Sepanjang jalan menyetir mobil, Habiba mengantuk sekali. Ia sampai mengerjap- ngerjapkan mata supaya tidak ketiduran sambil menyetir. Sesekali kepalanya terangguk- angguk, dan ia akan menampar pipinya sendiri saat hal itu terjadi.Tiba- tiba hal buruk itu benar- benar terjadi. Mobilnya menyerempet seseorang yang menyeberangi jalan ketika matanya terpejam. Terkejut, Habiba langsung banting setir ke kiri dan ngerem mendadak. Kepalanya melongok ke depan, tampak motor tergeletak di depan. Sedangkan pemiliknya tidak kelihatan karena tersungkur tepat di depan mobil. Ada kotak kaca yang terikat di motor itu, lebih tepatnya kotak kaca yang digunakan untuk berjualan makanan. Tapi isi kuenya hanya tinggal sedikit, sepertinya jualannya laris manis hingga kue yang tersisa hanya sedikit saja. Sebagian kue menggelinding keluar."Ya Tuhan!" Habiba melepas seal belt dan melompat keluar mobil. Ia menghambur dan menolong wanita yang terduduk lemas sesaat setelah bangkit dari posisinya yang terkapar.
Qansha memakan permen atas pemberian Husein. Pasti pria itu sengaja melakukannya karena tidak menyukai Qansha. Dipikir Qansha adalah anaknya Irzan, padahal Qansha adalah anaknya Husein sendiri. Habiba dalam keadaan hamil ketika perceraian itu terjadi. "Dimana kamu beryemu dengan orang itu?" tanya Habiba panik."Di depan sekolah, Qansha dijemput Om Irzan tadi. Om Irzan mampir ke minimarket depan sekolah, dan Qansha beryemu dengan Om penyayang kucing itu. Om itu marah ketika Qansha mengguncanh kakinya. Dia lalu mengambilkan Qansha permen dan pergi karena tidak mau diganggu.""Apakah Om Irzan tidak memarahimu saat kamu tahu kamu dikasih permen?""Qansha menyembunyikan permen itu dari Om Irzan. Om Irzan tidak tahu kalau Qansha diberi permen oleh Om penyayang kucing itu.""Lain kali jangan menerima pemberian orang tidak dikenal," tegas Habiba."Baik. Tapi Qansha mengenal Om penyayang kucing itu. Berarti tidak apa- apa kan Qansha menerima pemberiannya?""Tidak. Sebab dia memberikanmu makan
Habiba memutar mata. Sampai detik ini ia bahkan tidak merasa tertarik pada lelaki. Bahkan Ezra yang terlihat cukup perhatian dan selalu mendekatinya itu pun tidak cukup membuatnya tertarik untuk mengenal lelaki lebih dekat. Hatinya masih terpaut dengan Husein. Padahal dia sadar sepenuhnya bahwa ia membenci sosok Husein yang sekarang. Tapi tetap saja rasa cinta itu masih jelas terasa meski dia tahu kalau dia tidak akan mungkin bisa bersama dengan Husein lagi. "Irzan. Irzan adalah sosok yang tepat untuk menjadi suamimu dan juga ayah dari anak- anakmu. Lihatlah, dia terkadang masih saja bersedia membantumu menjemput dan mengantar anak- anakmu. Dia itu tulus," sambung Tomy bersungguh- sungguh. "Dia adalah temanku yang baik. Dia bisa menjadi jodohmu."“Tolong, jangan bicara soal jodoh. Aku sedang tidak ingin membahasnya,” ucap Habiba.“Jangan malu- malu. Kau butuh suami, anak- anakmu juga butuh sosok ayah.”Habiba terdiam. Sebenarnya Tomy berkata benar. Anak- anaknya memang membutu
Oh... Tidak salah lagi, wanita yang ada di hadapan Habiba ini adalah sosok yang sempat dia serempet tempo hari. Kini wanita itu terbaring lemah dengan selimut menutup sampai ke perut. Syal di leher. Wajahnya sedikit memucat. Wajah itu sama persis dengan orang yang dia temui kemarin. Meski terbalut selimut, namun selimut di salah satu kakinya tersingkap.Tanpa polesan make up, Amira terlihat jauh berbeda dengan Amira yang dulu. Ditambah penampilan yang seadanya. Bahkan rambut diikat dengan bundelan di belakang sekenanya, menyisakan anak rambut yang berantakan. Wajahnya tirus.Jika saja Habiba tidak mengamati dengan seksama, dia tentu tidak mengenali wanita ini. Jadi sejak tadi Amir sengaja tidak mau mengatakan siapa sosok yang sedang dia jenguk? Dan ternyata sosok itu adalah Amira. Habiba menoleh ke arah Amir.Merasa terhakimi atas tatapan Habiba, sontak Amir pun berkata, "Nyonya Amira sakit sejak seseorang menyerempetnya kemarin. Kakinya terluka cukup parah dan dia tidak bisa berj
"Supaya Nyonya Amira bisa melihat kesuksesanmu. Dunia ini berputar seperti ban, kadang di atas dan kadang di bawah. Dan itulah yang terjadi pada kalian sekarang," jawab Amir dengan senyum simpul.Habiba menghela napas. "Amir, aku tidak butuh pengakuan apa pun dari Bu Amira atas keberhasilanku. Saat ini aku merasa sangat menyesal, Bu Amira jadi begini karena aku. Dan aku harus bertanggung jawab atas itu. Jika sampai terjadi sesuatu kepadanya, maka aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."Amir mengedikkan pundak. "Kau lihat sendiri Nyonya Amira masih saja bertahan dengan keangkuhannya, menolak bantuanmu meski dia membutuhkan. Bagaimana mungkin kau bisa bertanggung jawab untuk hal ini di tengah kondisi Nyonya Amira yang bersikeras menolak bantuanmu? Kalaupun kau memberi bantuan uang sebagai wujud dari tanggung jawab, Nyonya Amira pasti menolaknya."Habiba menghela napas. "Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Bu Amira? Kenapa keadaannya bisa begini?" Sekilas pandangan mata Habiba meng
Habiba kembali fokus menatap jalan di depan. Ia menarik napas panjang untuk dapat menenangkan diri. Perasaannya sangat kacau saat Qansha terus- terusan menginginkan Husein, Habiba takut Qansha akan dekat dengan Husein. Ia takut Qansha akan lengket dengan ayahnya itu.Habiba menyentuh keningnya. Kepalanya pusing sekali.Tidak terdengar lagi suara nyaring Qansha yang biasanya seperti burung beo yang mengoceh terus. Bocah itu diam, sama sekali tidak bicara.Habiba melirik singkat ke arah Qansha yang duduk di sisinya. Bocah itu duduk dengan posisi pinggang agak berbelok memunggungi Habiba, wajahnya terus menatap ke arah luar.Habiba membiarkan saja keadaan itu hingga sampai di gedung tempat pertunjukan.Baru saja Habiba membuka pintu hendak turun dari mobil, Qansha sudah lebih dulu keluar dari mobil dan berlari pergi masuk ke gedung. Tidak ada salam pamitan dari bocah itu.“Qansha!” seru Habiba menganggil, namun Qansha mengabaikannya. Anak itu terus berlari tanpa peduli dengan pang
Habiba menggelengkan kepala. Ia memasukkan ponsel ke saku jas putihnya sambil berjalan keluar ruangan, ia melangkah di koridor panjang rumah sakit. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sekarang waktunya untuk beristirahat dan makan. Jas putih yang ia kenakan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Ia bahagia setiap kali mengenakannya.Sebelum menuju kantin, ia berniat untuk menjenguk Inez. Ia mendengar dari Ezra bahwa adiknya sang owner masuk rumah sakit ini dan sekarang berada dalam perawatan oleh Ezra.Habiba membuka pintu kamar tempat Inez dirawat. Ada Ezra yang sedang memeriksa Inez secara berkala.“Kondisimu sudah membaik. Kau sudah bisa pulang. Tapi ingat, jaga kesehatan. Jangan stres dan kondisikan supaya pikiran tetap tenang. Perbanyak waktu untuk beristirahat!” pesan Ezra. Inez hanya diam saja mendengarkan pesan dar dokter.Habiba tersenyum mendekati bed, menghampiri Inez. “Bagaimana kabarmu? Sudah baik?”Inez mengangkat alis. Sepersekian detik i
"Kali ini aku yang traktir," ucap Habiba.Mereka memesan makanan paling enak dan paling mahal di restoran itu. "Biba, aku sedih karena pernikahanku tanpa kehadiranmu. Tahukah kamu, orang yang paling aku harapkan untuk hadir di pernikahanku adalah kamu."Habiba tersenyum. "Tapi aku yakin pernikahanmu adalah pernikahan terindah.""Setelah ini aku bahkan tidak tahu akan tinggal dimana.""Apa kamu akan bercerai dari Emran?""Mas Husein memintaku untuk meninggalkan Emran, setelah apa yang dilakukan Emran, Mas Husein tidak akan tingg diam jika aku masih terus bersamanya. Lagi pula aku yakin Emran juga tidak akan mau bersamaku lagi.""Jangan pikirkan Emran. Justru seharusnya kamu tidak lagi berpikir untuk hidup bersama dengan Emran. Lelaki seperti dia memang tidak pantas untukmu," kesal Habiba menggebu- gebu. Ia paling benci dengan pengkhianatan. Apa lagi jika memgingat cintanya Inez terhadap Emran yang luar biasa, tapi ternyata Emran mendustainya."Rumah yang aku tempati sekarang adalah r
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu