“Ayo, kita balik lagi ke tempat tadi. Tempatnya bagus!” ajak Sakha.Hati Habiba terenyuh mendengar permintaan Sakha. Baru kali ini Sakha dan Qansha bersemangat untuk membaur bersama dengan Husein, tapi kondisinya malah begini. Lalu bagaimana kekecewaan mereka akan teratasi kalau begini? Sebenarnya hati Habiba pun kebas menyaksikan keadaan tadi, tapi ia harus mengesampingkan rasa itu. Ia tidak boleh malah berdrama ria meratapi keadaan karena anak- anaknya membutuhkannya.“Kita akan makan di tempat lain saja. Okey?” bujuk Habiba.Sakha mengangguk, lalu ia masuk ke mobil.Tepat ketika Habiba hendak membuka pintu mobilnya, Amir berlari mendekat ke arahnya sambil berteriak memanggil, “Habiba!”Pandangan Habiba tertuju pada pria berdasi cokelat itu. Wajah Amir dari jauh sudah kelihatan tak sedap, memasang wajah memelas, membuat Habiba tahu maksud kedatangan Amir.“Sebenarnya apa yang terjadi, Biba? Kenapa kau bisa ada di tempat tadi? Apakah Cindy mengundangmu merayakan ulang tahu
“Cukup! Tidak ada party apa pun!” Husein berseru lantang.Inilah yang terjadi di hotel Boliv, tempat dimana Husein tengah mengadakan acara spesial. Sejurus pandangan tertuju ke arah Husein. Eskpresi Husein yang tajam dan dipenuhi kilat amarah membuat semuanya heran. Gegap gempita dan keriuhan yang sejak tadi membahana, seketika membisu. Sepi. Nyaris seperti kuburan.Semua bertanya- tanya. Ada apa dengan Husein? Kenapa mendadak Husein terlihat murka? Wajah pria itu merah padam.Semua saling berbisik, mempertanyakan apa yang telah terjadi."Husein, ada apa denganmu? Ini tidak lucu!" Salah seorang berkemeja cokelat menyeletuk sambil mencuil makanan hangat yang tersaji dan memasukkannya ke mulut.Seorang yang lain menyenggol lengan pria berkemeja cokelat sambil berbisik, "Apa yang kau katakan? Husein tidak sedang bercanda. Dia benar- benar sedang marah sekarang. Lihatlah mukanya sudah seperti orang akan menelan mangsa."Seketika pria berkemeja cokelat berjalan mundur dan menyembun
“Aku tidak ingin kamu minta maaf kepadaku, minta maaflah kepada anak- anak,” kata Habiba dengan malas. “Aku sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.”“Aku tahu kau marah.”“Tidak. Aku tidak marah.”“Tapi sedih dan kecewa.”“Aku sudah tahu resiko istri yang dirahasiakan adalah seperti ini.” Desahan kecil keluar dari mulut Habiba.Husein menempelkan telapak tangannya ke pipi kanan Habiba, berusaha memalingkan wajah itu supaya menghadap ke arahnya, namun gagal. Wajah cantik itu kembali berpaling meski sempat menoleh ke arahnya dengan mata yang menatap ke bawah.“Hei, kau terlihat sangat kesal kepadaku.” Husein berbisik. Kembali mengecup leher Habiba. Meninggalkan rasa yang meremang di kulit wanita itu.Husein menyentuh pinggang istrinya dan memutar tubuh wanita itu supaya menghadap kepadanya.Punggung bawah Habiba menyandar di pinggiran meja, dia menghadap suaminya dengan wajah malas. Pandangan matanya ke arah bawah.Lengan kokoh Husein menapak di meja, membentuk benteng di sisi
Oh Tuhan, tak terbayang oleh Habiba bagaimana seorang Husein Brata Raksa yang ksehariannya duduk di balik meja dan kursi kebesarannya dengan gaya style ala pejabat, berdasi, sifatnya arogan, kelihatan kejam, namun bersedia menginjak dapur untuk memasak.Akhirnya Habiba tersenyum juga, ia tak bisa menahan senyum itu. “Aku sudah kehilangan momen penting dalam hidup ini,” celetuk Habiba datar.“Momen penting?” Husein mengernyit tajam. Alisnya yang tebal sampai hampir bertaut.“Jika aku melihatmu sedang memasak, pasti aku sudah mengambil hp dan mengabadikannya ke rekaman.”Senyum Husein tercetak sempurna. Ia mengusap ubun- ubun Habiba sambil tertawa.Manik mata Habiba berputar dan mengarah ke tempat lain saat mendapati tatapan mata Husein yang dalam. Ah, sial sekali, kenapa Husein menatapnya seperti itu lagi? Memang mata Habiba yang menjadi fokus tatapan Husein, tapi justru hatinya yang rasanya seperti tersengat.“Ayo kita makan!” ajak Husein memfokuskan pandangannya pada wajah is
