"Ini baru peringatan! Jika kau berperilaku lebih dari ini, maka aku dengan senang hati memberikan peringatan bertubi- tubi," tegas Husein kemudian melenggang pergi. "Sial!" Irzan mengumpat sambil meninju udara.Pria berkemeja hitam hanya bisa menatap prihatin, kemudian melengos pergi. Dan yang lebih sial lagi, Irzan menjadi pusat perhatian semua orang. Sejurus pandangan orang- orang di restoran menatap ke arahnya. Entah tatapan prihatin, atau malah tatapan mengejek. Mendapat tatapan menyebalkan itu, Irzan akhirnya kabur dari sana secepatnya.***Husein menghempaskan tubuh duduk ke sofa. Salah satu kakinya naik ke meja. Kedua lengan merentang di sandaran sofa, sedangkan kepala mendongak dan menyandar di sandaran sofa dengan mata terpejam.Pikirannya tertuju pada Irzan. Pria yang sempat dia temui dan mendapat bogem beberapa kali darinya. Tiba- tiba hidung Husein mencium aroma kopi. Ia membuka mata, melihat Habiba yang membawakan segelas kopi untuknya.Senyum di wajah cantik itu mere
"Kenapa kau tidak mau ikut aku menjenguknya bersama denganku?” tanya Husein mendengar Habiba menolak ajakannya."Aku ingin memberikan waktu lapang pada privasimu. Ketika aku ada di sampingmu, gerakanmu pasti terbatas. Bisa saja kamu merasa sungkan kepadaku untuk melakukan hal- hal yang ingin kamu lakukan," ucap Habiba."Contohnya?" tantang Husein."Memotivasi Cindy dengan menggenggam tangannya, membisikkan kata cinta, atau bahkan mencium pipinya." Habiba memutar sedikit posisi duduknya agak miring supaya wajahnya tidak tampak dari penglihatan Husein. "Aku justru tidak mau kau merasa tidak nyaman melihatku sering bolak- balik memasuki kamar Cindy," sahut Husein."Tidak masalah. Memang kita menginginkan dia sembuh, kan?" Habiba sebentar menatap Husein kemudian kembali mengalihkan pandangan lagi ke samping."Satu pertanyaanku, jika Tuhan menghendaki Cindy sembuh, dia kemudian hidup normal kembali seperti dulu. Apakah kasih sayangmu kepada Cindy akan tetap sama seperti sekarang?" tanya H
"Kau mau mendengarkan aku mengatakan cinta kepadamu kan?" bisik Husein. "Iya, Cindy. Aku mencintaimu. Aku minta kau pulih."Cindy meneteskan air mata dengan deras. Ia tidak bisa mengekspresikan kegembiraannya dengan tertawa girang, melompat, menjingkrak, atau memeluk suaminya erat. Cukup dengan mengedipkan mata yang kemudian air mata bertambah deras mengalir, sudah menunjukkan bahwa ia merasa sangat terharu sekaligus bahagia. "Kau mengakuiku sebagai istri?" lirih Cindy."Ya. Kau istriku.""Apakah rasa cintamu padaku sama besarnya dengan rasa cintamu pada Habiba?” lirih Cindy lebih seperti mengelantur, suaranya pun tak begitu jelas. Tatapan matanya juga terkadang kosong.“Tidak ada perbandingan diantara kalian berdua. Sekarang kau harus sembuh dulu. Harus sembuh. Aku akan minta kau membuatkan bubur untukku. Aku akan minta kau memasak dan aku akan memakannya.” Husein ingat, beberapa kali ia menolak masakan buatan Cindy. Dan itu membuatnya seperti mendapat tamparan keras.“Yy ya.
