Inez mengangkat alis dan kemudian tersenyum. "Baiklah, tidak masalah jika papamu tidak mau memberikan peluang usaha kepadamu, aku akan minta supaya papa memberikan lowongan kepadamu.""Aku makin sayang kepadamu." Emran mencium singkat kening Inez. Inilah peluang besar untuk Emran menyempurnakan rencananya. Dengan dia masuk di perusahaan milik Alka, maka dia bisa melakukan apa pun pada perusahaan itu. Apa lagi Husein sudah dipecat, maka dia dengan mudah menggencarkan rencananya."Tapi syaratnya, kita menikah dulu, baru kamu bisa kerja di perusahaan papa," sambung Inez membuat Emran memasang wajah tegang."Loh, kok tegang begitu? Ini syarat bagus kan?" imbuh Inez."Kita ini masih terlalu muda, bagaimana akan menikah di usia muda begini?" Inez langsung cemberut. "Kita menjalin hubungan sudah sangat lama. Kau dijamin punya pekerjaan mapan, uang banyak, lalu apa lagi? Kalau kau tidak mau menkahiku, ya sudah kita akhiri saja." Inez ngambek.Dan ancaman Inez berhasil membuat Emran gentar. T
Sebenarnya Husein tidak perlu melakukan klarifikasi atau pun pengumuman seperti yang sekarang dia lakukan. Dia bukan artis, dia bukan publik figur, dia juga bukan penguasa negeri ini, tapi desakan netizen dan suara heboh di sosial media yang menggiring opini tentangnya membuat Alka menuntut Husein untuk melakukan hal itu. Kasus yang mencuat ke publik tentang sosok CEO yang menghamili pembantu membuat wajah Husein wara wiri di sosial media. Semua orang membicarakannya.Tidak ada lagi perasaan yang dijaga oleh Husein, maka dia dengan mudah melakukan pengumuman itu tanpa merasa canggung. Para wartawan kemudian menyerbu dengan berbagai pertanyaan, namun Husein memilih untuk menyudahi pertemuan. Dia bangkit dari kursi bersama dengan Cindy yang mengiringinya. Mereka terlihat sebagai pasangan yang sangat romantis.Husein membawa Cindy langsung menemui Alka yang juga berada di hotel yang sama, Alka menunggu di sebuah ruangan khusus.Alka senang sekali melihat kedatangan Husein bersama deng
Husein menelepon Habiba. Telepon tersambung. Beberapa detik nada dering berjalan, Habiba belum juga menjawab telepon.“Ayolah! Apa yang kau lakukan malam- malam begini? kau sedang bercinta dengan suamimu itu, hm?” bisik Husein bicara sendiri.Tak lama kemudian, akhirnya Habiba menjawab telepon.“Halo, Husein!” gumam Habiba terdengar mengantuk sekali.“Keadaan urgent, cepat kembali ke rumah sakit. Emran dalam masalah. Dia hampir mati.”“Ya Tuhan!”“No coment. Cepat ke kamar Emran. Sekarang!” titah Husein.“Baiklah.” Setelah itu, Husein memasang kaos tangan. Lalu ia menyambar pisau, membuat napas Emran terengah- engah melihat pisau yang mengkilap terarah kepadanya.“Tidak. Jangan lakukan kepadaku! Jangan!” Emran ketakutan. Nyawanya ada di tangan Husein, dia bisa mati kapan saja saat Husein menyerangnya. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatannya. Husein bisa melakukan apa saja saat dia sedang dalam keadaan emosi. Jika dia khilaf, maka selsailah semuanya.“Husein, aku
Penanganan terhadap Emran cukup menyita waktu dan tenaga Habiba. Siang hari, Habiba baru selesai dengan pekerjaannya itu. Meski tidak ada yang membantunya, dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dia menjahit luka sobekan di perut, paha, dada, dan lengan. Meski kesulitan dan terkendala karena melakukannya tanpa bantuan siapa pun, namun semuanya bisa dia lakukan dengan baik. Emran kini dalam keadaan diinfus, tak sadarkan diri.Habiba keluar dari ruangan itu setelah memastikan Emran dalam kondisi stabil. Lelah sekali rasanya. Dia melepas seragam scrub, lalu mengatur napas, berdiri di depan cermin wastafel. Dia lihat wajah di pantulan cermin itu lelah sekali. Matanya sayu. Habiba melepas napas. Mengusap kening. Lalu melirik pintu utama yang masih dalam keadaan tertutup. Haruskah ia menelepon Husein untuk bisa keluar dari sana?Selain lelah, mengantuk, Habiba juga merasa lapar sekali. Tunggu dulu, Habiba mencium aroma makanan lezat yang mengundang nafsu makan. Dari mana