Pagi itu, setelah sarapan bersama dengan Husein, Habiba langsung menuju ke kamar Sakha untuk membangunkan, memandikan dan memasang baju putranya. Tak lupa menyisir rambut putranya itu serta menyiapkan tas sekolah yang langsung digantungkan di punggung si sulung.Ketika Habiba sibuk mengurus Sakha, Husein berinisiatif ke kamar Qansha. Inilah saatnya ia membujuk Qansha setelah tadi membujuk mamanya, dan berhasil.Langkah Husein terhenti tepat di pinggir kasur. Menatap bungsunya yang tertidur lelap dengan posisi jumpalitan. Bantal jauh sekali dengan kepala. Justru bantal agak dekat dengan kaki. Tak sedikit pun selimut menyentuh badan Qansha, malah menggumpal di pinggir dan hampir terjatuh, sebagian menjuntai ke bawah. Tubuh Qansha menelungkup, kaki tak beraturan, satu ditekuk dan satunya memanjang selonjor. Celana yang seharusnya selutut, tersingkap sampai ke pangkal paha. Husein duduk di pinggir kasur, menatap wajah tembem Qansha lekat. Anak ini berbeda dari anak lain seusianya. Di
Husein tertegun. Ia harus berkata apa sekarang? Menjelaskan hal begini ke anak kecil pasti tak akan bisa dimengerti olehnya."Mungkin mama menyeretku pulang dan membatalkan pesta bersamamu karena melihatmu bersama dengan orang yang menciummu itu," ketus Qansha lagi.Loh? Kok Qansha bisa memahami kejadian yang seharusnya belum bisa dia pahami di umurnya yang sekeceil ini? Ah, sayangnya Husein telat memahami satu hal, bahwa putrinya begitu jeli dan mudah saja baginya memahami kejadian yang ada di sekitarnya. "Kamu bukan papaku. Kalau kamu papaku, tentu kamu bersama mama, bukan bersama tante Cindy," imbuh Qansha lagi. “Sejak dulu, kamu tinggal bersama dengan tante Cindy kan? berarti kamu adalah keluarganya tante Cindy, bukan keluargaku.”"Tidak begitu kesimpulannya, Qansha." Husein jongkok demi bisa menghadap pada Qansha dan menatap sejajar mata bulat bak Barbie itu. "Aku tetap papamu.""Tidak. Kamu tidak seperti papa yang lainnya. Kamu berbeda.”Husein yang kelihatannya arogan, bahkan
Sakha diam saja berada dalam pelukan Husein. Kepalanya menyandar di dada bidang papanya.Pelukan Husein hangat sekali. Elusan kecil sesekali diusap di punggung Sakha.“Terima kasih! Terima kasih sudah memanggilku papa,” lirih Husein bangga. Ia melepas pelukan, menjauhkan jarak wajah supaya bisa bertukar pandang.Tidak ada respon dari Sakha. Namun yang jelas anak itu sudah mulai nyaman berdekatan dengan Husein. Artinya, usaha Husein sudah maju selangkah.Mendapat sambutan baik dari salah satu anaknya saja, Husein sudah merasa bahagia sekali.“Aku pergi dulu. Jaga diri! Dan jangan lupa tingkatkan prestasi!” Husein berpamitan pada istrinya. Ia memajukan kepala ke arah Habiba dan mengecup singkat kening istrinya.Bibir Husein yang mendarat singkat di kening, membuat Habiba tersipu. Ternyata begini rasanya dikecup suami. Menggelora dan getarannya sampai ke jantung.“Cepaaaat! Jadi ke sekolah apa tidaaaaak?” Jeritan Qansha terdengar cukup keras di luar sana.Husein bergegas melan
Pagi itu, setelah mandi, Husein memakai kemeja dan jas yang baru saja dia ambil dari lemari.Cindy yang tengah menyisir rambut di depan cermin itu pun menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan sisir ke meja sembari menoleh ke arah baju yang sudah dia sediakan di atas kasur. Baju itu teronggok begitu saja tanpa disentuh oleh Husein. Pria itu malah memakai baju lain."Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu," pungkas Cindy menatap sedih pada pakaian yang tak tersentuh."Aku sedang ada meeting dan rasanya tidak pantas memakai kemeja warna maroon. Itu buruk!" sahut Husein. Meskipun Husein tidak tahu dimana letak buruknya pakaian itu, namun ia mengatakannya tanpa alasan. Intinya, ia tidak mau menyenangkan hati Cindy. Entahlah, apakah ia salah besar dalam hal ini. Tapi yang jelas ia sedang merasa kesal pada Cindy. Husein langsung keluar setelah selesai merapikan diri.Cindy mengikuti, menjajari langkah Husein yang secepat kilat. Ia kewalahan mengimbangi, namun tetap menjajarinya.Mereka menuru