Setelah melewati beberapa ruangan, Husein masih belum menemukan boneka yang dicari. Dan akhirnya menemukan boneka itu tak jauh dari kamar Cindy.Husein membungkukkan badan untuk memungut boneka itu. Beberapa detik ia menatap boneka yang teronggok di lantai. Boneka itu mirip dengan boneka yang dulu pernah dibkara oleh Husein.Husein membolak- balikkan boneka, meneliti benda itu. memang mirip. Ia teringat, pernah membakar boneka yang hampir mirip, tak lain boneka pemberian Irzan.“Ini untukmu!” Husein memberikan boneka kuda kepada Sakha.Sakha mengangguk dan menenteng boneka itu.Mereka kemudian kembali ke ruang makan.Sakha duduk di kursi, menaruh boneka di kursi sebelahnya. Dia duduk dengan rapi, kedua tangan di atas meja seperti anak sekolah yang menunggu guru datang ke kelas.“Selamat makan!” Husein mengambilkan makan untuk Sakha dan menaruhnya di depan Sakha.Beberapa detik Sakha mengawasi nasi dan lauk yang ada di piringnya.“Kenapa? Apakah ada yang tidak disukai oleh Sakh
Beberapa minggu kemudian, kondisi Cindy akhirnya semakin membaik. Dia sudah bisa lepas dari peralatan medis. Tidak ada lagi selang infus di tangannya, tidak ada lagi monitor yang memantau detak jantungnya, tak ada pula selang oksigen atau pun nebulizer dan lain sebagainya yang mengganggu di wajahnya. Ia sudah bisa duduk di kursi roda. Habiba sangat telaten merawat dan mengobatinya. Urusan obat tidak pernah lalai, bahkan makan pun disuapi oleh Habiba. Tak lain makanan spesial buatan Fara yang menunya khusus resep dari Habiba."Kenapa kau bersedia menyembuhkan aku? Bukankah aku adalah sainganmu? Bukankah kau justru akan merasa bahagia saat aku tiada?" tanya Cindy pada Habiba dengan lirih, suaranya masih sangat lemah sekali. Kepalanya yang gundul tanpa rambut itu masih dalam balutan perban. Saat itu, Cindy tengah duduk di kursi roda "Aku sama sekali tidak menganggapmu sebagai saingan," jawab Habiba berusaha menampilkan ekspresi tenang dan datar, tanpa harus menonjolkan ekspresi te
Husein mengangkat tubuh Cindy dan membaringkannya ke kasur. Tangan Cindy memegangi lengan Husein, membuat tubuh pria itu tertahan di posisi membungkuk, sikunya menahan di atas kasur.“Aku boleh tidur?” lirih Cindy lemah sekali. “Tidurlah. Kau harus banyak beristirahat. Jangan banyak bicara! Itu akan memforsir tenagamu. Kau harus menahan untuk beraktifitas.” Perhatian Husein membuat Cindy terharu, hingga wajahnya terus saja menampilkan senyum meski lemah. Bibirnya memucat.“Husein, aku merasa sakit,” lirih Cindy.“Sakit?” Husein bingung.“Aku merasa sesak.” Cindy merintih.Husein menghambur keluar kamar. “Biba! Biba, coba kau lihat kondisi Cindy! Terjadi sesuatu terhadapnya.”Sialnya, Habiba sudah tidak ada di ruangan tadi. Husein mencari Habiba ke ruangan lain sambil berteriak memanggil.“Ada apa ini?” Fatona yang mendengar teriakan Husein pun keluar kamar dan menghampiri Husein yang melintas di depan kamarnya.“Mana Habiba?”“Ibu sudah tertidur dan terjaga karena ter
Lima hari telah berlalu semenjak pemakaman Cindy. Masa berkabung masih terasa. Husein merasa kehilangan, perasaan itu muncul karena ia merasa banyak bersalah kepada Cindy. Dosanya menumpuk tinggi dan belum sempat ditebus. Kepergian Cindy membuatnya semakin merasa bersalah. Tapi setidaknya ia sudah memberikan yang terbaik di hari- hari terakhirnya Cindy, dengan memberikan kasih sayang dan harapan seperti yang diinginkan Cindy.Beberapa hari terakhir ini, Husein juga mengumpulkan semua barang- barang milik Cindy yang ada di rumahnya. Dibantu oleh Inez. Kemudian barang- barang itu dikemas rapi dan ditaruh di gudang.Sering kali Husein menuju ke gudang untuk melihat barang- barang milik Cindy, sekedar mengingat wanita itu. Penyesalan membuatnya jadi merasa sangat bersalah sudah menyia- nyiakan wanita yang sebenarnya tidak pernah bersalah itu. Butuh waktu beberapa hari untuk Husein menyadarkan diri bahwa sebenarnya ia hanya sedang merasa bersalah pada Cindy hingga rasa kehilang
“Jadi, sekarang bolehkah aku tahu dimana keberadaan Habiba?” tanya Husein.“Aku juga tidak tahu dimana tepatnya. Sudah dua hari dia pergi dan belum pulang.”“Dua hari? Dia tidak ijin kepadaku meninggalkan rumah selama dua hari.”“Kau marah?” ancam Fatona.Loh, Fatona sekarang sudah berani menunjukkan taringnya. Mentang- mentang naik jabatan jadi mertua. Duuh… Husein harus kuat- kuat sabar ini.“Tidak. Aku tidak marah,” jawab Husein meski giginya menggemeletuk.“Habiba sudah menghubungimu beberapa kali, tapi kau tidak mengangkatnya. Lalu, apakah dia harus terus meneleponmu sampai jempolnya keriting?” tanya Fatona.“Oh baiklah, aku yang salah. Okey, aku ingat dia sudah menghubungiku beberapa kali dan aku sedang sangat sibuk sehingga tidak sempat menjawabnya.”“Kau sudah mengabaikannya.”“Ya ya, aku salah.” Oh Tuhan, Husein benar- benar tidak kuat menghadapi Fatona yang terus saja menghakiminya. Tapi ia masih mampu menahan diri mengingat wanita ini adalah mertuanya."Apakah Hab