Husein menelepon Habiba. Telepon tersambung. Beberapa detik nada dering berjalan, Habiba belum juga menjawab telepon.“Ayolah! Apa yang kau lakukan malam- malam begini? kau sedang bercinta dengan suamimu itu, hm?” bisik Husein bicara sendiri.Tak lama kemudian, akhirnya Habiba menjawab telepon.“Halo, Husein!” gumam Habiba terdengar mengantuk sekali.“Keadaan urgent, cepat kembali ke rumah sakit. Emran dalam masalah. Dia hampir mati.”“Ya Tuhan!”“No coment. Cepat ke kamar Emran. Sekarang!” titah Husein.“Baiklah.” Setelah itu, Husein memasang kaos tangan. Lalu ia menyambar pisau, membuat napas Emran terengah- engah melihat pisau yang mengkilap terarah kepadanya.“Tidak. Jangan lakukan kepadaku! Jangan!” Emran ketakutan. Nyawanya ada di tangan Husein, dia bisa mati kapan saja saat Husein menyerangnya. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatannya. Husein bisa melakukan apa saja saat dia sedang dalam keadaan emosi. Jika dia khilaf, maka selsailah semuanya.“Husein, aku
Penanganan terhadap Emran cukup menyita waktu dan tenaga Habiba. Siang hari, Habiba baru selesai dengan pekerjaannya itu. Meski tidak ada yang membantunya, dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dia menjahit luka sobekan di perut, paha, dada, dan lengan. Meski kesulitan dan terkendala karena melakukannya tanpa bantuan siapa pun, namun semuanya bisa dia lakukan dengan baik. Emran kini dalam keadaan diinfus, tak sadarkan diri.Habiba keluar dari ruangan itu setelah memastikan Emran dalam kondisi stabil. Lelah sekali rasanya. Dia melepas seragam scrub, lalu mengatur napas, berdiri di depan cermin wastafel. Dia lihat wajah di pantulan cermin itu lelah sekali. Matanya sayu. Habiba melepas napas. Mengusap kening. Lalu melirik pintu utama yang masih dalam keadaan tertutup. Haruskah ia menelepon Husein untuk bisa keluar dari sana?Selain lelah, mengantuk, Habiba juga merasa lapar sekali. Tunggu dulu, Habiba mencium aroma makanan lezat yang mengundang nafsu makan. Dari mana
Habiba masih terpejam, sama sekali tak bergerak. "Habiba! Sadarlah!" Husein menepuk pipi Habiba namun tetap saja tak membuahkan hasil apa- apa. Habiba tetap terpejam lemas. Sekilas pandangan Husein mengedar pada bungkusan nasi dan jus yang sudah habis. Apakah mungkin Habiba keracunan? Ataukah tadi sempat terjadi sesuatu yang tidak diketahui oleh Husein? Tidak ada tanda- tanda keracunan. Tapi kenapa Habiba tak sadarkan diri."Habiba, sadarlah!" Husein mengguncang bahu Habiba, tetap saja tak membuahkan hasil apa pun. Perasaan Husein mulai tak tenang. Segala pemikiran tak menyenangkan menyerangnya, dan ia menduga- duga sesuatu yang buruk terjadi pada Habiba."Habiba, jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau kehilanganmu!" Segera Husein menggendong tubuh Habiba.Tepat saat itulah Habiba terjaga, wanita itu membuka mata."Bau apa ini?" lirih Habiba dengan mata yang masih sayu akibat kantuk.“Bau?” Tanpa sadar Husein mengendus aroma badannya. Dia mendekatkan hidungnya ke ketiak. Tidak ad
Segera Habiba bangkit berdiri. Untuk sesaat tubuhnya masih terhuyung, namun ia masih bisa menyeimbangkan tubuh hingga drama ambruk itu tidak terjadi lagi. Inilah efek kelelahan dan mengantuk, tubuhnya tidak seimbang.Muka Habiba masih memanas mengenang perkataan Husein. Sutil? Kenapa istilahnya jelek sekali? Apakah tidak ada kiasan lain selain sutil? Bukankah sutil itu panjang dan lebar. Ah…“Berhati- hatilah! Jangan ceroboh! Baru saja aku memuji pekerjaanmu, kau sudah melakukan keteledoran begini!” kesal Husein.“Maaf. ini karena aku kelelahan dan mengantuk sekali. Nanti aku akan minum vitamin untuk menjaga kesehatan supaya aku bisa bekerja di jam dinas.”“Tidak perlu bekerja lagi. Kau bisa ambil istirahat khusus hari ini.”“Oh, benarkah? Terima kasih.”“Gunakan waktumu untuk beristirahat hari ini supaya kau tetap fit. Pasienku membutuhkanmu.”“Ya, aku mengerti.” Habiba mengangguk lega.“Tugasmu hari ini ada digantikan oleh Ezra.”Habiba mengangguk lagi. Ini sungguh m
