Kepala Cindy tergeletak di atas aspal, ceceran warna merah itu menggenang di sekeliling kepalanya. Keluar pula cairan merah dari hidung dan mulutnya. Demikian juga dari bagian perut yang juga merembes warna merah dari kulitnya yang terluka. Matanya masih terbuka. Ia mengerang seperti hendak bicara, namun kesulitan."Tante!" Sakha menggenggam erat jemari Cindy. Tak disangka, Cindy malah tersenyum. Membalas genggaman tangan Sakha. "Aa aanak baik. Kk kau harus tumbuh besar. Pp pulanglah. O oo orang tuamu mencarimu. Aakh..." Tak ada lagi kata- kata yang keluar dari mulut Cindy. Dia hanya bisa mengerang, hingga akhirnya tak lagi terdengar suara dari mulutnya. Menyaksikan peristiwa yang terjadi, Habiba ambruk dan bersimpuh ke aspal. Tak peduli lututnya sakit akibat terantuk aspal yang keras. Mendadak ia merasa lemas sekali. "Cindy!" Tangis Habiba pecah. Bahunya bergetar hebat. Kepalanya tertunduk, namun kemudian mendongak menatap langit dalam tangis. "Tan... Tante." Sakha masih menggen
Husein kembali ke kamar membawa satu kotak nasi dan sebotol minuman. Ia tidak langsung memberikan kotak itu kepada Habiba, melainkan ia duduk di kursi berhadapan dengan Habiba dan meletakkan kotak makanan ke meja. Ia membuka kotak dan sejenak menatap lauk yang disajikan. Udang sambal ijo. Aromanya lezat.“Cuma satu?” tanya Habiba.Husein tidak menjawab. Ia sibuk menyiduk nasi dengan sendok. Lalu menyodorkan sendok tersebut ke mulut Habiba. “Ayo makan!” Jadi… ini artinya Husein hanya membelikan makan untuk Habiba saja?“Untukmu mana?” tanya Habiba.“Kau sudah pernah merasakan enaknya disuapi suami kan? Kalau begitu sekarang makanlah dengan tangan suapan suami. Rasanya berbeda dengan suapan tanganmu sendiri.”Habiba mengenang suapan Husein beberapa waktu lalu, memang rasa makanannya sama saja. tapi perasaannya berbeda hingga mengubah cita rasa di mulutnya. Kebahagiaan membawa rasa jadi berbeda.Habiba tanpa sadar membuka mulut dan menerimasuapan dari tangan Husein. Dan mem
“Bu, maafkan aku!” lirih Habiba tanpa berani menatap wajah sang ibu, takut mendapatkan raut marah. “Aku tidak bisa mengikuti kamuan ibu untuk berpisah dari Mas Husein dan menikah dengan lelaki pilihan ibu.”Fatona diam saja.“Aku mencintai Mas Husein. Aku yakin Mas Husein bisa membahagiakan aku. Tolong ibu pahami ini. kami bahagia, Bu. Meski ada Cindy diantara kami, tapi itu tetap tidak mengurangi kebahagiaanku,” imbuh Habiba.Hanya terdengar suara mulut Fatona mengunah makanan.“Baru saja terjadi hal buruk pada Cindy. Dia mengorbankan dirinya demi Skaha. Dia kecelakaan parah setelah menyelamatkan Sakha dari tabrakan mobil. Malah dia yang tertabrak, sekarang kondisinya kritis. Dia sebenarnya orang baik,” lirih Habiba dengan suara bergetar. Tak tega mengenang kondisi Cindy.Fatona menatap Habiba yang tertunduk.“Kemarin malam, Sakha hilang. Aku dan Mas Husein panik mencari keberadaan Sakha. Keesokan hari, kebetulan Cindy menemukan Sakha, hingga akhirnya perintiwa kecelakaan
Saat senja tiba, mereka pulang ke rumah bersama. Husein menyetir di bagian kemudi, sedangkan Habiba dan Fatona duduk di kursi belakang. Terlibat pembicaraan hangat antara Habiba dan Fatona sepanjang jalan. Sedangkan Husein diam saja menjadi pengamat sekaligus pendengar saja."Cindy sudah berkorban besar untuk Sakha. Aku menyesal pernah membencinya," ucap Habiba dengan mata berembun mengenang tangannya yang pernah menampar Cindy. "Aku bahkan menuduh Cindy menculik Sakha. Padahal Sakha bersama Irzan. Pantas saja Cindy terus menyangkal tuduhan itu, ternyata memang bukan Cindy pelakunya."Fatona mengelus pundak Habiba. "Kau melakukan itu bukan karena kebencian, semua ada alasannya. Jika kau tidak mengira Cindy pelakunya, pasti kau tidak akan melakukannya bukan?""Tapi aku benar- benar menyesal dan terpukul.""Kau boleh merasa bersalah, tapi bukan untuk menyakiti perasaanmu sendiri."Habiba menyandarkan kepalanya ke pundak ibunya. Nyaman sekali posisi itu. Sudah lama ia tidak menyandar se
