Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Kau kan menunggu rumah ini dua puluh empat jam, apakah Habiba tidak mengatakan kepadamu kemana dia pergi?""Tidak. Saya kan hanya pembantu, mana mungkin Non Biba pamitan sama saya.""Setidaknya kau pernah mendengar pembicaraan antara Habiba dan Bu Fatona mengenai keberadaan Habiba," selidik Husein."Mm tidak," jawab Fara."Yakin?""Yy yakin.""Kok, gugup?""
Husein memacu mobilnya menuju apartemen. Cilok ditaruh di kursi sampingnya. Semoga saja tidak menggelinding dan tumpah mengenai alas mobil saat Husein mengerem. Gara- gara si Tukimin, Husein jadi was- was menyetir mobil dan sesekali pandangannya tertuju ke arah kursi di sebelahnya, takut si cilok akan jatuh. Sesampainya di apartemen, Husein langsung membawa plastik beriisi empat kotak cilok keluar dan memasuki area apartemen. Ia melangkah gontai menuju tempat istrinya berada. Ia sangat hafal dengan posisi itu meski jarang ke sana.Dengan menggunakan kartu cadangan, Husein memasuki pintu kokoh itu. Di dalam sana, Habiba dan anak- anak pasti akan terkejut atas kedatangannya. Husein sudah membayangkan bagaimana ekspresi Habiba saat melihat kedatangannya. Wajah wanita itu pasti ditekuk. Ah, menggemaskan sekali. Husien tak sabar ingin menatap wajah sang istri.Terdengar suara saling sahut di dalam, suara anak- anak bermain, menjerit, tertawa renyah. Husein berhenti di balik dinding pem
“Aku minta maaf jika sikapku menyebalkan,” bujuk Husein kemudian memeluk Habiba dari arah belakang. “Jangan marah.”Habiba meletakkan kain lap. “Aku tidak marah.”“Tapi sikapmu berbeda. Wanita memang selalu begitu. Mengaku tidak marah, tapi nyatanya ngambek.”Habiba diam.“Kalau kau tidak marah, kenapa kau bisa ada di apartemen ini? Kau sengaja menghindariku bukan? Bahkan ibumu pun diajak sekongkol untuk membohongiku. Ini cara wanita ngambek. Iya, kan?”Habiba melepas lengan kekar Husein dari perutnya, ia balik badan, hingga mereka berhadapan. “Jujur, aku kecewa sama kamu,” ucap Habiba dengan wajah datarnya.Nah, akhirnya Habiba mengaku juga.“Aku sedih kehilangan Cindy. Di tengah rasa bersalah, aku masih harus kehilangan dia. Ditambah lagi sikapmu yang menyebalkan. Kita sama- sama kehilangan, tapi seolah- olah cuma kamu yang paling tersakiti.”Husein mendengarkan dengan setia. Semua yang dikatakan Habiba itu benar. “Aku maklum saat kamu pergi meninggalkanku dan bahkan
Habiba meletakkan punggung telapak tangannya ke kening Husein."Salah minum obat?" lirih Habiba memberanikan diri. Sebab ia tak yakin akan baik- baik saja setelah ini.Husein mengambil tangan Habiba yang ada di keningnya dan menurunkannya, memasangkannya ke pangkal pahanya.Seketika Habiba menegang merasakan sesuatu yang disentuh. Crazy!"Dari pada kau pegang keningku yang tidak memberikan manfaat apa pun, mendingan kau pegang bagian yang dapat memberikan banyak manfaat." Husein menaikkan alis, namun arti alis yang naik itu berbeda dengan naiknya alis Habiba."Hei, bagaimana kalau anak- anak lihat? Pemandangan dua puluh satu plus plus tidak baik jika dilihat mereka." Habiba menarik tangannya cepat."Nah, rupanya kau kalah juga. Itulah sebabnya kau jangan macam- macam pada suami. Lelaki bisa saja melakukan apa pun untuk dapat melumpuhkan wanita, termasuk yang itu tadi."Habiba memalingkan wajah. Suaminya benar- benar sudah aneh. Wajahnya memanas dan memerah. "Aku juga bisa membuatmu t
Habiba terpaku. Ah, benar juga. Apa ia hanya terobsesi saja? Namun perhatian matanya terus saja tertuju pada Sakha. Berharap memang tuduhannya itu benar seperti yang diprediksi oleh Cindy."Dokter sudah melakukan pemeriksaan dengan peralatan canggih, bahkan perilaku Sakha selama ini juga kelihatan jelas sebagai anak abnormal. Menurutku itu sudah jelas," ucap Husein.Habiba tak mau menanggapi. Ia hanya mengusap- usap lengan putranya. "Sakha, ini ada jam tangan untukmu, pembelian dari Tante Cindy." Husein melepas jam di tangan Sakha dan menggantinya dengan jam yang baru.Sakha menurut saja. Qansha menghentikan permainannya, menoleh kepada Sakha yang diberi jam tangan baru oleh Husein."Kau suka?" tanya Husein.Sakha mengangguk."Sekarang bicaralah pada papa.""Bicara apa?" tanya Sakha bingung."Bagaimana keseharianmu di sini selama tidak ada papa. Apakah kau senang? Dan apa saja kegiatanmu selama di sini?" Husein sengaja memancing Sakha bicara untuk melihat perubahan dan perkembangan
Sambil menyetir, Habiba mengetik pesan singkat kepada Husein..‘Jangan lupa menghadiri acara pertunjukan menari. Qansha menunggumu.’.Tidak ada balasan dari Husein. Bahkan pesan pun belum dibaca. Pagi- pagi sekali Husein sudah pergi bekerja. Habiba bahkan tidak sempat bertatap mata dnegan suaminya sejak pagi. Sebab saat ia bangun dan langsung mengurus anak, Husein pun tengah mandi. Lalu berngkat kerja tanpa sempat cipika cipiki dengan Habiba karena terburu- buru.Habiba terpaksa harus mengingatkan Husein mengenai jadwal menari yang akan diikuti oleh Qansha supaya Husein tidak lupa. Ia berharap momen ini akan menjadi momen bagi Qansha mengakui Husein sebagai papanya.Qasam ditinggal di rumah bersama dengan Fatona. Di hari libur begini, anak- anak menghabiskan waktu dengan kegiatan ringan tanpa harus bepergian jauh untuk liburan.“Ayo, Mom. Jangan lambat! Kita harus cepat sampai!” Gadis kecil yang duduk di sisi Habiba tampak sangat bersemangat. Kelesuanny tadi sudah hilang