Qansha memakan permen atas pemberian Husein. Pasti pria itu sengaja melakukannya karena tidak menyukai Qansha. Dipikir Qansha adalah anaknya Irzan, padahal Qansha adalah anaknya Husein sendiri. Habiba dalam keadaan hamil ketika perceraian itu terjadi. "Dimana kamu beryemu dengan orang itu?" tanya Habiba panik."Di depan sekolah, Qansha dijemput Om Irzan tadi. Om Irzan mampir ke minimarket depan sekolah, dan Qansha beryemu dengan Om penyayang kucing itu. Om itu marah ketika Qansha mengguncanh kakinya. Dia lalu mengambilkan Qansha permen dan pergi karena tidak mau diganggu.""Apakah Om Irzan tidak memarahimu saat kamu tahu kamu dikasih permen?""Qansha menyembunyikan permen itu dari Om Irzan. Om Irzan tidak tahu kalau Qansha diberi permen oleh Om penyayang kucing itu.""Lain kali jangan menerima pemberian orang tidak dikenal," tegas Habiba."Baik. Tapi Qansha mengenal Om penyayang kucing itu. Berarti tidak apa- apa kan Qansha menerima pemberiannya?""Tidak. Sebab dia memberikanmu makan
Habiba memutar mata. Sampai detik ini ia bahkan tidak merasa tertarik pada lelaki. Bahkan Ezra yang terlihat cukup perhatian dan selalu mendekatinya itu pun tidak cukup membuatnya tertarik untuk mengenal lelaki lebih dekat. Hatinya masih terpaut dengan Husein. Padahal dia sadar sepenuhnya bahwa ia membenci sosok Husein yang sekarang. Tapi tetap saja rasa cinta itu masih jelas terasa meski dia tahu kalau dia tidak akan mungkin bisa bersama dengan Husein lagi. "Irzan. Irzan adalah sosok yang tepat untuk menjadi suamimu dan juga ayah dari anak- anakmu. Lihatlah, dia terkadang masih saja bersedia membantumu menjemput dan mengantar anak- anakmu. Dia itu tulus," sambung Tomy bersungguh- sungguh. "Dia adalah temanku yang baik. Dia bisa menjadi jodohmu."“Tolong, jangan bicara soal jodoh. Aku sedang tidak ingin membahasnya,” ucap Habiba.“Jangan malu- malu. Kau butuh suami, anak- anakmu juga butuh sosok ayah.”Habiba terdiam. Sebenarnya Tomy berkata benar. Anak- anaknya memang membutu
Oh... Tidak salah lagi, wanita yang ada di hadapan Habiba ini adalah sosok yang sempat dia serempet tempo hari. Kini wanita itu terbaring lemah dengan selimut menutup sampai ke perut. Syal di leher. Wajahnya sedikit memucat. Wajah itu sama persis dengan orang yang dia temui kemarin. Meski terbalut selimut, namun selimut di salah satu kakinya tersingkap.Tanpa polesan make up, Amira terlihat jauh berbeda dengan Amira yang dulu. Ditambah penampilan yang seadanya. Bahkan rambut diikat dengan bundelan di belakang sekenanya, menyisakan anak rambut yang berantakan. Wajahnya tirus.Jika saja Habiba tidak mengamati dengan seksama, dia tentu tidak mengenali wanita ini. Jadi sejak tadi Amir sengaja tidak mau mengatakan siapa sosok yang sedang dia jenguk? Dan ternyata sosok itu adalah Amira. Habiba menoleh ke arah Amir.Merasa terhakimi atas tatapan Habiba, sontak Amir pun berkata, "Nyonya Amira sakit sejak seseorang menyerempetnya kemarin. Kakinya terluka cukup parah dan dia tidak bisa berj
"Supaya Nyonya Amira bisa melihat kesuksesanmu. Dunia ini berputar seperti ban, kadang di atas dan kadang di bawah. Dan itulah yang terjadi pada kalian sekarang," jawab Amir dengan senyum simpul.Habiba menghela napas. "Amir, aku tidak butuh pengakuan apa pun dari Bu Amira atas keberhasilanku. Saat ini aku merasa sangat menyesal, Bu Amira jadi begini karena aku. Dan aku harus bertanggung jawab atas itu. Jika sampai terjadi sesuatu kepadanya, maka aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."Amir mengedikkan pundak. "Kau lihat sendiri Nyonya Amira masih saja bertahan dengan keangkuhannya, menolak bantuanmu meski dia membutuhkan. Bagaimana mungkin kau bisa bertanggung jawab untuk hal ini di tengah kondisi Nyonya Amira yang bersikeras menolak bantuanmu? Kalaupun kau memberi bantuan uang sebagai wujud dari tanggung jawab, Nyonya Amira pasti menolaknya."Habiba menghela napas. "Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Bu Amira? Kenapa keadaannya bisa begini?" Sekilas pandangan mata Habiba meng
Habiba kembali fokus menatap jalan di depan. Ia menarik napas panjang untuk dapat menenangkan diri. Perasaannya sangat kacau saat Qansha terus- terusan menginginkan Husein, Habiba takut Qansha akan dekat dengan Husein. Ia takut Qansha akan lengket dengan ayahnya itu.Habiba menyentuh keningnya. Kepalanya pusing sekali.Tidak terdengar lagi suara nyaring Qansha yang biasanya seperti burung beo yang mengoceh terus. Bocah itu diam, sama sekali tidak bicara.Habiba melirik singkat ke arah Qansha yang duduk di sisinya. Bocah itu duduk dengan posisi pinggang agak berbelok memunggungi Habiba, wajahnya terus menatap ke arah luar.Habiba membiarkan saja keadaan itu hingga sampai di gedung tempat pertunjukan.Baru saja Habiba membuka pintu hendak turun dari mobil, Qansha sudah lebih dulu keluar dari mobil dan berlari pergi masuk ke gedung. Tidak ada salam pamitan dari bocah itu.“Qansha!” seru Habiba menganggil, namun Qansha mengabaikannya. Anak itu terus berlari tanpa peduli dengan pang
Habiba menggelengkan kepala. Ia memasukkan ponsel ke saku jas putihnya sambil berjalan keluar ruangan, ia melangkah di koridor panjang rumah sakit. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sekarang waktunya untuk beristirahat dan makan. Jas putih yang ia kenakan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Ia bahagia setiap kali mengenakannya.Sebelum menuju kantin, ia berniat untuk menjenguk Inez. Ia mendengar dari Ezra bahwa adiknya sang owner masuk rumah sakit ini dan sekarang berada dalam perawatan oleh Ezra.Habiba membuka pintu kamar tempat Inez dirawat. Ada Ezra yang sedang memeriksa Inez secara berkala.“Kondisimu sudah membaik. Kau sudah bisa pulang. Tapi ingat, jaga kesehatan. Jangan stres dan kondisikan supaya pikiran tetap tenang. Perbanyak waktu untuk beristirahat!” pesan Ezra. Inez hanya diam saja mendengarkan pesan dar dokter.Habiba tersenyum mendekati bed, menghampiri Inez. “Bagaimana kabarmu? Sudah baik?”Inez mengangkat alis. Sepersekian detik i
"Kali ini aku yang traktir," ucap Habiba.Mereka memesan makanan paling enak dan paling mahal di restoran itu. "Biba, aku sedih karena pernikahanku tanpa kehadiranmu. Tahukah kamu, orang yang paling aku harapkan untuk hadir di pernikahanku adalah kamu."Habiba tersenyum. "Tapi aku yakin pernikahanmu adalah pernikahan terindah.""Setelah ini aku bahkan tidak tahu akan tinggal dimana.""Apa kamu akan bercerai dari Emran?""Mas Husein memintaku untuk meninggalkan Emran, setelah apa yang dilakukan Emran, Mas Husein tidak akan tingg diam jika aku masih terus bersamanya. Lagi pula aku yakin Emran juga tidak akan mau bersamaku lagi.""Jangan pikirkan Emran. Justru seharusnya kamu tidak lagi berpikir untuk hidup bersama dengan Emran. Lelaki seperti dia memang tidak pantas untukmu," kesal Habiba menggebu- gebu. Ia paling benci dengan pengkhianatan. Apa lagi jika memgingat cintanya Inez terhadap Emran yang luar biasa, tapi ternyata Emran mendustainya."Rumah yang aku tempati sekarang adalah r
"Jangan sampai terlambat. Empat belas menit lagi!" Husein melihat jam di pergelangan tangannya."Apakah ini menyangkut pekerjaan?" tanya Habiba datar saja."Tentu.""Apakah ada pasien di sana?""Ikuti saja aturanku!" tegas Husein terlihat malas menanggapi.Huh, pria ini memang tidak menyanangkan."Habiba!"Suara panggilan yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang. Irzan berjalan menggandeng Qansha.Sejurus pandangan tertuju ke arah mereka. Habiba terkejut melihat Qansha yang bentuknya aneh, mukanya menghitam, bajunya kotor oleh lumpur. Penampilan bocah itu benar-benar kacau sekali.Langkah Qansha surut dan wajahnya berubah ketakutan saat melihat Habiba. Ia takut kena marah lagi. Irzan terus menggandeng dan menarik lengan Qansha, namun bocah itu menolak, membuat Irzan kewalahan.“Dia tidak mau pulang, dan aku membawanya ke sini,” jelas Irzan.“Ya Tuhan!” Habiba mengusap pelipis.Qansha kemudian berlari mendekati Husein dan menubruk paha pria itu, tangannya menggenggam t