Habiba masih terpejam, sama sekali tak bergerak. "Habiba! Sadarlah!" Husein menepuk pipi Habiba namun tetap saja tak membuahkan hasil apa- apa. Habiba tetap terpejam lemas. Sekilas pandangan Husein mengedar pada bungkusan nasi dan jus yang sudah habis. Apakah mungkin Habiba keracunan? Ataukah tadi sempat terjadi sesuatu yang tidak diketahui oleh Husein? Tidak ada tanda- tanda keracunan. Tapi kenapa Habiba tak sadarkan diri."Habiba, sadarlah!" Husein mengguncang bahu Habiba, tetap saja tak membuahkan hasil apa pun. Perasaan Husein mulai tak tenang. Segala pemikiran tak menyenangkan menyerangnya, dan ia menduga- duga sesuatu yang buruk terjadi pada Habiba."Habiba, jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau kehilanganmu!" Segera Husein menggendong tubuh Habiba.Tepat saat itulah Habiba terjaga, wanita itu membuka mata."Bau apa ini?" lirih Habiba dengan mata yang masih sayu akibat kantuk.“Bau?” Tanpa sadar Husein mengendus aroma badannya. Dia mendekatkan hidungnya ke ketiak. Tidak ad
Segera Habiba bangkit berdiri. Untuk sesaat tubuhnya masih terhuyung, namun ia masih bisa menyeimbangkan tubuh hingga drama ambruk itu tidak terjadi lagi. Inilah efek kelelahan dan mengantuk, tubuhnya tidak seimbang.Muka Habiba masih memanas mengenang perkataan Husein. Sutil? Kenapa istilahnya jelek sekali? Apakah tidak ada kiasan lain selain sutil? Bukankah sutil itu panjang dan lebar. Ah…“Berhati- hatilah! Jangan ceroboh! Baru saja aku memuji pekerjaanmu, kau sudah melakukan keteledoran begini!” kesal Husein.“Maaf. ini karena aku kelelahan dan mengantuk sekali. Nanti aku akan minum vitamin untuk menjaga kesehatan supaya aku bisa bekerja di jam dinas.”“Tidak perlu bekerja lagi. Kau bisa ambil istirahat khusus hari ini.”“Oh, benarkah? Terima kasih.”“Gunakan waktumu untuk beristirahat hari ini supaya kau tetap fit. Pasienku membutuhkanmu.”“Ya, aku mengerti.” Habiba mengangguk lega.“Tugasmu hari ini ada digantikan oleh Ezra.”Habiba mengangguk lagi. Ini sungguh m
"Mas Husein, dimana Emran?" tanya Inez yang baru saja muncul ke rumah sakit dan bertemu dengan Husein di parkiran. "Kau tidak perlu menemuinya dulu," sahut Husein sambil terus berjalan menuju ke mobilnya.Inez mengikutinya dengan paras panik. "Bagaimana kondisinya?""Dia baik- baik saja," jawab Husein enteng."Aku ingin menemuinya.""Berhenti menjadi gila dan berpikir tolol." Husein menghentikan langkahnya, menatap Inez dengan tajam. "Dia sudah membuat perusahaan papa bangkrut. Dia juga yang menyebabkan papa jatuh sakit, dia mengkhianati perusahaan, sabotase produk perusahaan sampai aku harus dipenjara, dia pun mengkhianatimu. Bukan itu saja, dia pernah hampir membunuh Habiba supaya Cindy menggantikan posisi sebagai istriku. Ini kekejaman yang nyata. Ini gila. Masihkah kau berharap banyak pada pria gila itu? Dia itu sadis. Bukan hanya kau atau pun aku yang menjadi korban, tapi juga banyak orang lainnya dikorbankan olehnya hanya demi keuntungannya semata, yaitu menjatuhkan perusahaan
Sepanjang jalan menyetir mobil, Habiba mengantuk sekali. Ia sampai mengerjap- ngerjapkan mata supaya tidak ketiduran sambil menyetir. Sesekali kepalanya terangguk- angguk, dan ia akan menampar pipinya sendiri saat hal itu terjadi.Tiba- tiba hal buruk itu benar- benar terjadi. Mobilnya menyerempet seseorang yang menyeberangi jalan ketika matanya terpejam. Terkejut, Habiba langsung banting setir ke kiri dan ngerem mendadak. Kepalanya melongok ke depan, tampak motor tergeletak di depan. Sedangkan pemiliknya tidak kelihatan karena tersungkur tepat di depan mobil. Ada kotak kaca yang terikat di motor itu, lebih tepatnya kotak kaca yang digunakan untuk berjualan makanan. Tapi isi kuenya hanya tinggal sedikit, sepertinya jualannya laris manis hingga kue yang tersisa hanya sedikit saja. Sebagian kue menggelinding keluar."Ya Tuhan!" Habiba melepas seal belt dan melompat keluar mobil. Ia menghambur dan menolong wanita yang terduduk lemas sesaat setelah bangkit dari posisinya yang terkapar.