"Mas Husein, lakukan sesuatu! Jangan sampai mama dan papa pergi!" rengek Habiba pada Husien."Sudahlah, biarkan mama dan papa meninggalkan rumah ini. Aku yakin mama dan papa merasa sungkan pada ibumu. Mereka beranggapan bahwa mereka tidak pantas berada di sini," sahut Husein enteng saja."Tapi mereka akan tinggal di mana? Di rumah mereka yang lama? Berdua saja? Kamu tega biarkan mereka di sana?" Habiba panik. "Tidak. Aku akan bawa mereka tinggal bersamaku. Di rumahku. Ada Inez yang bisa membantu merawat ibu. Jadi kau tenang saja." Senyum Husein tercetak simpul.Ya ampun, Habiba baru ingat kalau Husein juga bisa membawa kedua orang tuanya ke rumahnya. Habiba pun lega. Artinya, mertuanya tidak akan terlantar. "Apakah mama dan papa tidak ingin bermalam terlebih dahulu di sini? Setidaknya semalam saja, besok pagi baru kita pulang," saran Husein."Tidak. Di sini, aku dan suamiku hanyalah menumpang selama sakit. Dan sekarang sudah membaik. Maka secepatnya kita harus beranjak pergi," sahut
Pagi itu, Habiba memasangkan seragam Qansha. Meski sudah ada Fara yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di rumah itu, namun ia tetap mengurus anak- anak. Ada kepuasan tersendiri saat tangannya yang mengurus anak- anak.Manik mata Habiba melirik ke ponsel yang bergetar menandakan pesan masuk. Tampak pesan dari Husein yang bisa dia baca di layar atas..‘Aku sudah berangkat kerja jam lima tadi. Kau masih tertidur. Jangan mencariku saat merasa kehilangan ketika bangun dari tidur.’.Habiba hanya tersenyum saja tanpa membalasnya. Ia sudah tertidur ketika Husein pergi mengantar Amira dan Alka. Bahkan ia tak sadar saat Husein kembali ke rumah dan tidur seranjang dengannya tadi malam. Paginya, ia bahkan tidak menemukan suaminya di sisinya. Waktu terasa begitu singkat.“Ma, tadi malam Qansha bermain dengan Opa. Asik sekali. Opa ternyata orangnya asik,” ucap Qansha dengan raut gembira mengenang permainannya dengan Alka malam tadi.“Oh ya? Memangnya Qansha main apa sama opa?”
"Qansha, kemari sayang!" Habiba memeluk bungsunya. Dia elus pundak putrinya dengan lembut. Lalu Menggendongnya keluar kamar, membawa kembali ke ruang utama dimana Fatona dan Sakha tengah menunggu. "Kenapa Qansha menangis?" tanya Fatona cemas."Terlanjur sayang pada opanya. Dia menangisi opanya karena merasa kehilangan," jawab Habiba. Kemudian ia menurunkan Qansha dan menatap lekat wajah yang sembab itu. "Qansha sayang, Qansha masih bisa ketemu opa kok. Opa kan tidak jauh dari sini. Naik mobil sebentar pun bisa langsung ketemu. Nanti, sepulang dari sekolah, Qansha bisa langsung temui opa. Okey?" Tangis Qansha terhenti. Namun sesenggukkannya masih berlanjut. "Sungguh?"Habiba mengangguk dengan senyum."Baiklah. Qansha tidak akan menangis lagi. Janji ya nanti pulang sekolah langsung mampir tempat opa.""Tentu. Opa pasti senang sekali kalau ditemui sama Qansha.""Terus, kenapa opa pergi diam- diam tanpa bilang sama Qansha?""Qansha sudah tidur dan opa tidak mungkin membangunkan Qansha.
“Kenapa kau berada di sana?” Nada bicara Husein terdengar berbeda.“Aku harus tahu alasan apa yang membuat Irzan menyembunyikan Sakha dariku. Dia harus bertanggung jawab atas kepanikan dan kecelakaan Cindy. Akibat kelakuannya yang menyembunyikan Sakha, akhirnya Sakha hampir ketabrak mobil dan malah Cindy yang kecelakaan demi menyelamatkan Sakha. Ini semua terjadi karena ulah Irzan.”“Sudah! Jangan diteruskan lagi,” tegas Husein dengan suara tinggi, membuat Habiba terkesiap.“Aku hanya…”“Pergi dari situ! Sekarang!” potong Husein tegas. “Tempat itu berbahaya. Irzan bisa saja mencelakimu kapan pun dia mau. Sekarang ini Irzan seperti sedang ingin melakukan hal- hal gila padamu. Kemarin ibumu yang celaka karena ulahnya, sekarang Sakha. Jangan sampai kemudian kau yang menjadi korban selanjutnya.”Oh… Rupanya Husein sedang mencemaskan Habiba. Habiba salah kaprah, mengira Husein akan salah paham atas kedatangannya ke rumah Irzan.“Baiklah!” Habiba segera menyetir mobil meninggal
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu