Bruk bruk bruk...Pintu kamar mandi digedor- gedor dari dalam. Fara yang melintasi kamar mandi umum itu pun terkejut. Suara apa itu?"Tolong buka pintunya!" Suara dari dalam kamar mandi terdengar agak lemas. "Siapa di dalam?" Fara mendekati pintu. "Jin? Setan? Iblis?""Tolong. Tolong buka pintunya." Suara di dalam kamar mandi terdengar bersemangat setelah mendengar sahutan dari Fara."Kamu siapa? Kekunci di dalam ya?" tanya Fara."I iya. Aku terkunci di dalam. Tolong, siapa pun di luar, tolong bukakan pintunya.""Oh... Sebentar. Aku ambil kunci serap." Fara pergi sebentar dan kembali membawa kunci kamar mandi. lalu ia memutar kunci. Berhasil. Pintu terbuka. Cindy langsung menyembul keluar."Loh, ini Non Cindy kan?" Fara kaget."Iya. Makasih kamu sudah bukakan pintu." Cindy langsung menghambur pergi, dan berhenti di ruang tamu saat melihat kunci mobilnya tergeletak di meja. Ia menyambar kunci tersebut dan berlari ngibrit keluar rumah. Secepat kilat, ia menyetir mobil dan berhasil k
Kepala Cindy tergeletak di atas aspal, ceceran warna merah itu menggenang di sekeliling kepalanya. Keluar pula cairan merah dari hidung dan mulutnya. Demikian juga dari bagian perut yang juga merembes warna merah dari kulitnya yang terluka. Matanya masih terbuka. Ia mengerang seperti hendak bicara, namun kesulitan."Tante!" Sakha menggenggam erat jemari Cindy. Tak disangka, Cindy malah tersenyum. Membalas genggaman tangan Sakha. "Aa aanak baik. Kk kau harus tumbuh besar. Pp pulanglah. O oo orang tuamu mencarimu. Aakh..." Tak ada lagi kata- kata yang keluar dari mulut Cindy. Dia hanya bisa mengerang, hingga akhirnya tak lagi terdengar suara dari mulutnya. Menyaksikan peristiwa yang terjadi, Habiba ambruk dan bersimpuh ke aspal. Tak peduli lututnya sakit akibat terantuk aspal yang keras. Mendadak ia merasa lemas sekali. "Cindy!" Tangis Habiba pecah. Bahunya bergetar hebat. Kepalanya tertunduk, namun kemudian mendongak menatap langit dalam tangis. "Tan... Tante." Sakha masih menggen
Husein kembali ke kamar membawa satu kotak nasi dan sebotol minuman. Ia tidak langsung memberikan kotak itu kepada Habiba, melainkan ia duduk di kursi berhadapan dengan Habiba dan meletakkan kotak makanan ke meja. Ia membuka kotak dan sejenak menatap lauk yang disajikan. Udang sambal ijo. Aromanya lezat.“Cuma satu?” tanya Habiba.Husein tidak menjawab. Ia sibuk menyiduk nasi dengan sendok. Lalu menyodorkan sendok tersebut ke mulut Habiba. “Ayo makan!” Jadi… ini artinya Husein hanya membelikan makan untuk Habiba saja?“Untukmu mana?” tanya Habiba.“Kau sudah pernah merasakan enaknya disuapi suami kan? Kalau begitu sekarang makanlah dengan tangan suapan suami. Rasanya berbeda dengan suapan tanganmu sendiri.”Habiba mengenang suapan Husein beberapa waktu lalu, memang rasa makanannya sama saja. tapi perasaannya berbeda hingga mengubah cita rasa di mulutnya. Kebahagiaan membawa rasa jadi berbeda.Habiba tanpa sadar membuka mulut dan menerimasuapan dari tangan Husein. Dan mem
“Bu, maafkan aku!” lirih Habiba tanpa berani menatap wajah sang ibu, takut mendapatkan raut marah. “Aku tidak bisa mengikuti kamuan ibu untuk berpisah dari Mas Husein dan menikah dengan lelaki pilihan ibu.”Fatona diam saja.“Aku mencintai Mas Husein. Aku yakin Mas Husein bisa membahagiakan aku. Tolong ibu pahami ini. kami bahagia, Bu. Meski ada Cindy diantara kami, tapi itu tetap tidak mengurangi kebahagiaanku,” imbuh Habiba.Hanya terdengar suara mulut Fatona mengunah makanan.“Baru saja terjadi hal buruk pada Cindy. Dia mengorbankan dirinya demi Skaha. Dia kecelakaan parah setelah menyelamatkan Sakha dari tabrakan mobil. Malah dia yang tertabrak, sekarang kondisinya kritis. Dia sebenarnya orang baik,” lirih Habiba dengan suara bergetar. Tak tega mengenang kondisi Cindy.Fatona menatap Habiba yang tertunduk.“Kemarin malam, Sakha hilang. Aku dan Mas Husein panik mencari keberadaan Sakha. Keesokan hari, kebetulan Cindy menemukan Sakha, hingga akhirnya perintiwa kecelakaan