"Mas Husein, dimana Emran?" tanya Inez yang baru saja muncul ke rumah sakit dan bertemu dengan Husein di parkiran. "Kau tidak perlu menemuinya dulu," sahut Husein sambil terus berjalan menuju ke mobilnya.Inez mengikutinya dengan paras panik. "Bagaimana kondisinya?""Dia baik- baik saja," jawab Husein enteng."Aku ingin menemuinya.""Berhenti menjadi gila dan berpikir tolol." Husein menghentikan langkahnya, menatap Inez dengan tajam. "Dia sudah membuat perusahaan papa bangkrut. Dia juga yang menyebabkan papa jatuh sakit, dia mengkhianati perusahaan, sabotase produk perusahaan sampai aku harus dipenjara, dia pun mengkhianatimu. Bukan itu saja, dia pernah hampir membunuh Habiba supaya Cindy menggantikan posisi sebagai istriku. Ini kekejaman yang nyata. Ini gila. Masihkah kau berharap banyak pada pria gila itu? Dia itu sadis. Bukan hanya kau atau pun aku yang menjadi korban, tapi juga banyak orang lainnya dikorbankan olehnya hanya demi keuntungannya semata, yaitu menjatuhkan perusahaan
Sepanjang jalan menyetir mobil, Habiba mengantuk sekali. Ia sampai mengerjap- ngerjapkan mata supaya tidak ketiduran sambil menyetir. Sesekali kepalanya terangguk- angguk, dan ia akan menampar pipinya sendiri saat hal itu terjadi.Tiba- tiba hal buruk itu benar- benar terjadi. Mobilnya menyerempet seseorang yang menyeberangi jalan ketika matanya terpejam. Terkejut, Habiba langsung banting setir ke kiri dan ngerem mendadak. Kepalanya melongok ke depan, tampak motor tergeletak di depan. Sedangkan pemiliknya tidak kelihatan karena tersungkur tepat di depan mobil. Ada kotak kaca yang terikat di motor itu, lebih tepatnya kotak kaca yang digunakan untuk berjualan makanan. Tapi isi kuenya hanya tinggal sedikit, sepertinya jualannya laris manis hingga kue yang tersisa hanya sedikit saja. Sebagian kue menggelinding keluar."Ya Tuhan!" Habiba melepas seal belt dan melompat keluar mobil. Ia menghambur dan menolong wanita yang terduduk lemas sesaat setelah bangkit dari posisinya yang terkapar.
Qansha memakan permen atas pemberian Husein. Pasti pria itu sengaja melakukannya karena tidak menyukai Qansha. Dipikir Qansha adalah anaknya Irzan, padahal Qansha adalah anaknya Husein sendiri. Habiba dalam keadaan hamil ketika perceraian itu terjadi. "Dimana kamu beryemu dengan orang itu?" tanya Habiba panik."Di depan sekolah, Qansha dijemput Om Irzan tadi. Om Irzan mampir ke minimarket depan sekolah, dan Qansha beryemu dengan Om penyayang kucing itu. Om itu marah ketika Qansha mengguncanh kakinya. Dia lalu mengambilkan Qansha permen dan pergi karena tidak mau diganggu.""Apakah Om Irzan tidak memarahimu saat kamu tahu kamu dikasih permen?""Qansha menyembunyikan permen itu dari Om Irzan. Om Irzan tidak tahu kalau Qansha diberi permen oleh Om penyayang kucing itu.""Lain kali jangan menerima pemberian orang tidak dikenal," tegas Habiba."Baik. Tapi Qansha mengenal Om penyayang kucing itu. Berarti tidak apa- apa kan Qansha menerima pemberiannya?""Tidak. Sebab dia memberikanmu makan
Habiba memutar mata. Sampai detik ini ia bahkan tidak merasa tertarik pada lelaki. Bahkan Ezra yang terlihat cukup perhatian dan selalu mendekatinya itu pun tidak cukup membuatnya tertarik untuk mengenal lelaki lebih dekat. Hatinya masih terpaut dengan Husein. Padahal dia sadar sepenuhnya bahwa ia membenci sosok Husein yang sekarang. Tapi tetap saja rasa cinta itu masih jelas terasa meski dia tahu kalau dia tidak akan mungkin bisa bersama dengan Husein lagi. "Irzan. Irzan adalah sosok yang tepat untuk menjadi suamimu dan juga ayah dari anak- anakmu. Lihatlah, dia terkadang masih saja bersedia membantumu menjemput dan mengantar anak- anakmu. Dia itu tulus," sambung Tomy bersungguh- sungguh. "Dia adalah temanku yang baik. Dia bisa menjadi jodohmu."“Tolong, jangan bicara soal jodoh. Aku sedang tidak ingin membahasnya,” ucap Habiba.“Jangan malu- malu. Kau butuh suami, anak- anakmu juga butuh sosok ayah.”Habiba terdiam. Sebenarnya Tomy berkata benar. Anak- anaknya memang membutu