Merasa seperti dililit ular, Habiba memundurkan tubuh. Lebih baik melepas pelukan dadi pada nyawanya lewat dan bertemu malaikat maut. Eh?"Uhuk uhuk...." Habiba terbatuk- batuk, efek dari pelukan kuat itu jadinya begini. "Minumlah!" Amira mengambil minum yang disediakan Habiba untuknya."Aku bisa mengambil sendiri." Habiba meraih gelas dari tangan Amira sebelum gelas itu mengarah kepadanya.Setelah meneguk sedikit, Habiba mengembalikan gelas ke meja.Amira menatap lekat wajah Habiba, meraih tangan menantunya dan menggenggam erat. "Kau menantuku!" Nyess...Hati Habiba basah mendengar pengakuan itu. Setelah perjuangan yang tak mengenal kata lelah merawat mertuanya, perjuangan sambil merasa jijik pada saat berkali- kali membersihkan kotoran mertua, akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. "Bu, terima kasih sudah mau mengakui aku sebagai menantumu," lirih Habiba terharu."Aku tidak tahu kenapa kau masih mau berbuat baik kepadaku meski perilakuku seperti ini." Amira takjub.Habiba hany
“Hei, bagaimana cara kerjamu? Kenapa tidak berhati- hati?” tegur Husein sambil menjauhkan tangan Fara dari piring. Sayangnya tetesan darah sudah mengenai buah. “Itu adalah efek dari ketidak hati- hatianmu, akibatnya jarimu terluka. Lain kali kau harus lebih berhati- hati.”“Baik, Tuan.”“Sini, biar aku obati!” Habiba mengambil kotak obat dan dengan cekatan mengobati luka di jari Fara. Memberikan obat dan membalut dengan perban. “Lukanya tidak terlalu dalam. Hanya luka luar saja. Untuk beberapa menit, letakkan bagian yang terluka di atas jantung!” Fara mengangguk. Benaknya membatin, sebenarnya Habiba ini orang baik, tapi kenapa Fara merasa kesal setiap kali melihat Habiba? Sebenarnya simpel saja, alasan yang membuat Fara menjadi iri terhadap Habiba adalah karena awalnya Habiba dan Fara stau level, namun kemudian Habiba naik kelas dengan berhasil menjadi istri majikan. Dan sekarang, Habiba pun berbalik menjadi majikan sungguhan bagi Fara. Beginilah yang namanya hati busuk
Husein mengusap pipi halus istrinya. Hatinya kagum oada wanita ini, yang masih bisa berlapang dada pada istri yang lain. Padahal Husein sendiri justru merasa ingin secepatnya melepaskan Cindy. Bahkan Husein juga sudah mendekati kata tak adil dalam memperlakukan dua istrinya.Husein memundurkan tubuh, menjauh dari Habiba. Ekspresinya berubah tak nyaman. Ia lalu mengambil air mineral dan meneguknya. Butuh asupan air mineral untuk menetralkan pikirannya yang mulai keruh."Kamu marah padaku?" lirih Habiba."Tidak. Kenapa harus marah? Aku justru merasa kalah olehmu." Husein menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke sisi kasur. "Sudahlah, biar Cindy menjadi urusanku. Kau tidak perlu memikirkannya."Husein menatap jam di pergelangan tangannya. "Ini masih jam segini, bisa dianggap masih petang. Bagaimana kalau kau temani aku ke luar? Aku ingin membelikan jam tangan untuk anak- anak."Habiba tersenyum. Husein sedang ingin dekat dengan anak- anak. Ia sedang ingin mengambil hati anak- anak de
"Lama sekali? Aku keburu kedinginan," kata Habiba merasakan kulitnya meremang."Sebentar lagi.""Tapi ini sudah lama.""Bisa sabar sedikit?""Tidak."Jawaban Habiba enteng sekali. Membuat Husein gemas. Dan dengan kuat, pria itu menyentak tali bra hingga tubuh Habiba terhuyung mundur. "Aduh!" Habiba meringis."Sakit?""Tidak. Cuma kaget, takut jatuh tadi. Tarikan talinya juga cukup kuat, agak sakit sih."Husein sudah selesai menyangkutkan pengaitnya, ia memutar badan Habiba hingga menghadap kepadanya. Wanita berpakaian mini itu memang menggodanya. Dengan tatapan intens, Husein bertanya, "Mana yang sakit? Ini?" Ia menyentuh dada Habiba."Ke samping sedikit."Husein menggeser tangan sesuai petunjuk istrinya. "Ini?""Tepat."Pria itu memijit ringan pada benda kenyal itu. "Apa rasanya?""Geli."Husein pun tersenyum. Senyuman manis yang membuat Habiba jadi ikut-ikutan tersenyum. Tak mau terpikat ke dalam senyuman Habiba terlalu jauh, Husein langsung mengambil pakaian dan memasangkannya
"Baiklah, kalau begitu kita pergi sekarang. Ayo!" Husein menggandeng Sakha. Kemudian, ia menatap Qansha. "Kau tunggu di rumah ya. Papa akan membelikan sesuatu yang kau mau. Kau mau dibelikan apa?"Qansha diam saja, kemudian memalingkan wajah."Baiklah, tunggu di rumah ya!" pesan Husein. Ia menggandeng Sakha berlalu keluar kamar, melewati Habiba yang terpaku di tengah- tengah ruangan. "Qansha, mama akan pergi bersama papa dan Kak Sakha, apa kau yakin tidak mau ikut?" bujuk Habiba dengan senyum."Mama mengajakku?""Ya, tentu. Mama akan sangat senang jika kau ikut. Tanpamu, mama merasa tidak berarti apa- apa.""Qansha ikut, Ma!" Qansha menghambur mendekat pada Habiba. Habiba mengangguk senang. Bocah itu tidak mau saat diajak oleh Husein, namun segera beranjak saat Habiba yang mengajaknya. "Tapi Qansha tidak mau ganti baju, biar saja pakai baju ini. Toh ini tidak buruk," ucap Qansha sambil menatap bajunya sendiri, sepasang kaos dan celana selutut. Bukan merupakan baju tidur, lebih te
"Hai!" sapa Habiba melihat Cindy yang menatap ke arahnya.Cindy mengangguk kaku sambil tersenyum canggung. Tatapan Cindy kembali fokus pada Husein. "Kamu di sini ngapain? Beli jam juga?" "Kau belum jawab pertanyaanku. Kau yakin membeli barang seharga itu?" Husein melirik ke kotak yang baru saja dikemas oleh pramuniaga dan disodorkan ke arah Cindy."Mm... Iya. Kamu yang bilang kalau aku boleh beli apa saja kebutuhanku bukan? Dan ini adalah salah satu kebutuhanku. Makasih ya kamu sudah memberiku kesempatan untuk aku menabung dan membeli barang- barang bagus." Cindy mengusap lengan Husein bangga. Habiba sengaja mengalihkan perhatiannya ke arah lain, tak ingin memperhatikan interaksi antara Husein dan Cindy."Kali ini kau bisa membelinya, tapi lain kali jangan. Jam itu tidak begitu bermanfaat saat harganya kemahalan. Selain kau akan merasa sayang saat memakainya, juga tidak sehat untuk pergaulan.""Teman- teman sosialitaku kan kelas atas semua, maka tidak akan ada yang merasa insecure s
“Halo! Ada apa, sayang?” sahut Cindy di seberang dengan suaranya yang khas, manja.“Dimana Sakha? Putra sulungku bersamamu ya?” tanya Husein penuh penekanan.“Sakha? Tidak. Aku tidak bersama siapa- siapa. Aku di dalam mobil sendirian sekarang.”“Jangan bercanda, Cindy. Aku akan melakukan hal paling gila jika kau macam- macam pada putraku.”“Husein, apa maksudmu? Aku tidak tahu apa- apa tentang itu. Tolong, jangan tuduh aku sejahat itu. Ini artinya kamu sednag kehilangan anak, dan kamu menuduh aku yang membawanya pergi, begitukah?”“Aku tidak akan menuduhmu jika kau berkata jujur.”“Kejujuran apa lagi yang harus aku katakan? Aku tidak berbohong padamu,” sangkal Cindy.“Jika kau tidak berbohong, maka tunjukkan dimana kau sekarang? Aku akan menemuimu.”“Baiklah, aku berhenti sekarang.” Cindy kemudian menyebutkan alamat yang sedang dia tempuh.“Kau tunggu di sana, aku akan menemuimu.” Husein mempercepat kelajuan mobilnya. Arah jalan yang dia tempuh searah, jadi ia tinggal
Mobil berhenti tepat melintang di depan mobil milik Cindy."Cindy!" Husein menghambur mendekati mobil yang bertengger di tepi jalan. Ekspresi emosi berbaur panik mencuat di wajahnya. "Tunggu di sini! Jangan kemana- mana!" titah Habiba sambil menoleh pada Qansha.Anak itu mengangguk patuh dengan raut datarnya.Habiba menyusul Husein keluar. Dan ia melihat Cindy keluar dari mobil, seorang diri. Tidak ada Sakha."Dimana Sakha?" hardik Habiba tanpa berbasa- basi. Jantungnya sudah berpacu cepat sejak tadi. Ia tak mau bermain lagi dengan waktu. "Tenanglah, Biba. Kau bisa bicara baik- baik," celetuk Cindy yang terlihat rileks sekali. Habiba menyingkirkan tubuh Cindy yang menghalangi pandangannya, ia lalu membuka pintu mobil belakang dan ternyata semua kursi di mobil Cindy kosong, ia tidak mendapati Sakha di sana. "Kau tidak akan menemukan apa pun. Aku tidak membawa Sakha," ucap Cindy sambil menarik lengan Habiba supaya menjauh dari mobilnya."Aku tahu kamu membawa Sakha pergi. Kamu sembun