Saat senja tiba, mereka pulang ke rumah bersama. Husein menyetir di bagian kemudi, sedangkan Habiba dan Fatona duduk di kursi belakang. Terlibat pembicaraan hangat antara Habiba dan Fatona sepanjang jalan. Sedangkan Husein diam saja menjadi pengamat sekaligus pendengar saja."Cindy sudah berkorban besar untuk Sakha. Aku menyesal pernah membencinya," ucap Habiba dengan mata berembun mengenang tangannya yang pernah menampar Cindy. "Aku bahkan menuduh Cindy menculik Sakha. Padahal Sakha bersama Irzan. Pantas saja Cindy terus menyangkal tuduhan itu, ternyata memang bukan Cindy pelakunya."Fatona mengelus pundak Habiba. "Kau melakukan itu bukan karena kebencian, semua ada alasannya. Jika kau tidak mengira Cindy pelakunya, pasti kau tidak akan melakukannya bukan?""Tapi aku benar- benar menyesal dan terpukul.""Kau boleh merasa bersalah, tapi bukan untuk menyakiti perasaanmu sendiri."Habiba menyandarkan kepalanya ke pundak ibunya. Nyaman sekali posisi itu. Sudah lama ia tidak menyandar se
"Mas Husein, lakukan sesuatu! Jangan sampai mama dan papa pergi!" rengek Habiba pada Husien."Sudahlah, biarkan mama dan papa meninggalkan rumah ini. Aku yakin mama dan papa merasa sungkan pada ibumu. Mereka beranggapan bahwa mereka tidak pantas berada di sini," sahut Husein enteng saja."Tapi mereka akan tinggal di mana? Di rumah mereka yang lama? Berdua saja? Kamu tega biarkan mereka di sana?" Habiba panik. "Tidak. Aku akan bawa mereka tinggal bersamaku. Di rumahku. Ada Inez yang bisa membantu merawat ibu. Jadi kau tenang saja." Senyum Husein tercetak simpul.Ya ampun, Habiba baru ingat kalau Husein juga bisa membawa kedua orang tuanya ke rumahnya. Habiba pun lega. Artinya, mertuanya tidak akan terlantar. "Apakah mama dan papa tidak ingin bermalam terlebih dahulu di sini? Setidaknya semalam saja, besok pagi baru kita pulang," saran Husein."Tidak. Di sini, aku dan suamiku hanyalah menumpang selama sakit. Dan sekarang sudah membaik. Maka secepatnya kita harus beranjak pergi," sahut
Pagi itu, Habiba memasangkan seragam Qansha. Meski sudah ada Fara yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di rumah itu, namun ia tetap mengurus anak- anak. Ada kepuasan tersendiri saat tangannya yang mengurus anak- anak.Manik mata Habiba melirik ke ponsel yang bergetar menandakan pesan masuk. Tampak pesan dari Husein yang bisa dia baca di layar atas..‘Aku sudah berangkat kerja jam lima tadi. Kau masih tertidur. Jangan mencariku saat merasa kehilangan ketika bangun dari tidur.’.Habiba hanya tersenyum saja tanpa membalasnya. Ia sudah tertidur ketika Husein pergi mengantar Amira dan Alka. Bahkan ia tak sadar saat Husein kembali ke rumah dan tidur seranjang dengannya tadi malam. Paginya, ia bahkan tidak menemukan suaminya di sisinya. Waktu terasa begitu singkat.“Ma, tadi malam Qansha bermain dengan Opa. Asik sekali. Opa ternyata orangnya asik,” ucap Qansha dengan raut gembira mengenang permainannya dengan Alka malam tadi.“Oh ya? Memangnya Qansha main apa sama opa?”
"Qansha, kemari sayang!" Habiba memeluk bungsunya. Dia elus pundak putrinya dengan lembut. Lalu Menggendongnya keluar kamar, membawa kembali ke ruang utama dimana Fatona dan Sakha tengah menunggu. "Kenapa Qansha menangis?" tanya Fatona cemas."Terlanjur sayang pada opanya. Dia menangisi opanya karena merasa kehilangan," jawab Habiba. Kemudian ia menurunkan Qansha dan menatap lekat wajah yang sembab itu. "Qansha sayang, Qansha masih bisa ketemu opa kok. Opa kan tidak jauh dari sini. Naik mobil sebentar pun bisa langsung ketemu. Nanti, sepulang dari sekolah, Qansha bisa langsung temui opa. Okey?" Tangis Qansha terhenti. Namun sesenggukkannya masih berlanjut. "Sungguh?"Habiba mengangguk dengan senyum."Baiklah. Qansha tidak akan menangis lagi. Janji ya nanti pulang sekolah langsung mampir tempat opa.""Tentu. Opa pasti senang sekali kalau ditemui sama Qansha.""Terus, kenapa opa pergi diam- diam tanpa bilang sama Qansha?""Qansha sudah tidur dan opa tidak mungkin membangunkan Qansha.