Segera Habiba bangkit berdiri. Untuk sesaat tubuhnya masih terhuyung, namun ia masih bisa menyeimbangkan tubuh hingga drama ambruk itu tidak terjadi lagi. Inilah efek kelelahan dan mengantuk, tubuhnya tidak seimbang.Muka Habiba masih memanas mengenang perkataan Husein. Sutil? Kenapa istilahnya jelek sekali? Apakah tidak ada kiasan lain selain sutil? Bukankah sutil itu panjang dan lebar. Ah…“Berhati- hatilah! Jangan ceroboh! Baru saja aku memuji pekerjaanmu, kau sudah melakukan keteledoran begini!” kesal Husein.“Maaf. ini karena aku kelelahan dan mengantuk sekali. Nanti aku akan minum vitamin untuk menjaga kesehatan supaya aku bisa bekerja di jam dinas.”“Tidak perlu bekerja lagi. Kau bisa ambil istirahat khusus hari ini.”“Oh, benarkah? Terima kasih.”“Gunakan waktumu untuk beristirahat hari ini supaya kau tetap fit. Pasienku membutuhkanmu.”“Ya, aku mengerti.” Habiba mengangguk lega.“Tugasmu hari ini ada digantikan oleh Ezra.”Habiba mengangguk lagi. Ini sungguh m
"Mas Husein, dimana Emran?" tanya Inez yang baru saja muncul ke rumah sakit dan bertemu dengan Husein di parkiran. "Kau tidak perlu menemuinya dulu," sahut Husein sambil terus berjalan menuju ke mobilnya.Inez mengikutinya dengan paras panik. "Bagaimana kondisinya?""Dia baik- baik saja," jawab Husein enteng."Aku ingin menemuinya.""Berhenti menjadi gila dan berpikir tolol." Husein menghentikan langkahnya, menatap Inez dengan tajam. "Dia sudah membuat perusahaan papa bangkrut. Dia juga yang menyebabkan papa jatuh sakit, dia mengkhianati perusahaan, sabotase produk perusahaan sampai aku harus dipenjara, dia pun mengkhianatimu. Bukan itu saja, dia pernah hampir membunuh Habiba supaya Cindy menggantikan posisi sebagai istriku. Ini kekejaman yang nyata. Ini gila. Masihkah kau berharap banyak pada pria gila itu? Dia itu sadis. Bukan hanya kau atau pun aku yang menjadi korban, tapi juga banyak orang lainnya dikorbankan olehnya hanya demi keuntungannya semata, yaitu menjatuhkan perusahaan
Sepanjang jalan menyetir mobil, Habiba mengantuk sekali. Ia sampai mengerjap- ngerjapkan mata supaya tidak ketiduran sambil menyetir. Sesekali kepalanya terangguk- angguk, dan ia akan menampar pipinya sendiri saat hal itu terjadi.Tiba- tiba hal buruk itu benar- benar terjadi. Mobilnya menyerempet seseorang yang menyeberangi jalan ketika matanya terpejam. Terkejut, Habiba langsung banting setir ke kiri dan ngerem mendadak. Kepalanya melongok ke depan, tampak motor tergeletak di depan. Sedangkan pemiliknya tidak kelihatan karena tersungkur tepat di depan mobil. Ada kotak kaca yang terikat di motor itu, lebih tepatnya kotak kaca yang digunakan untuk berjualan makanan. Tapi isi kuenya hanya tinggal sedikit, sepertinya jualannya laris manis hingga kue yang tersisa hanya sedikit saja. Sebagian kue menggelinding keluar."Ya Tuhan!" Habiba melepas seal belt dan melompat keluar mobil. Ia menghambur dan menolong wanita yang terduduk lemas sesaat setelah bangkit dari posisinya yang terkapar.
Qansha memakan permen atas pemberian Husein. Pasti pria itu sengaja melakukannya karena tidak menyukai Qansha. Dipikir Qansha adalah anaknya Irzan, padahal Qansha adalah anaknya Husein sendiri. Habiba dalam keadaan hamil ketika perceraian itu terjadi. "Dimana kamu beryemu dengan orang itu?" tanya Habiba panik."Di depan sekolah, Qansha dijemput Om Irzan tadi. Om Irzan mampir ke minimarket depan sekolah, dan Qansha beryemu dengan Om penyayang kucing itu. Om itu marah ketika Qansha mengguncanh kakinya. Dia lalu mengambilkan Qansha permen dan pergi karena tidak mau diganggu.""Apakah Om Irzan tidak memarahimu saat kamu tahu kamu dikasih permen?""Qansha menyembunyikan permen itu dari Om Irzan. Om Irzan tidak tahu kalau Qansha diberi permen oleh Om penyayang kucing itu.""Lain kali jangan menerima pemberian orang tidak dikenal," tegas Habiba."Baik. Tapi Qansha mengenal Om penyayang kucing itu. Berarti tidak apa- apa kan Qansha menerima pemberiannya?""Tidak. Sebab dia memberikanmu makan
Habiba memutar mata. Sampai detik ini ia bahkan tidak merasa tertarik pada lelaki. Bahkan Ezra yang terlihat cukup perhatian dan selalu mendekatinya itu pun tidak cukup membuatnya tertarik untuk mengenal lelaki lebih dekat. Hatinya masih terpaut dengan Husein. Padahal dia sadar sepenuhnya bahwa ia membenci sosok Husein yang sekarang. Tapi tetap saja rasa cinta itu masih jelas terasa meski dia tahu kalau dia tidak akan mungkin bisa bersama dengan Husein lagi. "Irzan. Irzan adalah sosok yang tepat untuk menjadi suamimu dan juga ayah dari anak- anakmu. Lihatlah, dia terkadang masih saja bersedia membantumu menjemput dan mengantar anak- anakmu. Dia itu tulus," sambung Tomy bersungguh- sungguh. "Dia adalah temanku yang baik. Dia bisa menjadi jodohmu."“Tolong, jangan bicara soal jodoh. Aku sedang tidak ingin membahasnya,” ucap Habiba.“Jangan malu- malu. Kau butuh suami, anak- anakmu juga butuh sosok ayah.”Habiba terdiam. Sebenarnya Tomy berkata benar. Anak- anaknya memang membutu
Oh... Tidak salah lagi, wanita yang ada di hadapan Habiba ini adalah sosok yang sempat dia serempet tempo hari. Kini wanita itu terbaring lemah dengan selimut menutup sampai ke perut. Syal di leher. Wajahnya sedikit memucat. Wajah itu sama persis dengan orang yang dia temui kemarin. Meski terbalut selimut, namun selimut di salah satu kakinya tersingkap.Tanpa polesan make up, Amira terlihat jauh berbeda dengan Amira yang dulu. Ditambah penampilan yang seadanya. Bahkan rambut diikat dengan bundelan di belakang sekenanya, menyisakan anak rambut yang berantakan. Wajahnya tirus.Jika saja Habiba tidak mengamati dengan seksama, dia tentu tidak mengenali wanita ini. Jadi sejak tadi Amir sengaja tidak mau mengatakan siapa sosok yang sedang dia jenguk? Dan ternyata sosok itu adalah Amira. Habiba menoleh ke arah Amir.Merasa terhakimi atas tatapan Habiba, sontak Amir pun berkata, "Nyonya Amira sakit sejak seseorang menyerempetnya kemarin. Kakinya terluka cukup parah dan dia tidak bisa berj
"Supaya Nyonya Amira bisa melihat kesuksesanmu. Dunia ini berputar seperti ban, kadang di atas dan kadang di bawah. Dan itulah yang terjadi pada kalian sekarang," jawab Amir dengan senyum simpul.Habiba menghela napas. "Amir, aku tidak butuh pengakuan apa pun dari Bu Amira atas keberhasilanku. Saat ini aku merasa sangat menyesal, Bu Amira jadi begini karena aku. Dan aku harus bertanggung jawab atas itu. Jika sampai terjadi sesuatu kepadanya, maka aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."Amir mengedikkan pundak. "Kau lihat sendiri Nyonya Amira masih saja bertahan dengan keangkuhannya, menolak bantuanmu meski dia membutuhkan. Bagaimana mungkin kau bisa bertanggung jawab untuk hal ini di tengah kondisi Nyonya Amira yang bersikeras menolak bantuanmu? Kalaupun kau memberi bantuan uang sebagai wujud dari tanggung jawab, Nyonya Amira pasti menolaknya."Habiba menghela napas. "Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Bu Amira? Kenapa keadaannya bisa begini?" Sekilas pandangan mata Habiba meng
Habiba kembali fokus menatap jalan di depan. Ia menarik napas panjang untuk dapat menenangkan diri. Perasaannya sangat kacau saat Qansha terus- terusan menginginkan Husein, Habiba takut Qansha akan dekat dengan Husein. Ia takut Qansha akan lengket dengan ayahnya itu.Habiba menyentuh keningnya. Kepalanya pusing sekali.Tidak terdengar lagi suara nyaring Qansha yang biasanya seperti burung beo yang mengoceh terus. Bocah itu diam, sama sekali tidak bicara.Habiba melirik singkat ke arah Qansha yang duduk di sisinya. Bocah itu duduk dengan posisi pinggang agak berbelok memunggungi Habiba, wajahnya terus menatap ke arah luar.Habiba membiarkan saja keadaan itu hingga sampai di gedung tempat pertunjukan.Baru saja Habiba membuka pintu hendak turun dari mobil, Qansha sudah lebih dulu keluar dari mobil dan berlari pergi masuk ke gedung. Tidak ada salam pamitan dari bocah itu.“Qansha!” seru Habiba menganggil, namun Qansha mengabaikannya. Anak itu terus berlari tanpa peduli dengan pang