Pagi itu, Habiba memasangkan seragam Qansha. Meski sudah ada Fara yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di rumah itu, namun ia tetap mengurus anak- anak. Ada kepuasan tersendiri saat tangannya yang mengurus anak- anak.Manik mata Habiba melirik ke ponsel yang bergetar menandakan pesan masuk. Tampak pesan dari Husein yang bisa dia baca di layar atas..‘Aku sudah berangkat kerja jam lima tadi. Kau masih tertidur. Jangan mencariku saat merasa kehilangan ketika bangun dari tidur.’.Habiba hanya tersenyum saja tanpa membalasnya. Ia sudah tertidur ketika Husein pergi mengantar Amira dan Alka. Bahkan ia tak sadar saat Husein kembali ke rumah dan tidur seranjang dengannya tadi malam. Paginya, ia bahkan tidak menemukan suaminya di sisinya. Waktu terasa begitu singkat.“Ma, tadi malam Qansha bermain dengan Opa. Asik sekali. Opa ternyata orangnya asik,” ucap Qansha dengan raut gembira mengenang permainannya dengan Alka malam tadi.“Oh ya? Memangnya Qansha main apa sama opa?”
"Qansha, kemari sayang!" Habiba memeluk bungsunya. Dia elus pundak putrinya dengan lembut. Lalu Menggendongnya keluar kamar, membawa kembali ke ruang utama dimana Fatona dan Sakha tengah menunggu. "Kenapa Qansha menangis?" tanya Fatona cemas."Terlanjur sayang pada opanya. Dia menangisi opanya karena merasa kehilangan," jawab Habiba. Kemudian ia menurunkan Qansha dan menatap lekat wajah yang sembab itu. "Qansha sayang, Qansha masih bisa ketemu opa kok. Opa kan tidak jauh dari sini. Naik mobil sebentar pun bisa langsung ketemu. Nanti, sepulang dari sekolah, Qansha bisa langsung temui opa. Okey?" Tangis Qansha terhenti. Namun sesenggukkannya masih berlanjut. "Sungguh?"Habiba mengangguk dengan senyum."Baiklah. Qansha tidak akan menangis lagi. Janji ya nanti pulang sekolah langsung mampir tempat opa.""Tentu. Opa pasti senang sekali kalau ditemui sama Qansha.""Terus, kenapa opa pergi diam- diam tanpa bilang sama Qansha?""Qansha sudah tidur dan opa tidak mungkin membangunkan Qansha.
“Kenapa kau berada di sana?” Nada bicara Husein terdengar berbeda.“Aku harus tahu alasan apa yang membuat Irzan menyembunyikan Sakha dariku. Dia harus bertanggung jawab atas kepanikan dan kecelakaan Cindy. Akibat kelakuannya yang menyembunyikan Sakha, akhirnya Sakha hampir ketabrak mobil dan malah Cindy yang kecelakaan demi menyelamatkan Sakha. Ini semua terjadi karena ulah Irzan.”“Sudah! Jangan diteruskan lagi,” tegas Husein dengan suara tinggi, membuat Habiba terkesiap.“Aku hanya…”“Pergi dari situ! Sekarang!” potong Husein tegas. “Tempat itu berbahaya. Irzan bisa saja mencelakimu kapan pun dia mau. Sekarang ini Irzan seperti sedang ingin melakukan hal- hal gila padamu. Kemarin ibumu yang celaka karena ulahnya, sekarang Sakha. Jangan sampai kemudian kau yang menjadi korban selanjutnya.”Oh… Rupanya Husein sedang mencemaskan Habiba. Habiba salah kaprah, mengira Husein akan salah paham atas kedatangannya ke rumah Irzan.“Baiklah!” Habiba segera menyetir mobil meninggal
"Tante Cindy itu sama seperti mama, sama- sama pendamping papa Husein. Jadi mama dan tante Cindy memiliki hak yang sama,” ucap Habiba sambil mengelus singkat dagu putrinya."Hak itu apa?" polos Qansha.Nah, kalau sudah begini, Habiba bingung harus menjelaskan dari mana. "Hak itu ya sesuatu yang kita terima."Meski masih bingung, Qansha hanya diam."Lain kali Qansha tidak boleh masuk ke kamar ini ya. Qansha hanya boleh masuk kalau ada mama," pesan Habiba.Qansha mengangguk. "Takutnya Qansha akan mengganggu Tante Cindy ya, Ma?"Habiba mengangguk. "Ayo, kita keluar."Tepat saat itu, Husein muncul. Mendekat pada Habiba.Qansha langsung berlari pergi saat melihat Husein muncul. Melewati Husein begitu saja.Husein menatap kepergian Qansha dengan mata sedikit menyipit. "Dia belum bisa menerimaku.""Dia akan dengan mudah menerima siapa saja yang bisa mengambil hatinya. Bahkan dia sudah sangat mencintai opanya. Kamu juga sudah pernah diharapkan olehnya meski kemudian ia kembali berpaling darim
"Non, saya tadi barusan selesai mengepel dan membersihkan kamar Non Cindy." Fara melapor pada Habiba sambil menaruh peralatan pel dan ember ke teras luar dekat dapur. Habiba tengah membuat omelet khusus untuk suaminya. Celemek menempel di permukaan tubuhnya. "Non, maaf nih, boleh tanya?" Fara akhirnya luwes memanggil Habiba dengan sebutan 'non' setelah selama ini kaku sekali karena enggan menyebutnya. "Itu kamu sudah tanya.""Maksud saya, saya mau nanya sama Non Biba.""Tanya saja.""Non Cindy pasien kan ya?""Iya.""Terus, setahu saya dia istrinya Tian Husein. Dan Non Biba juga istrinya. Jadi kan Mas Husein poligami nih. Kok, Non Biba masih mau statusnya dirahasiakan sedangkan Non Cindy mendapat keistimewaan sebagai istri Tuan Husein di publik. Non Biba kan sudah bukan lagi orang miskin seperti dulu, tentu punya taring dong untuk mendapatkan hak sebagai istri yang dikenal banyak orang?" Habiba meletakkan hasil masakan ke piring. Ia sudah selesai memasak. "Mbak Fara tidak beruba
Tamparan napas hangat Husein mengenai wajah Habiba.“Mas Husein, ini satanya makan!” ucap Habiba dengan wajah menegang. Tatapan Husein tampak menusuk.“Sjak tadi kau mengerjaiku. Sekarang giliranku mengerjaimu,” bisik Husein sambil menggerakkan tangannya merayap turun ke bawah, berhenti di pinggang Habiba. Sentuhan itu membuat kulit Habiba meremang hebat. Sentuhan Husein memang dahsyat dan membangkitkan gelora. “Bangkitlah! Aku tidak bisa bernapas,” pinta Habiba yang merasa kalah telakoleh tatapan dan sentuhan Husein. “Dadamu terlalu menekan dadaku!”Habiba beralasan. Namun Husein tak mau peduli. Ia tidak beranjak dari posisinya. Bahkan kakinya malah naik ke atas paha Habiba, menyilang untuk mengunci kaki wanita itu.Tubuh Habiba makin menegang. Sebenarnya apa yang diinginkan Husien pagi- pagi begini? Apakah pria ini menginginkan olah raga ranjang? Tapi kenapa Habiba harus deg- degan begini? Bukankah mereka sudah sering melakukannya?Sebelum sempat pertanyaan di kepala
"Ayo, suapi aku!" titah Husein datar saja, namun tatapannya sangat berarti."Masih minta disuapi?" tanya Habiba gemas."Hm. Ayo, cepat!" desak Husein."Iya." Habiba lalu menyuapi Husein, menyodorkan garpu yang kali ini ujungnya membawa sepotong omelet.Pria itu akhirnya merasakan bagaimana disuapi istri."Manja sekali," celetuk Habiba."Jangan hanya wanita saja yang bisa manja, lelaki pun sekali- kali boleh manja kan?" Husein mengalungkan lengannya ke sandaran kursi yang diduduki Habiba. Posisi iyu membuat Habiba merasa seperti dipeluk, nyaman sekali.Beberapa kali suap saja, omelet pun ludes.Pria itu menyudahi dengan meneguk air minum. "Aku akan cari keberadaan Irzan," tegas Husein."Kamu ingin interogasi dia tentang kasus kemarin?" tanya Habiba."Perbuatan Irzan yang mengambil Sakha diam- diam bahkan menyembunyikan anak itu di rumahnya, sama saja perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan untuk membuat kita kacau. Dia harus mempertanggung jawabkan ini." "Mas Husein, aku sudah me
"Oh, saya pikir penawaran saya sudah tinggi. Kamu bisa ambil tambahan lima juta lagi jika dalam tiga bulan, pekerjaanmu bagus," sahut si pria berkemeja hitam.Husein tersenyum mendengar pembicaraan palsu itu. Ternyata akting anak buahnya cukup mumpuni. Bahkan sampai harus ambil foto cantik di salah satu toko kue besar dan mempostingnya di sosial media demi memancing Irzan supaya keluar dari persembunyian. "Baiklah. Aku setuju," ucap Irzan setelah berpikir beberapa saat. Kemana lagi ia akan mendapatkan uang dua puluh lima juta dalam sebulan? "Dua puluh lima juta dalam sebulan menurutku terlalu mahal untukmu," ucap Husein sambil duduk di sisi Irzan. Seketika itu, Irzan terkejut dan menatap Husein dengan mata melebar. Husein menaikkan satu kaki ke atas paha kakinya yang lain. Dia santai sekali. Senyum kecil terbit di wajahnya. "Jangan kaget. Aku di sini untukmu."Irzan menelan saliva. Ia berusaha menenangkan diri, mengubah ekspresi wajahnya supaya tetap rileks. Beberapa detik berlalu